Wednesday, April 16, 2025

Because of Ticket! (Bab 10: Tentang Luka Hatinya)

 


******

Bab 10 :

Tentang Luka Hatinya

 

******

 

ADA sisi baik dan buruk di dalam setiap manusia, begitu kata banyak orang. Kebenaran teori itu hari ini benar-benar Nadya lihat secara langsung. Baik itu Syakila maupun Aldo, ada sisi lain dari kedua orang itu yang hari ini terungkap di depan Nadya. Namun, tunggu sebentar. Apakah ia betul-betul bisa mengatakan bahwa sisi Aldo yang ada di depannya saat ini adalah sisi buruk? Tidak, sama sekali tidak. Akan tetapi, jika ini dikatakan sebagai sisi gelap, mungkin Nadya akan menyetujuinya.

Saat bibir Aldo melontarkan kalimat itu, mata Nadya spontan membelalak. Mulutnya terbuka dan ia yakin ia tanpa sadar menahan napasnya. Kalimat itu terngiang di telinganya bagai bisikan setan yang tak bisa ia hentikan. Aldo menatapnya dengan begitu dingin.

 

'Kamu mau tau semua tentang aku, 'kan?'

 

Nadya mengepalkan tangannya walau tangannya gemetar. Mata cewek itu melihat ke bawah dan ia meneguk ludahnya—tak siap menatap Aldo—meski ia tahu jemari Aldo masih memegang dagunya. Jantungnya berdegup kencang. Entah perasaan apa yang hinggap di dalam dirinya, ia sendiri bertanya-tanya. Apakah ia merasa takut?

Mungkin rasa takut yang hinggap itu adalah rasa takut karena ia tak lagi melihat Aldo yang selalu ia lihat selama ini. Bukan rasa takut karena perubahan sikap Aldo kepadanya.

Nadya memejamkan matanya sejenak dan membuka matanya lagi. Sembari menggigit bibirnya, Nadya pun berusaha untuk berbicara meski ia tahu suaranya akan serak. Itu adalah suara pertama yang ia keluarkan setelah berada di dalam tekanan yang besar.

Cewek itu terbata-bata. "A—ku..."

"Tatap aku, Nad," ujar Aldo dingin, matanya menyipit tajam tatkala melihat Nadya yang tentunya lebih pendek darinya.

Nadya tersentak. Napasnya langsung tertahan di tenggorokan.

Tekanan yang Nadya rasakan itu kini semakin besar. Mata Nadya melebar dan cewek itu mematung.

Namun, karena ia mendengar ucapan Aldo, pelan-pelan ia mencoba untuk mengangkat kepalanya dan menatap tepat ke kedua mata Aldo.

Begitu melihat tatapan mata Aldo yang berbeda itu, jantung Nadya seolah berhenti berdegup.

Sikap Aldo benar-benar terlihat…dingin.

Nadya meneguk ludahnya. Ia ingin tutup mulut karena situasi saat itu terasa mengerikan, tetapi ia ingat…bahwa Aldo sedang menunggu jawaban darinya.

Nadya pun mengangguk perlahan.

Setelah mendapatkan jawaban itu, Aldo langsung menggendong Nadya dan membuat Nadya terperanjat. Mata Nadya membulat penuh. Kontan cewek itu berpegangan dengan bahu Aldo, sementara Aldo terus membawanya pergi ke meja cowok itu, meja Ketua OSIS. Sepertinya, Nadya hari ini tak bisa bernapas dengan santai karena ia terus saja terkejut. Berkali-kali cewek itu membuka mulutnya dan berusaha untuk berbicara karena ia kaget Aldo tiba-tiba menggendongnya, tetapi ia tak bisa mengatakan apa-apa karena agaknya Aldo akan marah. Jadi, yang bisa Nadya lakukan hanyalah memejamkan matanya kuat-kuat, lalu berucap dalam hati bahwa sebentar lagi ia pasti akan diturunkan dan semuanya akan baik-baik saja.

Setelah sampai di meja Ketua OSIS, Aldo mendudukkan Nadya di atas meja itu sementara dirinya berdiri di antara kedua kaki Nadya. Kaki Nadya terjuntai.

Tangan Aldo yang sebelumnya ada di paha Nadya saat menggendong Nadya, kini perlahan naik ke sisi kiri dan kanan pinggang Nadya. Nadya masih memegang kedua bahu Aldo.

Aldo mulai menarik wajahnya untuk menatap Nadya face to face. Napas Nadya tanpa sadar langsung tertahan.

Mereka bertatapan selama kurang lebih lima detik, lalu Aldo mencium bibir Nadya kilat. Setelah itu, Aldo memegang puncak kepala Nadya dan menyatukan keningnya dengan kening Nadya. Kini cowok itu menyentuh pipi Nadya dengan gerakan yang terasa selembut kapas. Namun, hal itu malah semakin membuat tubuh Nadya bergetar.

"Orang yang kamu liat barusan; orang yang nekan kamu, orang yang nyium kamu…itu adalah aku, Nad," ujar Aldo dengan suara yang lirih dan serak. "Ini aku. Inilah sisi yang kamu nggak tau."

Dahi Nadya berkerut. Banyak sekali pertanyaan di benaknya yang tak terucapkan. Mulut Nadya terbuka sedikit karena heran. Cewek itu menelaah wajah Aldo dengan tatapan matanya yang penuh dengan tanda tanya.

Apakah sisi gelap ini yang Aldo maksud?

Jika benar, maka ia ingin tahu...tentang Aldo. Aldo yang selalu tersenyum itu...mengapa bisa memiliki sisi seperti ini? Apa…yang sudah terjadi?

Aldo, apakah ini terjadi karena Tuhan udah ngabulin permintaan aku yang selalu pengin tau ada apa di balik senyum kamu itu? Atau mungkin kamu punya sesuatu yang nggak bisa diketahui orang lain…hingga kamu nyiptain senyum itu buat mendam semuanya?

Tatapan mata Aldo saat ini seolah berkabut. Kabut yang mampu membuat siapa pun tersesat. Tatapan itu membuat bola mata Aldo terlihat bagaikan lubang hitam yang tak memiliki ujung. Selain itu, Nadya merasa bahwa kedua tangan cowok itu kini mulai meraih dan menggenggam tangan Nadya.

Seraya meremas tangan Nadya dengan pelan, Aldo pun kembali berbicara, "Aku tau semuanya dari Syakila. Dia udah ceritain semua yang terjadi di toilet cewek pas jam istirahat."

Mata Nadya spontan membelalak. Aldo menatapnya dengan intens, kemudian cowok itu melanjutkan, "Dia ngasih tau aku pas di lapangan basket tadi. Semua yang kalian bicarain…itu semua dia kasih tau ke aku."

Tubuh Nadya mematung. Jadi...yang Nadya lihat di lapangan basket tadi...saat Syakila mengobrol dengan Aldo dengan ekspresi terkejut itu…Syakila sedang memberitahukan semuanya pada Aldo? Akan tetapi, mengapa Syakila kelihatan terkejut?

Lagi pula, mengapa Syakila memberitahukannya pada Aldo? Mengapa...

Terlalu banyak yang tak Nadya mengerti. Apakah Syakila terkejut karena Aldo meresponsnya dengan ekspresi wajah yang tak pernah ia lihat sebelumnya?

Nadya kembali mengerutkan dahi. Ia baru saja ingin membuka mulutnya, tetapi Aldo tiba-tiba berbicara.

"Aku nggak bisa ngendaliin diri, Nad," ujar Aldo pelan. "Aku nggak bisa ngendaliin diri aku pas aku tau kamu bilang ke Syakila kalo kita jadian cuma karena tiket. Aku juga marahin Syakila karena dia udah jahat ke kamu."

Nadya menganga. Jadi, karena itulah Syakila...terkejut? Soalnya, Nadya tahu kalau Syakila tak pernah mengetahui sisi gelap Aldo. Yang Syakila tahu, Aldo itu selalu ramah dan sangat baik.

Namun, saat mengingat kalimat Aldo tentang 'jadian cuma karena tiket' itu, dahi Nadya jadi semakin berkerut. Sebelah alis Nadya terangkat.

"Aldo, maksudnya...apa? Ta—" Nadya menggeleng. "Tapi Aldo…kita, ‘kan..."

"Iya, aku tau," potong Aldo dengan tatapan mengintimidasi yang kontan membuat Nadya membulatkan mata. Nadya jadi merasa bagai lipatan kertas origami kecil di sudut lantai. Aldo lalu melanjutkan, "Aku tau kalo awal dari cerita kita adalah saat aku ngasih tiket itu ke kamu. Aku tau itu, Nad."

Aldo diam sejenak, begitu pun Nadya.

Saat ini, Nadya benar-benar ingin tahu…apa yang akan keluar dari mulut Aldo selanjutnya. Nadya benar-benar bingung dengan semua ini. Dari awal hubungan ini terbentuk, semuanya tidak ada yang benar-benar jelas. Seolah-olah mereka bersama tanpa ada alasan apa pun selain karena tiket.

Namun, Nadya tak bisa berbicara apa-apa selama Aldo diam. Ia jadi ikut diam sampai akhirnya Aldo kembali berbicara.

"Aku suka sama kamu, Nad. Sejak lama."

Jantung Nadya serasa berhenti berdegup.

Waktu seolah berhenti saat itu sehingga Nadya benar-benar terdiam.

Kali ini, mata Nadya benar-benar membelalak penuh. Tubuhnya menegang. Paru-parunya serasa tertindih oleh sesuatu yang sangat besar dan membuatnya tak bisa bernapas sama sekali. Matanya sama sekali tak berkedip untuk beberapa saat lamanya; ia yakin bahwa tubuhnya tak bisa bergerak meski ia ingin. Jemarinya yang ada di genggaman Aldo itu mendadak terasa kaku dan dingin.

Setelah enam detik berlalu, barulah Nadya bisa bernapas meskipun agak terputus-putus. Ludahnya kering dan ia berusaha untuk membuka mulutnya meski gerakannya sangat kaku. Ia ingin berbicara meski ia tak tahu harus mengatakan apa.

Ia tak percaya. Aldo...menyukainya? Sejak lama? Ini...

Nadya menggeleng. Cewek itu mulai berbicara, "A—"

"Jangan dipaksa bicara, Nad," potong Aldo. Namun, Aldo langsung melanjutkan kalimatnya sebelum Nadya berpikir yang tidak-tidak, "Aku yakin kamu nggak tau harus ngomong apa. Ini pasti bikin kamu kaget dan bingung."

Entah mengapa…tatapan mata Aldo yang lembut itu perlahan kembali. Tatapan dinginnya beberapa saat yang lalu itu perlahan memudar sejak cowok itu mengungkapkan perasaannya pada Nadya. Kini tatapannya begitu lembut dan begitu dalam; tatapan itu menyiratkan perasaan tulusnya. Pendarnya begitu indah. Mata Aldo mengamati wajah Nadya…sampai ke kedua mata Nadya. Ia seolah ingin menemukan sesuatu di mata Nadya.

Setelah itu, Aldo memegang kelopak mata Nadya dan berbisik lirih, "Mata ini. Mata kamu inilah yang ngebuat aku jatuh cinta sama kamu."

Nadya menatap mata Aldo yang indah itu. Tatapan Aldo itu bagai menembus jauh ke dalam bola mata Nadya, kemudian menjelajahi dunia cewek itu. Ada perasaan yang seakan meluap di dalam dadanya.

Namun, pada akhirnya…ia hanya diam. Ia tak mampu berkata apa-apa. Ia tak sanggup. Semuanya terlalu tiba-tiba dan tak pernah ia sangka akan terjadi. Apa ia sedang bermimpi?

Napas Aldo terdengar jelas di telinga Nadya, terutama karena ruangan OSIS itu terlalu sunyi. Suasana sunyi ini membuat Nadya betul-betul bisa mendengar suara jantungnya sendiri. Jantung Nadya berdebar saat mendengar napas Aldo yang sedang berdiri di depannya.

"Aku tadi agak hilang kendali karena marah," ujar Aldo, kini dia meremas lembut tangan Nadya. "karena aku tau kalo kita jadian bukan cuma karena tiket, Nad. Kita jadian karena aku jatuh cinta sama kamu. Malah sebenernya…tiket itu cuma perantara. Aku marah pas aku tau kalo kamu ngomong gitu ke Syakila. Aku ini egois dan pengecut, Nad, kalo kamu mau tau."

Nadya menggeleng. "Kamu nggak gitu, kok, Aldo—"

"Hei," potong Aldo, cowok itu lagi-lagi memegang dagu Nadya dan membuat Nadya terdiam. "Kalo aku nggak egois, aku nggak mungkin nyium kamu di sini, di sekolah. Gimanapun juga, ini sekolah. Nggak seharusnya aku ngelakuin ini di sekolah, apalagi aku Ketua OSIS."

Pipi Nadya merona. Ia rasa telinganya juga ikut memerah. Akan tetapi, ia tak bisa mengalihkan pandangannya karena dagunya dipegang oleh Aldo. Ini membuatnya menderita karena harus terus menatap mata Aldo yang diam-diam sangat ia kagumi keindahannya.

Aldo tersenyum. Senyum yang pertama kali Nadya lihat sejak Aldo menyeret Nadya ke Ruang OSIS. Senyum itu membuat Nadya tanpa sadar merasa lega; Nadya kembali bernapas dengan normal.

Ini…Aldo yang seperti biasa.

Aldo mengusap pipi Nadya dan kembali berbicara, "Aku suka sama kamu itu sejak kita kelas satu, Nad, sebulan setelah MOS. Kita belum sekelas. Itu adalah pertama kalinya aku liat kamu berhubung murid yang baru masuk itu banyak. Waktu itu, semua murid mau baris di lapangan dan kita...kebetulan berpapasan. Kamu sama Gita mau ke halaman sekolah, mau baris, sementara aku sama Rian dan Adam baru mau naruh tas ke kelas. Kita semua saling pandang dan cuma senyum buat ngasih salam. Waktu itu…kamu senyum ke aku. Senyum kamu manis banget. Mata kamu juga...bener-bener terang. Bener-bener jernih, jujur, hangat..."

Nadya tercengang. Nadya memang ingat kejadian itu, tetapi ia tak menyangka bahwa Aldo ternyata berpikir seperti itu tentangnya. Selain itu, Nadya pun tak menyangka bahwa itu adalah titik awal Aldo memiliki perasaan padanya.

Itu ternyata...sudah lama...

Nadya menggeleng, bagaimanapun juga ia tentu tak menyangka. Sementara itu, Aldo mulai memiringkan kepalanya. "Waktu itu, aku ngerasa...waktu mendadak berhenti. Kayak lagi dihipnotis. Pas kamu udah lewatin aku, aku sampe noleh ke belakang karena ngerasa kalo pemandangan itu mendadak hilang dari jangkauan mata aku. Satu-satunya yang ada di kepala aku waktu itu adalah: senyuman dan mata kamu...indah," jelas Aldo, ia bercerita sembari terus mengusap pipi Nadya. Ia tersenyum pada Nadya dan tatapannya menerawang. Pikirannya seolah kembali ke masa lalu. "Hari itu adalah pertama kalinya aku sadar kalo ternyata ada perempuan yang benar-benar bercahaya di mataku dan cuma bisa diliat dengan rasa kagum. From that moment on, I've secretly admired you, Nadya."

Debaran jantung Nadya kontan menggila. Mengapa Aldo menyukainya hanya karena senyuman dan matanya? Apakah memang seindah itu? Menurut Nadya, baik itu senyuman maupun matanya, semuanya biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa.

Namun, lucunya mata Nadya mulai berkaca-kaca.

Aldo menatap Nadya dengan lembut. Cowok itu pun tersenyum manis. Senyum manisnya yang tulus dan penuh dengan kasih sayang. "Kita nggak pernah ngobrol di kelas. Kamu orangnya pendiem, pemalu, dan kamu selalu main sama Gita. Ngebahas Muse sambil ketawa dan kegirangan, bercanda dan cerita berdua… Ekspresi kamu itu bener-bener nggak terduga kalo udah sama Gita. Kamu sama Gita kadang-kadang ikut ngobrol sama anak cewek yang lain, tapi kalian tetap lebih nyaman berdua. Sementara aku, aku sibuk ini itu dan cuma bisa mandangin kamu kalo kamu ada di sekitar aku, terutama pas di kelas. Masa kamu nggak nyadar?"

Nadya menganga lagi. Cewek itu menggeleng dengan tempo lambat. Ekspresi wajahnya benar-benar blank. Ia heran setengah mati.

Itu...benar-benar terjadi?

Melihat reaksi Nadya, Aldo pun terkekeh pelan. Cowok itu lalu menekan-nekan pipi Nadya dengan jempolnya. "Kamu polos banget, Nadya..." ujar Aldo pelan.

Namun, setelah itu…Aldo menghela napas.

"Tapi...inilah mengapa aku jadi pengecut."

Dahi Nadya berkerut. Maksudnya apa? "Kenapa...gitu?" tanya Nadya heran.

"Hmm..." Aldo berdeham. "Karena kamu sama sekali nggak nyadar dalam waktu yang selama itu, aku jadi ragu mau nyatain perasaan aku. Kalo aku tiba-tiba nyatain, nanti kamu heran. Soalnya, kita nggak pernah bener-bener ngobrol sebelumnya. Kamu pasti bakal bingung. Aku sendiri nggak tau pasti kamu itu nggak peka atau terlalu polos…atau mungkin nggak memperhatikan sekitar kamu. Kamu dan Gita, kan…selalu fokus sama dunia kalian berdua aja."

Nadya meneguk ludahnya yang rasanya sulit sekali untuk diteguk. Pipinya masih merona dan jantungnya berdebar. Lidahnya kelu; ia tak bisa menyangkal ucapan Aldo. Selain itu, ia juga tak menyangka bahwa ternyata…Aldo sangat tahu tentang dirinya. Aldo tahu apa responsnya seandainya waktu itu ia mendengar Aldo suka padanya.

Aldo kembali memegang tangan Nadya dan melanjutkan, "Aku sampe bingung juga mau negur kamu. Entah ngapa, Nad, rasanya ngomong sama kamu tanpa alasan 'belajar' itu bener-bener bikin aku gugup. Kamu itu beda; aku ngerasa kayaknya aku belum bisa masuk ke dunia kamu. Jadi, aku cuma bisa negur kamu pas kita kerja kelompok. Itu pun aku nggak bisa ngomong akrab dengan panggilan 'lo-gue' karena…ya…kamu sendiri udah tau alasannya. Di sisi lain, aku juga nggak bisa tiba-tiba pake ‘aku-kamu’. Jadi, pilihan satu-satunya ya…dengan manggil nama."

Nadya mengerjap. Ia ingat bahwa dulu ia dapat sekelompok dengan Aldo saat pelajaran Biologi. Waktu itu, Aldo berkata, "Nadya, ntar tugas Nadya bawa polybag, ya."

Nadya menatap Aldo; kini cewek itu melipat bibirnya. Ia sungguh tak menyangka. Selama ini, Aldo menyukainya? Selama ini...Aldo…

Betapa bodohnya Nadya. Betapa bodohnya Nadya yang berpikir bahwa: jika hubungan ini berakhir, ia akan ikhlas. Ia ikhlas karena mencintai Aldo saja sudah cukup. Itu bodoh! Nyatanya, Aldo saja tak pernah berpikir seperti itu meskipun ia telah lama menyukai Nadya tanpa Nadya sadari sama sekali!

Meski tak habis pikir mengapa orang yang nyaris sempurna seperti Aldo bisa menyukainya, Nadya tetap berharap kalau semua ini nyata dan bukan cuma mimpi. Soalnya, jika dipikir-pikir…ini mustahil banget. Aldo, si Ketua OSIS yang hampir sempurna itu, suka sama Nadya yang tak punya kelebihan apa-apa? Cantik enggak, pinter enggak, olahraga juga cuma bisa badminton dan lari—tunggu, semua orang pun bisa berlari!

Ini benar-benar aneh...

Aldo mencintainya karena sesuatu yang tak terduga.

"Aku jadi pengecut karena terus-menerus kepikiran. Aku takut kamu ngerasa nggak nyaman kalo tiba-tiba aku deketin kamu, soalnya kamu itu sama sekali nggak nyadar kalo aku selalu merhatiin kamu. Aku milih buat cari tau lebih dalam dulu tentang kamu sebelum ngedeketin kamu. Cukup dengan mandangin kamu aja udah buat aku semangat tiap hari ke sekolah. Tapi nyatanya...aku nggak tahan, Nad. Semakin aku mandangin kamu, semakin aku merhatiin kamu, aku malah semakin cinta. Aku akhirnya mulai egois; aku semakin jadi pengecut karena aku pake tiket Muse buat maksa kamu jadi milik aku. Aku tau kamu nggak bakal nolak tiket itu, aku juga tau kalo kamu belum punya tiket itu, Nad. Mungkin, kamu bisa bilang kalo aku ini...setengah stalker?"

Nadya menganga. Matanya kembali membulat penuh.

Jadi...tiket Muse itu bukanlah sebuah kebetulan. Semuanya...

Sudah direncanakan.

Aldo tahu semuanya.

"Aldo..." ujar Nadya lirih. Ia menggeleng pelan dan tak bisa melanjutkan kata-katanya.

Aldo tersenyum. Cowok itu meneguk ludahnya hingga jakunnya terlihat naik turun. Matanya memantulkan wajah Nadya yang sedang tercengang. Tampaknya, kedua mata Nadya pun kini memancarkan rasa cinta. Cinta yang tak bisa ia sembunyikan.

Namun, tiba-tiba Nadya menyadari sesuatu. Spontan kening cewek itu berkerut. "Aldo, jadi... Syakila..."

Aldo menaikkan sebelah alisnya sejenak ketika mendengar nama Syakila, tetapi ekspresi wajahnya kembali normal saat telah menangkap maksud Nadya. Cowok itu lalu bernapas pelan dan menatap Nadya dengan fokus.

Setelah berkedip satu kali, Aldo pun membuka suara.

"Iya. Aku pernah pacaran sama dia sebelum aku ketemu kamu."

Nadya memperhatikan Aldo dengan saksama.

Jadi...itu memang benar.

"Dia nyatain perasaannya waktu kita selesai MOS. Waktu dia nyatain perasaannya ke aku...aku pikir dia cewek baik-baik, Nad. Aku belum pernah deket sama cewek mana pun. Mungkin karena penasaran sekaligus pengin ngubah diri, aku pun nerima dia...dan kami jadian. Hari demi hari, aku ngerasa kalo dia orang yang baik, nggak banyak omong, pinter, dan bijaksana. Aku mulai mikir kalo aku...suka sama dia."

Nadya mengangguk pelan. Ada sesuatu yang seakan menyayat hatinya saat Aldo mengucapkan kalimat yang terakhir. Meskipun begitu, itu bukan hak Nadya. Itu adalah masa lalu Aldo; Nadya belum ada hubungan dengan Aldo.

"Tapi tetep aja aku ngerasa kalo…aku nggak bisa berubah, Nad," lanjut Aldo pada akhirnya. "Aku tetep nggak bisa deket sama cewek, bahkan sama Syakila. Ujung-ujungnya, aku sadar kalo yang aku suka itu bukan Syakila, melainkan sifatnya," ujar Aldo seraya mengembuskan napasnya pelan. Cowok itu tak pernah memalingkan matanya barang sedetik pun dari kedua mata Nadya. Jeda sejenak, lalu cowok itu berkata, "Tapi itu juga nggak lama. Dua minggu kemudian, aku mulai sadar kalo ternyata Syakila nggak sebaik yang aku kira. Aku mulai tau sifat aslinya. Kamu juga pasti udah tau gimana Syakila, Nad, karena tadi dia udah ngelakuin sesuatu yang buruk ke kamu."

Nadya menunduk; cewek itu melipat bibirnya. Meskipun ia tak yakin kalau itu adalah sesuatu yang buruk, setidaknya ia sudah tahu bagaimana karakter Syakila. Betapa berbedanya Syakila yang tadi memarahinya dengan Syakila yang selalu dilihatnya selama ini.

Nadya perlahan mengangguk mengerti. Aldo menghela napas.

"Karena itulah aku mutusin dia, Nad. Kalo kamu tanya kenapa aku malah jatuh cinta sama kamu, itu karena kamu punya apa yang Syakila nggak punya. Kamu punya sesuatu yang mampu ngebuat aku jatuh hati."

Bertepatan dengan kalimat itu, Nadya kembali mengangkat wajahnya untuk menatap Aldo. Binar di mata Aldo berhasil menggetarkan hati Nadya. Nadya seolah mulai terhipnotis untuk beberapa saat, hingga akhirnya Nadya sadar bahwa Aldo telah melepaskan genggaman tangan mereka. Cowok itu kini beralih meremas pinggang Nadya dan hal itu sukses membuat Nadya menahan napas. Bagaimana pun juga, ini membuat pipi Nadya jadi merah padam. Cewek itu tak pernah berada di situasi yang se-intens ini. Jantungnya jelas berdegup kencang.

"Stop masalah Syakila," ujar Aldo. Tiba-tiba tatapannya kembali mengintimidasi. Nadya mulai beranggapan kalau Aldo ini mungkin memiliki dua kepribadian. Akan tetapi, Nadya tak yakin.

Aldo lalu berbisik, "Aku akan kasih tau kamu siapa aku."

Mata Nadya membulat. Ludahnya kembali ia teguk dengan sulit. Ada rasa dingin yang menjalar di tengkuknya.

Aldo semakin mendekat. Wajah Aldo sangat dekat dengan wajah Nadya, bahkan Nadya dapat mendengar napas cowok itu dengan jelas. Napasnya berembus pelan, mengenai kulit wajah Nadya.

"Salah satu alasan kenapa aku nunda buat deketin kamu itu adalah karena mungkin aku bisa ngelukain kamu. Kamu udah liat sisi diri aku yang lain. Kamu udah liat semuanya,” ujar Aldo. “Selain penjelasan dari Syakila soal kamu yang ngebahas hubungan kita, cemburu juga jadi pemicu kenapa aku tadi bener-bener hilang kendali. Aku cemburu cuma karena liat kamu ngobrol sama Farid. Aneh, ‘kan? Aku selalu cemburu, Nad, tapi selama ini aku selalu bisa ngendaliin diri aku. Mungkin kali ini aku nggak bisa ngendaliin diri karena aku kepikiran soal apa yang kamu bilang ke Syakila."

Nadya menganga. Aldo...cemburu sama Farid? Mengapa bisa...

Hening selama beberapa detik. Tatapan dingin Aldo kini memudar lagi. Apakah tatapan itu hanya muncul saat pikiran Aldo kacau?

Nadya masih tak tahu mengapa Aldo seperti itu. Namun, Nadya berhenti berpikir saat Aldo menghela napas dan berkata, "Dari semua penjelasan aku, kamu pasti tau kalo aku ini egois. Aku mungkin berbahaya buat kamu; aku nggak selalu bisa ngejaga sikapku," ujar Aldo. Aldo menarik napasnya dan mengeluarkannya perlahan.

Nadya tiba-tiba memegang lengan Aldo. Cewek itu menatap Aldo dengan serius. Dengan cepat cewek itu berkata, "Aldo, kamu yakin? Kenapa...kamu ngasih tau aku semua tentang kamu semudah ini? Kenapa kamu ngasih tau aku hal sepenting ini, hal yang nggak seharusnya kamu kasih tau ke orang yang belum tentu bisa kamu percaya? Aku—"

Aldo tersenyum, cowok itu menempelkan jari telunjuknya di bibir Nadya dan terkekeh pelan. Wajah tampannya terlihat begitu bercahaya. Rasanya hati Nadya meleleh begitu saja tatkala melihat wajah Aldo beserta apa pun yang Aldo lakukan padanya saat ini. Pipi Nadya semakin merah padam.

"Hei," ujar Aldo pelan. "kamu lupa, ya, kalo aku itu secret admirer-nya kamu? Nggak mungkin aku nggak tau siapa kamu. Kamu itu orang yang bisa dipercaya. Aku percaya sama kamu. Meskipun suatu saat nanti kamu bohong sama aku dan ngasih tau semua ini ke orang lain, aku nggak bakal nyesel kok. Soalnya, aku ngerasa kalo aku ngasih tau ini ke orang yang penting buat aku. Awalnya, aku takut ngasih tau kamu soal semua sisi diri aku, tapi pas aku tau kalo kamu mau tau...ada bagian di dalam diri aku yang ngerasa...bahagia."

Aldo melepaskan jari telunjuknya dari bibir Nadya dan lagi-lagi tersenyum manis. Cowok itu mengembuskan napasnya lega, lalu mulai duduk di samping Nadya, di atas meja Ketua OSIS. Meski hal itu dilarang, Aldo tak memikirkannya sama sekali saat ini.

Aldo lalu meraih wajah Nadya agar Nadya melihat ke arahnya. Saat Nadya telah menatapnya, tangan Aldo mulai kembali memegang tangan Nadya.

Aldo menatap Nadya dengan lekat, membuat Nadya kontan mengalihkan pandangannya. Ke mana saja; ke leher, ke bahu, atau ke dada Aldo, asal tidak menatap wajah Aldo, terutama tepat ke kedua mata cowok itu. Nadya merasa sangat gugup; ia akan kalah kalau sudah ditatap oleh Aldo. Melawan mata Aldo yang menawan itu bukanlah hal yang mudah.

Saat itulah, Aldo mulai berkata dengan lirih, "Hm…kurasa aku pengen ngasih tau kamu kalo...Mamaku udah meninggal."

Mata Nadya melebar.

Mama Aldo...udah meninggal?

Setelah itu, Aldo melanjutkan, "Kurasa kamu tau kalo aku lahir di Perancis. Papaku orang Indonesia; dia pengusaha yang tinggal di Perancis. Dia ketemu sama Mamaku di sana. Dia ngebesarin usahanya sampe ke Indonesia. Waktu Mamaku meninggal, dia mutusin buat balik ke Indonesia. Saat itulah, dia mulai mutusin kalo akulah yang harus jadi ahli waris untuk semua usahanya, Nad. Sesulit dan seenggan apa pun aku, aku nggak bisa lari. Aku tetap satu-satunya calon ahli waris."

Nadya mengangguk-angguk, mendengarkan dengan setia.

"Kami juga pernah tinggal di Inggris selama beberapa tahun, waktu aku kecil. Selain itu..."

Nadya mengernyitkan dahinya saat Aldo berhenti. Aldo kini menatap ke bawah, ke lantai ubin Ruang OSIS, dengan mata yang menyipit.

Mengapa ekspresi Aldo berubah? Ia terlihat berpikir keras; dahinya berkerut. Ia seolah akan mengatakan sesuatu yang ia benci.

Aldo...apa kamu jadi begini karena hal itu?

Setelah diam selama beberapa saat, Aldo akhirnya berbicara.

"Aku punya saudara angkat, Nad, tepatnya seorang kakak angkat."

Mata Nadya kontan membelalak. Kakak angkat? Ini sungguh tak disangka-sangka. Agaknya, ini merupakan rahasia yang paling penting karena Aldo tampak kesulitan saat memberitahukannya.

"Kakakku itu...anak angkat Papa. Dia nggak pernah tinggal di rumah lagi sejak SMP. Waktu itu, dia dibawa Papa ke rumah pas aku masih kelas tiga SD. Dia orangnya baik, mandiri, dan ramah. Aku beda sama dia, Nad. Kami udah jadi temen paling deket buat satu sama lain; aku sering ngehabisin waktu sama dia. Mamaku meninggal waktu ngelahirin aku."

Nadya mendadak menatap Aldo dengan nelangsa. Ia pun sadar bahwa kini ada pancaran luka di kedua mata Aldo. Luka itu bagai terkuak lagi.

"Papa sekarang udah nikah lagi sama seorang wanita yang namanya Rachel. Dia sosok Mama yang ideal, dia sayang banget sama kami semua. Dia wanita yang selalu memotivasi aku; dia selalu berusaha buat jadi seorang ibu yang baik. Dari pernikahan Papa sama dia, aku jadi punya adek. Namanya Naya Caroline Nugraha. Dia cantik, lucu, dan imut. Umurnya masih lima tahun."

"Kalo kamu mau tau dari mana sisi diri aku yang lain itu berasal..." Aldo memberi jeda. Mendadak, cowok itu mengepalkan tangan dan memejamkan matanya sejenak. Rahangnya mengeras. Nadya merasa waswas sekaligus penasaran dari mana sisi Aldo yang lain itu berasal.

Setelah penantian yang terasa bagai satu abad lamanya, Aldo pun akhirnya membuka mulutnya. Dengan suara yang pelan, Aldo berkata, "Itu pertama kali muncul pas aku masih kecil. Dulu..." Aldo semakin mengepalkan tangannya. Ia seakan membuka kembali masa lalu yang pahit. Hal itu membuatnya begitu sulit berbicara.

"...aku pernah jadi korban penculikan anak-anak," lanjut Aldo kemudian. Nadya kaget bukan kepalang. Tubuh Nadya langsung mematung seolah ada sebuah petir yang tiba-tiba menyambarnya.

Aldo pernah...jadi korban penculikan?

"Waktu itu, aku lagi main berdua sama Kakakku itu. Dulu, kalo kami berdua lagi main, kami selalu diawasi. Tapi hari itu kami berdua kabur; kami pergi ke luar diem-diem supaya nggak diawasi. Kami main jauh dari rumah…dan hal itu terjadi." Aldo berhenti sejenak. "Penculik itu cuma bawa aku dan ninggalin Kakakku di sana. Tapi entah ngapa...Kakakku cuma diam. Meski ekspresi mukanya keliatan panik, dia nggak nyoba buat ngeraih aku. Aku jerit-jerit minta tolong sama dia, tapi dia cuma diam dan nunduk. Aku…nggak percaya..." Aldo menunduk, bahu Aldo tampak bergetar. Perasaannya kini bergejolak akibat terus-menerus menahan luka.

"Aldo..." panggil Nadya dengan suara lirih; jemarinya ingin meraih Aldo, tetapi berhenti di tengah jalan. Nyatanya, ia belum berani menyentuh bahu Aldo untuk menenangkan Aldo. Itu membuatnya sedikit kecewa. Aldo tampak sangat kesulitan, tetapi cowok itu berusaha sekuat tenaga agar bisa menceritakan semuanya kepada Nadya.

"Aldo, nggak usah diceritain kalau itu sulit buat kamu..." Akhirnya, itulah keputusan Nadya. Mata Nadya berkaca-kaca. Ternyata Aldo punya masa kecil yang menyedihkan dan juga menakutkan. Aldo punya sebuah pengalaman yang tak ingin didapatkan oleh anak-anak mana pun.

Aldo...terluka. Luka itu membuat lubang di hatinya, bersarang di sana, dan ia menahan semua itu di balik senyuman tulusnya.

"Selain itu..." Akhirnya, Aldo bersuara lagi meski suara itu serak dan tampak sangat sulit untuk dikeluarkan. "Dulu, setiap aku lewat dengan diikuti bodyguard, aku selalu jadi bahan omongan tetangga. Aku selalu denger mereka bisik-bisik kalo aku lewat di depan mereka. Mereka bilang, 'Jadi ahli waris itu nggak enak, ya. Kasian, masih anak-anak gitu, anak itu jadi nggak bebas. Dia udah tertekan dari kecil. Dia selalu diawasi oleh bayang-bayang papanya sendiri.’," ujar Aldo sembari tersenyum kecil. Namun, sepertinya…itu adalah senyuman pahit. Aldo bahkan menggeleng saat menceritakan hal itu.

Itu menyakitkan. Mendengar orang sekitar berbicara buruk tentang kita di depan kita sendiri itu menyakitkan.

Tanpa sadar…cerita Aldo itu membuat air mata Nadya jatuh. Ruang OSIS itu semakin hening.

Aldo lalu menoleh kepada Nadya dan matanya melebar saat ia melihat Nadya menangis. Kontan cowok itu mengusap air mata Nadya.

"Semenjak Kakakku itu ada, aku mulai ngerasa sedikit plong. Aku ngerasa punya temen; aku ngerasa mulai bisa cuek sama omongan orang-orang. Aku belajar buat nggak kaku lagi. Aku masih SD, sih, jadi emang selalu ngerasa...murung...gara-gara omongan orang ke aku. Waktu itu, Papa belum nikah lagi. Kakakku itu bijak, dia bisa ngebuat aku nyaman dan ngebuat aku jadi pribadi yang kuat. Di samping itu, dia kadang-kadang ngajak aku buat ngelakuin hal-hal menarik yang nggak bisa kulakuin sebelumnya. Dia ngajarin aku hal-hal yang baru, hal yang ngebuat aku mikir kalo sebenernya aku nggak perlu meduliin semua omongan orang itu. Tapi saat penculikan itu terjadi..." Aldo kembali mengeraskan rahang. "Aku bener-bener kecewa. Aku nggak percaya kalo dia itu kakak yang selalu jadi saudara sekaligus sahabat aku. Pas aku mulai kecewa, aku jadi bener-bener diem waktu penculik itu ngikat aku, namparin aku, dan juga nyiksa aku. Pikiranku kosong."

Aldo memejamkan matanya. Tangannya terkepal dan tubuhnya menegang. Cowok itu kembali mengingat saat dirinya disiksa, saat cambuk itu mengenai tubuh kecilnya; cowok itu mengingat semuanya. Nadya kontan memegang punggung Aldo. Cewek itu jadi panik bukan main.

Memori itu benar-benar membuat Aldo tertekan. Aldo jelas tak boleh mengingat itu lagi!

Akan tetapi, kini Aldo menghela napasnya. Hal itu dilakukannya agar ia lebih tenang untuk bercerita meski rasanya jantungnya bagai kena tohok telak.

"Aku nggak bisa mikir apa-apa. Seingatku, di hari itu aku sama sekali nggak masang ekspresi apa pun. Pikiranku kosong dan yang aku tau, aku kecewa. Pukulan dan siksaan dari penculik itu ngebuat badan aku berdarah, tapi entah ngapa aku nggak ngerasa sakit sama sekali... Sakit hati itu seolah ngebuat aku mati rasa. Aku sakit hati ngeliat reaksi Kakakku. Dia emang panik, tapi entah ngapa aku ngeliat ada bersitan rasa senang yang muncul di matanya. Aku kenal dia dan aku tau tatapan itu."

Nadya menggeleng tak percaya. Mata Nadya masih melebar saat Aldo melanjutkan, "Saat penculik itu ngelakuin apa pun atau nanyain apa pun ke aku, aku nggak jawab apa-apa. Aku nggak selera buat ngejawab mereka, aku udah mikir kalo semua hal di dunia ini sama aja. Semuanya cuma sekumpulan orang yang seharum bunga kalo dari jauh, tapi berbau sampah kalo dari deket. Pas aku cuma natap sinis ke penculik-penculik itu, mereka makin marah...dan mereka ngomongin hal-hal yang aku benci. Mereka bilang kalo aku emang pantas dibunuh karena Mama meninggal pas ngelahirin aku. Mereka juga bilang kalo aku ini dilahirin cuma buat jadi sandera…supaya Papa ngewarisin usahanya ke keluarga aku yang udah kerja sama Papa puluhan tahun. Aku nggak pantes jadi ahli waris. Abis itu, mereka ketawa dan bilang kalo mungkin hal itu jugalah yang ngebuat Kakakku bahkan nggak mau noleh pas mereka bawa aku secara paksa," ujar Aldo dengan pahit.

Nadya bisa melihat bahwa Aldo benar-benar sedang berusaha. Itu adalah sebuah trauma bagi Aldo. Aldo pasti sakit kepala saat mengingat hal itu lagi; Aldo pasti sangat kesulitan. Semua memori masa lalu itu pasti terus berputar bagai kaset rusak di otaknya.

"Kalimat terakhir itulah yang ngebuat aku ngerasa hilang kendali. Waktu itu, yang aku inget cuma satu: kepalaku panas dan aku melototin penculik-penculik itu. Kalimat itu serasa nampar aku, ngehancurin aku berkeping-keping. Aku teriak dan ngeberontak. Aku berhasil ngelukain salah satu penculik itu pas dia deketin aku. Dari sanalah sisi yang gelap ini munculNad. Sisi itu bakal muncul kalo aku udah nggak bisa ngendaliin diri aku lagi, di mana pikiran-pikiran yang aneh mulai berkecamuk di kepala aku tanpa aku tau kapan bisa berentinya. Pikiran itu serasa nggerogoti kepala aku dan aku kayak bener-bener jadi orang lain."

Mata cowok itu tampak jernih, tetapi sedikit berair. Tatapan matanya benar-benar sendu.

Namun, sesaat kemudian…cowok itu menarik napasnya dalam. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap menatap Nadya dengan fokus.

"Untungnya, Rachel selalu ngajarin aku dan memotivasi aku, Nad. Makanya, sisi itu jarang muncul. Aku cuma takut kalo...itu bisa ngelukain kamu suatu saat nanti."

Nadya menggeleng. Nadya merasa kalau hal itu tidak benar. "Nggak kok, Aldo, kamu nggak bakal bikin aku terluka. Kamu orang baik. Kamu orang yang tegar. Aku.. Aku bener-bener berterima kasih…karena kamu mau nyeritain semua tentang kamu ke aku. Aku seneng banget...tapi aku ngerasa kalo aku juga egois karena kamu harus ngebongkar masa lalu kamu lagi cuma buat cerita ke aku. Aku nggak bakal maksa kamu lagi. Aku minta maaf, Aldo. Aku minta maaf. Tapi…makasih... Makasih banget, ya, Aldo..." Nadya berkata sembari menggeleng penuh haru. Cewek itu menunduk dan menangis. "Aku jadi ngerasa bener-bener berharga...untuk pertama kalinya."

Aldo tersenyum lembut. Cowok itu meraih dagu Nadya dan membuat Nadya—yang wajahnya penuh dengan air mata itu—menatapnya.

Setelah itu, Aldo mencium bibir Nadya dengan lembut.

Saat Aldo melepas ciuman itu, Aldo tahu bahwa pipi Nadya yang lembap itu kini memerah.

"Ada kamu di sini aja…udah bisa bikin aku tenang kok, Nad. Makasih karena udah mau dengerin semua tentang aku dan nerima aku apa adanya. Aku bener-bener nggak salah; aku nggak salah jatuh cinta sama kamu. Orang yang harusnya berterima kasih itu aku, Nad."

Nadya meneguk ludah dan melipat bibirnya. Aldo memeluknya sejenak. Begitu pelukan itu terlepas, Aldo mulai tersenyum manis. Sangat manis hingga membuat matanya melengkung…seolah ikut tersenyum.

"Nah, sekarang ayo kita balik ke lapangan. Untung aja istirahatnya setengah jam. Jadi, aku punya waktu buat cium kamu."

Blam.

Pipi Nadya semakin merona. Warna merah jambunya terang sekali. Aldo bagai menembakkan serpihan-serpihan love ke udara. Akan tetapi, dengan sekuat tenaga Nadya mencoba untuk mengalihkan pikirannya.

"Ah…iya, ya. K—Kamu, kan, mau lanjut quarter kedua. Tapi…kenapa istirahatnya lama banget?" tanya Nadya dengan gugup. Cewek itu berusaha untuk tetap menguasai dirinya meski nyatanya jantungnya berdebar-debar. Pipinya terasa sangat panas, panasnya hingga ke telinga!

"Nggak tau juga, Nad," jawab Aldo. "Mungkin mereka mau makan dulu…sekaligus latihan-latihan di lapangan?"

Nadya mengangguk-angguk dan mulutnya membentuk 'o' kecil. Saat itulah Aldo mengusap puncak kepala Nadya dengan sayang dan kembali membuat Nadya gugup bukan main. Rasanya bagai terbang ke langit ketujuh.

Apa pun yang Aldo lakuin kok bisa bikin aku jadi salting, sih...

"Yuk," ajak Aldo. Aldo turun dari meja itu dan menuntun Nadya untuk turun juga. Aldo menggandeng tangan Nadya, lalu mereka keluar dari Ruang OSIS. Aldo mengunci pintu ruangan itu kembali.

Saat kembali ke area lapangan, banyak sekali pasang mata yang menatap Nadya dengan iri. Namun, ada juga yang kesengsem karena merasa bahwa Nadya itu beruntung banget. Disayangi oleh Ketua OSIS SMA Kusuma Bangsa yang kerennya kebangetan itu...sampai-sampai ke lapangan aja digandeng.

Kayaknya, Ketua OSIS yang ganteng itu bener-bener lagi kasmaran.

Saat teman-teman Aldo mulai menghampiri dan menyapa Aldo sambil ber-high five, Aldo tetap tidak melepaskan tangan Nadya sama sekali. Aldo baru membawa Nadya untuk duduk di kursi penonton saat quarter kedua dimulai. Cowok itu sempat mencubit pipi Nadya sekilas sebelum masuk ke lapangan dan ber-high five dengan Rey.

Nadya saja sampai gugup setengah mati; dia tak bisa berkutik sama sekali.

Punya cowok begitu...siapa, sih, yang nggak mau? []

 
















******






No comments:

Post a Comment

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 13: Genius and Possessive)

  ****** Chapter 13 : Genius and Possessive   ******   Author: MATA Justin malam itu terlihat seperti mata seekor elang; matany...