Bab
10 :
Tentang
Luka Hatinya
******
ADA sisi
baik dan buruk di dalam setiap manusia, begitu kata banyak orang. Kebenaran
teori itu hari ini benar-benar Nadya lihat secara langsung. Baik
itu Syakila maupun Aldo, ada sisi lain dari kedua orang itu yang hari ini terungkap
di depan Nadya. Namun, tunggu sebentar. Apakah ia betul-betul bisa mengatakan
bahwa sisi Aldo yang ada di depannya saat ini adalah
sisi buruk? Tidak, sama sekali tidak. Akan tetapi, jika ini
dikatakan sebagai sisi gelap, mungkin Nadya akan menyetujuinya.
Saat
bibir Aldo melontarkan kalimat itu, mata Nadya spontan membelalak. Mulutnya
terbuka dan ia yakin ia tanpa sadar menahan napasnya. Kalimat itu terngiang di telinganya
bagai bisikan setan yang tak bisa ia hentikan. Aldo menatapnya
dengan begitu dingin.
'Kamu
mau tau semua tentang aku, 'kan?'
Nadya
mengepalkan tangannya walau tangannya gemetar. Mata cewek itu melihat ke bawah
dan ia meneguk ludahnya—tak siap menatap Aldo—meski ia tahu jemari Aldo masih
memegang dagunya. Jantungnya berdegup kencang. Entah perasaan apa yang hinggap
di dalam dirinya, ia sendiri bertanya-tanya. Apakah ia merasa takut?
Mungkin
rasa takut yang hinggap itu adalah rasa takut karena ia tak
lagi melihat Aldo yang selalu ia lihat selama ini. Bukan rasa takut karena
perubahan sikap Aldo kepadanya.
Nadya
memejamkan matanya sejenak dan membuka matanya lagi. Sembari menggigit bibirnya,
Nadya pun berusaha untuk berbicara meski ia tahu suaranya akan serak. Itu
adalah suara pertama yang ia keluarkan setelah berada di dalam tekanan yang
besar.
Cewek
itu terbata-bata. "A—ku..."
"Tatap aku,
Nad," ujar Aldo dingin, matanya menyipit tajam tatkala melihat Nadya yang
tentunya lebih pendek darinya.
Nadya
tersentak. Napasnya langsung tertahan di tenggorokan.
Tekanan yang
Nadya rasakan itu kini semakin besar. Mata Nadya melebar dan cewek itu
mematung.
Namun,
karena ia mendengar ucapan Aldo, pelan-pelan ia mencoba untuk mengangkat
kepalanya dan menatap tepat ke kedua mata Aldo.
Begitu
melihat tatapan mata Aldo yang berbeda itu, jantung Nadya seolah
berhenti berdegup.
Sikap
Aldo benar-benar terlihat…dingin.
Nadya
meneguk ludahnya. Ia ingin tutup mulut karena situasi saat itu terasa
mengerikan, tetapi ia ingat…bahwa Aldo sedang menunggu jawaban darinya.
Nadya pun
mengangguk perlahan.
Setelah
mendapatkan jawaban itu, Aldo langsung menggendong Nadya dan
membuat Nadya terperanjat. Mata Nadya membulat penuh. Kontan cewek itu
berpegangan dengan bahu Aldo, sementara Aldo terus membawanya pergi ke meja
cowok itu, meja Ketua OSIS. Sepertinya, Nadya hari ini tak bisa bernapas dengan
santai karena ia terus saja terkejut. Berkali-kali cewek itu membuka mulutnya
dan berusaha untuk berbicara karena ia kaget Aldo tiba-tiba menggendongnya, tetapi
ia tak bisa mengatakan apa-apa karena agaknya Aldo akan marah.
Jadi, yang bisa Nadya lakukan hanyalah memejamkan matanya kuat-kuat, lalu berucap
dalam hati bahwa sebentar lagi ia pasti akan diturunkan dan semuanya akan
baik-baik saja.
Setelah
sampai di meja Ketua OSIS, Aldo mendudukkan Nadya di atas meja itu sementara
dirinya berdiri di antara kedua kaki Nadya. Kaki Nadya terjuntai.
Tangan
Aldo yang sebelumnya ada di paha Nadya saat menggendong Nadya, kini perlahan
naik ke sisi kiri dan kanan pinggang Nadya. Nadya masih memegang kedua bahu
Aldo.
Aldo
mulai menarik wajahnya untuk menatap Nadya face to face. Napas
Nadya tanpa sadar langsung tertahan.
Mereka
bertatapan selama kurang lebih lima detik, lalu Aldo mencium bibir Nadya kilat.
Setelah itu, Aldo memegang puncak kepala Nadya dan menyatukan keningnya dengan
kening Nadya. Kini cowok itu menyentuh pipi Nadya dengan gerakan yang terasa selembut kapas.
Namun, hal itu malah semakin membuat tubuh Nadya bergetar.
"Orang
yang kamu liat barusan; orang yang nekan kamu, orang yang nyium kamu…itu adalah
aku, Nad," ujar Aldo dengan suara yang lirih dan serak.
"Ini aku. Inilah sisi yang kamu nggak tau."
Dahi
Nadya berkerut. Banyak sekali pertanyaan di benaknya yang tak terucapkan. Mulut
Nadya terbuka sedikit karena heran. Cewek itu menelaah wajah Aldo dengan
tatapan matanya yang penuh dengan tanda tanya.
Apakah
sisi gelap ini yang Aldo maksud?
Jika
benar, maka ia ingin tahu...tentang Aldo. Aldo yang selalu
tersenyum itu...mengapa bisa memiliki sisi seperti ini? Apa…yang sudah terjadi?
Aldo,
apakah ini terjadi karena Tuhan udah ngabulin permintaan aku yang selalu pengin
tau ada apa di balik senyum kamu itu? Atau mungkin kamu punya sesuatu yang
nggak bisa diketahui orang lain…hingga kamu nyiptain senyum itu buat mendam
semuanya?
Tatapan
mata Aldo saat ini seolah berkabut. Kabut yang mampu membuat siapa pun
tersesat. Tatapan itu membuat bola mata Aldo terlihat bagaikan lubang hitam
yang tak memiliki ujung. Selain itu, Nadya merasa bahwa kedua tangan cowok itu
kini mulai meraih dan menggenggam tangan Nadya.
Seraya
meremas tangan Nadya dengan pelan, Aldo pun kembali berbicara, "Aku tau
semuanya dari Syakila. Dia udah ceritain semua yang terjadi di toilet
cewek pas jam istirahat."
Mata
Nadya spontan membelalak. Aldo menatapnya dengan intens, kemudian
cowok itu melanjutkan, "Dia ngasih tau aku pas di lapangan basket
tadi. Semua yang kalian bicarain…itu semua dia kasih tau ke
aku."
Tubuh
Nadya mematung. Jadi...yang Nadya lihat di lapangan basket tadi...saat Syakila mengobrol
dengan Aldo dengan ekspresi terkejut itu…Syakila sedang memberitahukan semuanya
pada Aldo? Akan tetapi, mengapa Syakila kelihatan terkejut?
Lagi
pula, mengapa Syakila memberitahukannya pada Aldo? Mengapa...
Terlalu
banyak yang tak Nadya mengerti. Apakah Syakila terkejut karena Aldo
meresponsnya dengan ekspresi wajah yang tak pernah ia lihat sebelumnya?
Nadya
kembali mengerutkan dahi. Ia baru saja ingin membuka mulutnya, tetapi Aldo
tiba-tiba berbicara.
"Aku
nggak bisa ngendaliin diri, Nad," ujar Aldo pelan.
"Aku nggak bisa ngendaliin diri aku pas aku tau kamu bilang ke Syakila kalo
kita jadian cuma karena tiket. Aku juga marahin Syakila karena
dia udah jahat ke kamu."
Nadya
menganga. Jadi, karena itulah Syakila...terkejut? Soalnya, Nadya tahu kalau
Syakila tak pernah mengetahui sisi gelap Aldo. Yang Syakila tahu, Aldo itu selalu
ramah dan sangat baik.
Namun,
saat mengingat kalimat Aldo tentang 'jadian cuma karena tiket' itu,
dahi Nadya jadi semakin berkerut. Sebelah alis Nadya terangkat.
"Aldo,
maksudnya...apa? Ta—" Nadya menggeleng. "Tapi Aldo…kita, ‘kan..."
"Iya,
aku tau," potong Aldo dengan tatapan mengintimidasi yang
kontan membuat Nadya membulatkan mata. Nadya jadi merasa bagai lipatan kertas
origami kecil di sudut lantai. Aldo lalu melanjutkan, "Aku tau kalo
awal dari cerita kita adalah saat aku ngasih tiket itu ke
kamu. Aku tau itu, Nad."
Aldo
diam sejenak, begitu pun Nadya.
Saat
ini, Nadya benar-benar ingin tahu…apa yang akan keluar dari mulut Aldo
selanjutnya. Nadya benar-benar bingung dengan semua ini. Dari awal hubungan ini
terbentuk, semuanya tidak ada yang benar-benar jelas. Seolah-olah mereka
bersama tanpa ada alasan apa pun selain karena tiket.
Namun,
Nadya tak bisa berbicara apa-apa selama Aldo diam. Ia jadi ikut diam sampai
akhirnya Aldo kembali berbicara.
"Aku suka sama
kamu, Nad. Sejak lama."
Jantung
Nadya serasa berhenti berdegup.
Waktu
seolah berhenti saat itu sehingga Nadya benar-benar terdiam.
Kali
ini, mata Nadya benar-benar membelalak penuh. Tubuhnya menegang. Paru-parunya
serasa tertindih oleh sesuatu yang sangat besar dan membuatnya tak bisa
bernapas sama sekali. Matanya sama sekali tak berkedip untuk beberapa saat
lamanya; ia yakin bahwa tubuhnya tak bisa bergerak meski ia ingin.
Jemarinya yang ada di genggaman Aldo itu mendadak terasa kaku dan dingin.
Setelah
enam detik berlalu, barulah Nadya bisa bernapas meskipun agak terputus-putus.
Ludahnya kering dan ia berusaha untuk membuka mulutnya meski gerakannya sangat
kaku. Ia ingin berbicara meski ia tak tahu harus mengatakan apa.
Ia tak
percaya. Aldo...menyukainya? Sejak lama? Ini...
Nadya
menggeleng. Cewek itu mulai berbicara, "A—"
"Jangan dipaksa
bicara, Nad," potong Aldo. Namun, Aldo langsung melanjutkan kalimatnya
sebelum Nadya berpikir yang tidak-tidak, "Aku yakin kamu nggak tau harus
ngomong apa. Ini pasti bikin kamu kaget dan bingung."
Entah
mengapa…tatapan mata Aldo yang lembut itu perlahan kembali. Tatapan dinginnya
beberapa saat yang lalu itu perlahan memudar sejak cowok itu mengungkapkan perasaannya
pada Nadya. Kini tatapannya begitu lembut dan begitu dalam; tatapan itu menyiratkan
perasaan tulusnya. Pendarnya begitu indah. Mata Aldo mengamati wajah Nadya…sampai
ke kedua mata Nadya. Ia seolah ingin menemukan sesuatu di mata Nadya.
Setelah itu,
Aldo memegang kelopak mata Nadya dan berbisik lirih, "Mata ini.
Mata kamu inilah yang ngebuat aku jatuh cinta sama
kamu."
Nadya
menatap mata Aldo yang indah itu. Tatapan Aldo itu bagai menembus jauh ke dalam
bola mata Nadya, kemudian menjelajahi dunia cewek itu. Ada perasaan yang seakan
meluap di dalam dadanya.
Namun,
pada akhirnya…ia hanya diam. Ia tak mampu berkata apa-apa. Ia tak sanggup.
Semuanya terlalu tiba-tiba dan tak pernah ia sangka akan
terjadi. Apa ia sedang bermimpi?
Napas
Aldo terdengar jelas di telinga Nadya, terutama karena ruangan OSIS itu terlalu
sunyi. Suasana sunyi ini membuat Nadya betul-betul bisa mendengar suara
jantungnya sendiri. Jantung Nadya berdebar saat mendengar napas Aldo yang
sedang berdiri di depannya.
"Aku
tadi agak hilang kendali karena marah," ujar Aldo, kini dia
meremas lembut tangan Nadya. "karena aku tau kalo kita jadian bukan cuma
karena tiket, Nad. Kita jadian karena aku jatuh cinta sama
kamu. Malah sebenernya…tiket itu cuma perantara. Aku marah pas aku
tau kalo kamu ngomong gitu ke Syakila. Aku ini egois dan
pengecut, Nad, kalo kamu mau tau."
Nadya
menggeleng. "Kamu nggak gitu, kok, Aldo—"
"Hei," potong
Aldo, cowok itu lagi-lagi memegang dagu Nadya dan membuat Nadya terdiam. "Kalo
aku nggak egois, aku nggak mungkin nyium kamu di sini, di sekolah. Gimanapun
juga, ini sekolah. Nggak seharusnya aku ngelakuin ini di sekolah, apalagi aku Ketua
OSIS."
Pipi
Nadya merona. Ia rasa telinganya juga ikut memerah. Akan tetapi, ia tak bisa
mengalihkan pandangannya karena dagunya dipegang oleh Aldo. Ini membuatnya
menderita karena harus terus menatap mata Aldo yang diam-diam sangat ia
kagumi keindahannya.
Aldo
tersenyum. Senyum yang pertama kali Nadya lihat sejak Aldo menyeret Nadya ke Ruang
OSIS. Senyum itu membuat Nadya tanpa sadar merasa lega; Nadya kembali bernapas dengan
normal.
Ini…Aldo
yang seperti biasa.
Aldo
mengusap pipi Nadya dan kembali berbicara, "Aku suka sama kamu itu sejak
kita kelas satu, Nad, sebulan setelah MOS. Kita belum sekelas. Itu adalah
pertama kalinya aku liat kamu berhubung murid yang baru masuk itu banyak. Waktu
itu, semua murid mau baris di lapangan dan kita...kebetulan berpapasan. Kamu
sama Gita mau ke halaman sekolah, mau baris, sementara aku sama Rian dan Adam
baru mau naruh tas ke kelas. Kita semua saling pandang dan cuma senyum buat
ngasih salam. Waktu itu…kamu senyum ke aku. Senyum kamu manis banget.
Mata kamu juga...bener-bener terang. Bener-bener jernih,
jujur, hangat..."
Nadya
tercengang. Nadya memang ingat kejadian itu, tetapi ia tak menyangka bahwa Aldo
ternyata berpikir seperti itu tentangnya. Selain itu, Nadya pun tak menyangka
bahwa itu adalah titik awal Aldo memiliki perasaan padanya.
Itu
ternyata...sudah lama...
Nadya
menggeleng, bagaimanapun juga ia tentu tak menyangka. Sementara itu, Aldo mulai
memiringkan kepalanya. "Waktu itu, aku ngerasa...waktu mendadak berhenti.
Kayak lagi dihipnotis. Pas kamu udah lewatin aku, aku sampe noleh ke
belakang karena ngerasa kalo pemandangan itu mendadak hilang dari jangkauan
mata aku. Satu-satunya yang ada di kepala aku waktu itu adalah: senyuman
dan mata kamu...indah," jelas Aldo, ia bercerita sembari terus mengusap
pipi Nadya. Ia tersenyum pada Nadya dan tatapannya menerawang. Pikirannya
seolah kembali ke masa lalu. "Hari itu adalah pertama kalinya
aku sadar kalo ternyata ada perempuan yang benar-benar
bercahaya di mataku dan cuma bisa diliat dengan rasa kagum. From that
moment on, I've secretly admired you, Nadya."
Debaran
jantung Nadya kontan menggila. Mengapa Aldo menyukainya hanya karena
senyuman dan matanya? Apakah memang seindah itu? Menurut Nadya, baik itu
senyuman maupun matanya, semuanya biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa.
Namun,
lucunya mata Nadya mulai berkaca-kaca.
Aldo
menatap Nadya dengan lembut. Cowok itu pun tersenyum manis. Senyum
manisnya yang tulus dan penuh dengan kasih sayang. "Kita nggak pernah
ngobrol di kelas. Kamu orangnya pendiem, pemalu, dan kamu selalu main sama
Gita. Ngebahas Muse sambil ketawa dan kegirangan, bercanda dan cerita
berdua… Ekspresi kamu itu bener-bener nggak terduga kalo udah sama Gita. Kamu
sama Gita kadang-kadang ikut ngobrol sama anak cewek yang lain, tapi kalian
tetap lebih nyaman berdua. Sementara aku, aku sibuk ini itu dan cuma bisa
mandangin kamu kalo kamu ada di sekitar aku, terutama pas di kelas. Masa
kamu nggak nyadar?"
Nadya
menganga lagi. Cewek itu menggeleng dengan tempo lambat. Ekspresi wajahnya
benar-benar blank. Ia heran setengah mati.
Itu...benar-benar
terjadi?
Melihat
reaksi Nadya, Aldo pun terkekeh pelan. Cowok itu lalu menekan-nekan pipi Nadya
dengan jempolnya. "Kamu polos banget, Nadya..." ujar Aldo pelan.
Namun,
setelah itu…Aldo menghela napas.
"Tapi...inilah
mengapa aku jadi pengecut."
Dahi
Nadya berkerut. Maksudnya apa? "Kenapa...gitu?" tanya Nadya heran.
"Hmm..." Aldo
berdeham. "Karena kamu sama sekali nggak nyadar dalam waktu yang selama
itu, aku jadi ragu mau nyatain perasaan aku. Kalo aku tiba-tiba nyatain, nanti
kamu heran. Soalnya, kita nggak pernah bener-bener ngobrol sebelumnya. Kamu
pasti bakal bingung. Aku sendiri nggak tau pasti kamu itu nggak
peka atau terlalu polos…atau mungkin nggak memperhatikan sekitar
kamu. Kamu dan Gita, kan…selalu fokus sama dunia kalian berdua aja."
Nadya
meneguk ludahnya yang rasanya sulit sekali untuk diteguk. Pipinya masih merona
dan jantungnya berdebar. Lidahnya kelu; ia tak bisa menyangkal ucapan Aldo.
Selain itu, ia juga tak menyangka bahwa ternyata…Aldo sangat tahu tentang
dirinya. Aldo tahu apa responsnya seandainya waktu itu ia mendengar Aldo suka
padanya.
Aldo
kembali memegang tangan Nadya dan melanjutkan, "Aku sampe bingung juga mau
negur kamu. Entah ngapa, Nad, rasanya ngomong sama kamu tanpa alasan 'belajar'
itu bener-bener bikin aku gugup. Kamu itu beda;
aku ngerasa kayaknya aku belum bisa masuk ke dunia kamu. Jadi, aku cuma bisa
negur kamu pas kita kerja kelompok. Itu pun aku nggak bisa ngomong akrab
dengan panggilan 'lo-gue' karena…ya…kamu sendiri udah tau alasannya. Di
sisi lain, aku juga nggak bisa tiba-tiba pake ‘aku-kamu’. Jadi, pilihan
satu-satunya ya…dengan manggil nama."
Nadya
mengerjap. Ia ingat bahwa dulu ia dapat sekelompok dengan Aldo saat pelajaran
Biologi. Waktu itu, Aldo berkata, "Nadya, ntar tugas Nadya bawa
polybag, ya."
Nadya
menatap Aldo; kini cewek itu melipat bibirnya. Ia sungguh tak menyangka. Selama
ini, Aldo menyukainya? Selama ini...Aldo…
Betapa
bodohnya Nadya. Betapa bodohnya Nadya yang berpikir bahwa: jika
hubungan ini berakhir, ia akan ikhlas. Ia ikhlas karena mencintai Aldo
saja sudah cukup. Itu bodoh! Nyatanya, Aldo saja tak pernah berpikir
seperti itu meskipun ia telah lama menyukai Nadya tanpa Nadya sadari sama
sekali!
Meski
tak habis pikir mengapa orang yang nyaris sempurna seperti
Aldo bisa menyukainya, Nadya tetap berharap kalau semua ini nyata dan bukan cuma
mimpi. Soalnya, jika dipikir-pikir…ini mustahil banget. Aldo, si Ketua OSIS yang hampir sempurna
itu, suka sama Nadya yang tak punya kelebihan apa-apa? Cantik enggak, pinter
enggak, olahraga juga cuma bisa badminton dan lari—tunggu,
semua orang pun bisa berlari!
Ini
benar-benar aneh...
Aldo
mencintainya karena sesuatu yang tak terduga.
"Aku
jadi pengecut karena terus-menerus kepikiran. Aku takut kamu ngerasa nggak
nyaman kalo tiba-tiba aku deketin kamu, soalnya kamu itu sama sekali nggak
nyadar kalo aku selalu merhatiin kamu. Aku milih buat cari tau lebih dalam dulu
tentang kamu sebelum ngedeketin kamu. Cukup dengan mandangin kamu aja udah buat
aku semangat tiap hari ke sekolah. Tapi nyatanya...aku nggak tahan, Nad.
Semakin aku mandangin kamu, semakin aku merhatiin kamu, aku malah semakin cinta.
Aku akhirnya mulai egois; aku semakin jadi pengecut karena aku pake tiket Muse buat maksa kamu
jadi milik aku. Aku tau kamu nggak bakal nolak tiket itu, aku juga tau kalo
kamu belum punya tiket itu, Nad. Mungkin, kamu bisa bilang kalo aku ini...setengah
stalker?"
Nadya
menganga. Matanya kembali membulat penuh.
Jadi...tiket Muse itu bukanlah sebuah
kebetulan. Semuanya...
Sudah
direncanakan.
Aldo
tahu semuanya.
"Aldo..."
ujar Nadya lirih. Ia menggeleng pelan dan tak bisa melanjutkan kata-katanya.
Aldo
tersenyum. Cowok itu meneguk ludahnya hingga jakunnya terlihat naik turun.
Matanya memantulkan wajah Nadya yang sedang tercengang. Tampaknya, kedua mata
Nadya pun kini memancarkan rasa cinta. Cinta yang tak bisa ia sembunyikan.
Namun,
tiba-tiba Nadya menyadari sesuatu. Spontan kening cewek itu berkerut.
"Aldo, jadi... Syakila..."
Aldo
menaikkan sebelah alisnya sejenak ketika mendengar nama Syakila, tetapi ekspresi
wajahnya kembali normal saat telah menangkap maksud Nadya. Cowok itu lalu
bernapas pelan dan menatap Nadya dengan fokus.
Setelah
berkedip satu kali, Aldo pun membuka suara.
"Iya.
Aku pernah pacaran sama dia sebelum aku
ketemu kamu."
Nadya
memperhatikan Aldo dengan saksama.
Jadi...itu
memang benar.
"Dia
nyatain perasaannya waktu kita selesai MOS. Waktu dia nyatain perasaannya ke
aku...aku pikir dia cewek baik-baik, Nad. Aku belum pernah deket sama cewek
mana pun. Mungkin karena penasaran sekaligus pengin ngubah diri, aku pun
nerima dia...dan kami jadian. Hari demi hari, aku ngerasa kalo
dia orang yang baik, nggak banyak omong, pinter, dan
bijaksana. Aku mulai mikir kalo aku...suka sama dia."
Nadya
mengangguk pelan. Ada sesuatu yang seakan menyayat hatinya saat Aldo
mengucapkan kalimat yang terakhir. Meskipun begitu, itu bukan hak Nadya. Itu
adalah masa lalu Aldo; Nadya belum ada hubungan dengan Aldo.
"Tapi
tetep aja aku ngerasa kalo…aku nggak bisa berubah, Nad," lanjut Aldo pada
akhirnya. "Aku tetep nggak bisa deket sama cewek, bahkan sama Syakila. Ujung-ujungnya,
aku sadar kalo yang aku suka itu bukan Syakila, melainkan
sifatnya," ujar Aldo seraya mengembuskan napasnya pelan. Cowok itu tak
pernah memalingkan matanya barang sedetik pun dari kedua mata Nadya. Jeda
sejenak, lalu cowok itu berkata, "Tapi itu juga nggak lama. Dua minggu
kemudian, aku mulai sadar kalo ternyata Syakila nggak sebaik yang aku kira. Aku
mulai tau sifat aslinya. Kamu juga pasti udah tau gimana Syakila, Nad, karena
tadi dia udah ngelakuin sesuatu yang buruk ke kamu."
Nadya
menunduk; cewek itu melipat bibirnya. Meskipun ia tak yakin kalau itu adalah
sesuatu yang buruk, setidaknya ia sudah tahu bagaimana karakter Syakila. Betapa
berbedanya Syakila yang tadi memarahinya dengan Syakila yang selalu dilihatnya
selama ini.
Nadya
perlahan mengangguk mengerti. Aldo menghela napas.
"Karena
itulah aku mutusin dia, Nad. Kalo kamu tanya kenapa aku malah
jatuh cinta sama kamu, itu karena kamu punya apa yang
Syakila nggak punya. Kamu punya sesuatu yang mampu ngebuat aku
jatuh hati."
Bertepatan
dengan kalimat itu, Nadya kembali mengangkat wajahnya untuk menatap Aldo. Binar
di mata Aldo berhasil menggetarkan hati Nadya. Nadya seolah mulai terhipnotis untuk
beberapa saat, hingga akhirnya Nadya sadar bahwa Aldo telah melepaskan genggaman
tangan mereka. Cowok itu kini beralih meremas pinggang Nadya dan hal itu sukses
membuat Nadya menahan napas. Bagaimana pun juga, ini membuat pipi Nadya jadi merah
padam. Cewek itu tak pernah berada di situasi yang se-intens ini. Jantungnya
jelas berdegup kencang.
"Stop
masalah Syakila," ujar Aldo. Tiba-tiba tatapannya
kembali mengintimidasi. Nadya mulai beranggapan kalau Aldo ini
mungkin memiliki dua kepribadian. Akan tetapi, Nadya tak yakin.
Aldo
lalu berbisik, "Aku akan kasih tau kamu siapa aku."
Mata
Nadya membulat. Ludahnya kembali ia teguk dengan sulit. Ada rasa dingin
yang menjalar di tengkuknya.
Aldo
semakin mendekat. Wajah Aldo sangat dekat dengan wajah Nadya,
bahkan Nadya dapat mendengar napas cowok itu dengan jelas. Napasnya berembus pelan,
mengenai kulit wajah Nadya.
"Salah
satu alasan kenapa aku nunda buat deketin kamu itu adalah karena mungkin aku
bisa ngelukain kamu. Kamu udah liat sisi diri aku yang lain. Kamu udah
liat semuanya,” ujar Aldo. “Selain penjelasan dari Syakila soal kamu yang
ngebahas hubungan kita, cemburu juga jadi pemicu kenapa aku tadi bener-bener hilang kendali.
Aku cemburu cuma karena liat kamu ngobrol sama Farid. Aneh, ‘kan? Aku selalu
cemburu, Nad, tapi selama ini aku selalu bisa ngendaliin diri
aku. Mungkin kali ini aku nggak bisa ngendaliin diri karena aku kepikiran soal
apa yang kamu bilang ke Syakila."
Nadya
menganga. Aldo...cemburu sama Farid? Mengapa bisa...
Hening
selama beberapa detik. Tatapan dingin Aldo kini memudar lagi. Apakah tatapan
itu hanya muncul saat pikiran Aldo kacau?
Nadya
masih tak tahu mengapa Aldo seperti itu. Namun, Nadya berhenti berpikir saat
Aldo menghela napas dan berkata, "Dari semua penjelasan aku, kamu pasti
tau kalo aku ini egois. Aku mungkin berbahaya buat kamu; aku
nggak selalu bisa ngejaga sikapku," ujar Aldo. Aldo menarik napasnya dan
mengeluarkannya perlahan.
Nadya
tiba-tiba memegang lengan Aldo. Cewek itu menatap Aldo dengan serius. Dengan
cepat cewek itu berkata, "Aldo, kamu yakin? Kenapa...kamu ngasih tau aku
semua tentang kamu semudah ini? Kenapa kamu ngasih tau aku hal sepenting ini,
hal yang nggak seharusnya kamu kasih tau ke orang yang belum
tentu bisa kamu percaya? Aku—"
Aldo
tersenyum, cowok itu menempelkan jari telunjuknya di bibir Nadya dan terkekeh
pelan. Wajah tampannya terlihat begitu bercahaya. Rasanya hati Nadya meleleh
begitu saja tatkala melihat wajah Aldo beserta apa pun yang Aldo lakukan
padanya saat ini. Pipi Nadya semakin merah padam.
"Hei,"
ujar Aldo pelan. "kamu lupa, ya, kalo aku itu secret
admirer-nya kamu? Nggak mungkin aku nggak tau siapa kamu. Kamu itu orang
yang bisa dipercaya. Aku percaya sama kamu. Meskipun suatu saat nanti kamu
bohong sama aku dan ngasih tau semua ini ke orang lain, aku nggak bakal nyesel
kok. Soalnya, aku ngerasa kalo aku ngasih tau ini ke orang yang penting buat
aku. Awalnya, aku takut ngasih tau kamu soal semua sisi diri aku, tapi pas aku
tau kalo kamu mau tau...ada bagian di dalam diri aku yang ngerasa...bahagia."
Aldo
melepaskan jari telunjuknya dari bibir Nadya dan lagi-lagi tersenyum manis.
Cowok itu mengembuskan napasnya lega, lalu mulai duduk di samping Nadya, di
atas meja Ketua OSIS. Meski hal itu dilarang, Aldo tak memikirkannya sama
sekali saat ini.
Aldo
lalu meraih wajah Nadya agar Nadya melihat ke arahnya. Saat Nadya telah menatapnya,
tangan Aldo mulai kembali memegang tangan Nadya.
Aldo
menatap Nadya dengan lekat, membuat Nadya kontan mengalihkan
pandangannya. Ke mana saja; ke leher, ke bahu, atau ke dada Aldo, asal tidak menatap
wajah Aldo, terutama tepat ke kedua mata cowok itu. Nadya merasa sangat gugup; ia
akan kalah kalau sudah ditatap oleh Aldo. Melawan mata Aldo yang menawan itu
bukanlah hal yang mudah.
Saat
itulah, Aldo mulai berkata dengan lirih, "Hm…kurasa aku pengen ngasih tau
kamu kalo...Mamaku udah meninggal."
Mata
Nadya melebar.
Mama
Aldo...udah meninggal?
Setelah
itu, Aldo melanjutkan, "Kurasa kamu tau kalo aku lahir di Perancis. Papaku
orang Indonesia; dia pengusaha yang tinggal di Perancis. Dia ketemu sama Mamaku
di sana. Dia ngebesarin usahanya sampe ke Indonesia. Waktu Mamaku meninggal, dia
mutusin buat balik ke Indonesia. Saat itulah, dia mulai mutusin kalo akulah
yang harus jadi ahli waris untuk semua usahanya, Nad. Sesulit dan seenggan apa
pun aku, aku nggak bisa lari. Aku tetap satu-satunya calon ahli waris."
Nadya
mengangguk-angguk, mendengarkan dengan setia.
"Kami
juga pernah tinggal di Inggris selama beberapa tahun, waktu aku kecil. Selain
itu..."
Nadya
mengernyitkan dahinya saat Aldo berhenti. Aldo kini menatap ke
bawah, ke lantai ubin Ruang OSIS, dengan mata yang menyipit.
Mengapa
ekspresi Aldo berubah? Ia terlihat berpikir keras; dahinya berkerut. Ia seolah akan
mengatakan sesuatu yang ia benci.
Aldo...apa
kamu jadi begini karena hal itu?
Setelah
diam selama beberapa saat, Aldo akhirnya berbicara.
"Aku punya
saudara angkat, Nad, tepatnya seorang kakak angkat."
Mata
Nadya kontan membelalak. Kakak angkat? Ini sungguh tak
disangka-sangka. Agaknya, ini merupakan rahasia yang paling penting karena Aldo
tampak kesulitan saat memberitahukannya.
"Kakakku
itu...anak angkat Papa. Dia nggak pernah tinggal di rumah lagi sejak
SMP. Waktu itu, dia dibawa Papa ke rumah pas aku masih kelas tiga SD. Dia orangnya
baik, mandiri, dan ramah. Aku beda sama dia, Nad. Kami udah jadi temen paling
deket buat satu sama lain; aku sering ngehabisin waktu sama dia. Mamaku
meninggal waktu ngelahirin aku."
Nadya
mendadak menatap Aldo dengan nelangsa. Ia pun sadar bahwa kini ada pancaran luka di
kedua mata Aldo. Luka itu bagai terkuak lagi.
"Papa
sekarang udah nikah lagi sama seorang wanita yang namanya Rachel. Dia sosok
Mama yang ideal, dia sayang banget sama kami semua. Dia wanita yang selalu memotivasi
aku; dia selalu berusaha buat jadi seorang ibu yang baik. Dari pernikahan Papa
sama dia, aku jadi punya adek. Namanya Naya Caroline Nugraha. Dia cantik, lucu,
dan imut. Umurnya masih lima tahun."
"Kalo
kamu mau tau dari mana sisi diri aku yang lain itu berasal..." Aldo
memberi jeda. Mendadak, cowok itu mengepalkan tangan dan
memejamkan matanya sejenak. Rahangnya mengeras. Nadya merasa waswas sekaligus
penasaran dari mana sisi Aldo yang lain itu berasal.
Setelah
penantian yang terasa bagai satu abad lamanya, Aldo pun akhirnya membuka
mulutnya. Dengan suara yang pelan, Aldo berkata, "Itu pertama kali muncul
pas aku masih kecil. Dulu..." Aldo semakin mengepalkan
tangannya. Ia seakan membuka kembali masa lalu yang pahit. Hal itu membuatnya
begitu sulit berbicara.
"...aku pernah jadi
korban penculikan anak-anak," lanjut Aldo kemudian. Nadya kaget bukan
kepalang. Tubuh Nadya langsung mematung seolah ada sebuah petir yang
tiba-tiba menyambarnya.
Aldo
pernah...jadi korban penculikan?
"Waktu
itu, aku lagi main berdua sama Kakakku itu. Dulu, kalo kami berdua lagi main, kami
selalu diawasi. Tapi hari itu kami berdua kabur; kami pergi ke
luar diem-diem supaya nggak diawasi. Kami main jauh dari rumah…dan hal
itu terjadi." Aldo berhenti sejenak. "Penculik itu cuma bawa
aku dan ninggalin Kakakku di sana. Tapi entah ngapa...Kakakku cuma diam. Meski
ekspresi mukanya keliatan panik, dia nggak nyoba buat ngeraih aku. Aku jerit-jerit
minta tolong sama dia, tapi dia cuma diam dan nunduk. Aku…nggak percaya..." Aldo
menunduk, bahu Aldo tampak bergetar. Perasaannya kini bergejolak akibat terus-menerus
menahan luka.
"Aldo..."
panggil Nadya dengan suara lirih; jemarinya ingin meraih Aldo, tetapi berhenti
di tengah jalan. Nyatanya, ia belum berani menyentuh bahu Aldo untuk
menenangkan Aldo. Itu membuatnya sedikit kecewa. Aldo tampak sangat kesulitan, tetapi
cowok itu berusaha sekuat tenaga agar bisa menceritakan semuanya kepada Nadya.
"Aldo, nggak
usah diceritain kalau itu sulit buat kamu..." Akhirnya, itulah
keputusan Nadya. Mata Nadya berkaca-kaca. Ternyata Aldo punya masa kecil yang menyedihkan
dan juga menakutkan. Aldo punya sebuah pengalaman yang tak ingin didapatkan
oleh anak-anak mana pun.
Aldo...terluka.
Luka itu membuat lubang di hatinya, bersarang di sana,
dan ia menahan semua itu di balik senyuman tulusnya.
"Selain
itu..." Akhirnya, Aldo bersuara lagi meski suara itu serak dan tampak
sangat sulit untuk dikeluarkan. "Dulu, setiap aku lewat dengan
diikuti bodyguard, aku selalu jadi bahan omongan tetangga. Aku
selalu denger mereka bisik-bisik kalo aku lewat di depan mereka. Mereka
bilang, 'Jadi ahli waris itu nggak enak, ya. Kasian, masih
anak-anak gitu, anak itu jadi nggak bebas. Dia udah tertekan dari kecil. Dia
selalu diawasi oleh bayang-bayang papanya sendiri.’," ujar Aldo
sembari tersenyum kecil. Namun, sepertinya…itu adalah senyuman pahit. Aldo
bahkan menggeleng saat menceritakan hal itu.
Itu
menyakitkan. Mendengar orang sekitar berbicara buruk tentang kita di depan kita
sendiri itu menyakitkan.
Tanpa
sadar…cerita Aldo itu membuat air mata Nadya jatuh. Ruang OSIS itu semakin hening.
Aldo
lalu menoleh kepada Nadya dan matanya melebar saat ia melihat Nadya menangis.
Kontan cowok itu mengusap air mata Nadya.
"Semenjak Kakakku
itu ada, aku mulai ngerasa sedikit plong. Aku ngerasa punya
temen; aku ngerasa mulai bisa cuek sama omongan orang-orang. Aku belajar buat
nggak kaku lagi. Aku masih SD, sih, jadi emang selalu
ngerasa...murung...gara-gara omongan orang ke aku. Waktu itu, Papa belum nikah
lagi. Kakakku itu bijak, dia bisa ngebuat aku nyaman dan ngebuat aku jadi
pribadi yang kuat. Di samping itu, dia kadang-kadang ngajak aku buat ngelakuin
hal-hal menarik yang nggak bisa kulakuin sebelumnya. Dia ngajarin aku hal-hal
yang baru, hal yang ngebuat aku mikir kalo sebenernya aku nggak perlu meduliin
semua omongan orang itu. Tapi saat penculikan itu terjadi..." Aldo
kembali mengeraskan rahang. "Aku bener-bener kecewa. Aku nggak percaya kalo
dia itu kakak yang selalu jadi saudara sekaligus sahabat aku. Pas aku mulai
kecewa, aku jadi bener-bener diem waktu penculik itu ngikat aku,
namparin aku, dan juga nyiksa aku. Pikiranku kosong."
Aldo
memejamkan matanya. Tangannya terkepal dan tubuhnya menegang. Cowok itu kembali
mengingat saat dirinya disiksa, saat cambuk itu mengenai tubuh kecilnya; cowok
itu mengingat semuanya. Nadya kontan memegang punggung Aldo. Cewek itu jadi
panik bukan main.
Memori
itu benar-benar membuat Aldo tertekan. Aldo jelas tak boleh
mengingat itu lagi!
Akan
tetapi, kini Aldo menghela napasnya. Hal itu dilakukannya agar ia lebih tenang
untuk bercerita meski rasanya jantungnya bagai kena tohok telak.
"Aku nggak
bisa mikir apa-apa. Seingatku, di hari itu aku sama sekali nggak masang
ekspresi apa pun. Pikiranku kosong dan yang aku tau, aku kecewa. Pukulan
dan siksaan dari penculik itu ngebuat badan aku berdarah, tapi entah ngapa aku nggak ngerasa
sakit sama sekali... Sakit hati itu seolah ngebuat aku mati rasa. Aku sakit
hati ngeliat reaksi Kakakku. Dia emang panik, tapi entah ngapa aku ngeliat ada
bersitan rasa senang yang muncul di matanya. Aku kenal dia
dan aku tau tatapan itu."
Nadya
menggeleng tak percaya. Mata Nadya masih melebar saat Aldo
melanjutkan, "Saat penculik itu ngelakuin apa pun atau nanyain apa pun ke
aku, aku nggak jawab apa-apa. Aku nggak selera buat ngejawab mereka, aku udah
mikir kalo semua hal di dunia ini sama aja. Semuanya cuma sekumpulan orang
yang seharum bunga kalo dari jauh, tapi berbau sampah kalo
dari deket. Pas aku cuma natap sinis ke penculik-penculik itu, mereka makin
marah...dan mereka ngomongin hal-hal yang aku benci. Mereka bilang kalo aku emang
pantas dibunuh karena Mama meninggal pas ngelahirin aku. Mereka juga bilang
kalo aku ini dilahirin cuma buat jadi sandera…supaya Papa ngewarisin
usahanya ke keluarga aku yang udah kerja sama Papa puluhan tahun. Aku nggak
pantes jadi ahli waris. Abis itu, mereka ketawa dan bilang kalo mungkin hal itu
jugalah yang ngebuat Kakakku bahkan nggak mau noleh pas mereka bawa aku secara
paksa," ujar Aldo dengan pahit.
Nadya
bisa melihat bahwa Aldo benar-benar sedang berusaha. Itu adalah sebuah trauma
bagi Aldo. Aldo pasti sakit kepala saat mengingat hal itu lagi; Aldo pasti
sangat kesulitan. Semua memori masa lalu itu pasti terus berputar bagai kaset
rusak di otaknya.
"Kalimat
terakhir itulah yang ngebuat aku ngerasa hilang kendali. Waktu itu, yang aku
inget cuma satu: kepalaku panas dan aku melototin penculik-penculik itu.
Kalimat itu serasa nampar aku, ngehancurin aku
berkeping-keping. Aku teriak dan ngeberontak. Aku berhasil ngelukain
salah satu penculik itu pas dia deketin aku. Dari sanalah sisi yang gelap ini
muncul, Nad. Sisi itu bakal muncul kalo aku udah nggak bisa ngendaliin
diri aku lagi, di mana pikiran-pikiran yang aneh mulai berkecamuk di kepala
aku tanpa aku tau kapan bisa berentinya.
Pikiran itu serasa nggerogoti kepala aku dan aku kayak bener-bener jadi orang
lain."
Mata
cowok itu tampak jernih, tetapi sedikit berair. Tatapan matanya
benar-benar sendu.
Namun,
sesaat kemudian…cowok itu menarik napasnya dalam. Ia berusaha sekuat tenaga
untuk tetap menatap Nadya dengan fokus.
"Untungnya,
Rachel selalu ngajarin aku dan memotivasi aku, Nad. Makanya, sisi itu jarang
muncul. Aku cuma takut kalo...itu bisa ngelukain kamu suatu saat
nanti."
Nadya
menggeleng. Nadya merasa kalau hal itu tidak benar. "Nggak kok, Aldo, kamu
nggak bakal bikin aku terluka. Kamu orang baik. Kamu orang yang tegar. Aku..
Aku bener-bener berterima kasih…karena kamu mau nyeritain
semua tentang kamu ke aku. Aku seneng banget...tapi aku
ngerasa kalo aku juga egois karena kamu harus ngebongkar masa lalu kamu lagi
cuma buat cerita ke aku. Aku nggak bakal maksa kamu lagi. Aku minta
maaf, Aldo. Aku minta maaf. Tapi…makasih... Makasih banget, ya,
Aldo..." Nadya berkata sembari menggeleng penuh haru. Cewek itu menunduk
dan menangis. "Aku jadi ngerasa bener-bener berharga...untuk
pertama kalinya."
Aldo
tersenyum lembut. Cowok itu meraih dagu Nadya dan membuat Nadya—yang wajahnya penuh
dengan air mata itu—menatapnya.
Setelah
itu, Aldo mencium bibir Nadya dengan lembut.
Saat
Aldo melepas ciuman itu, Aldo tahu bahwa pipi Nadya yang lembap itu kini memerah.
"Ada
kamu di sini aja…udah bisa bikin aku tenang kok, Nad. Makasih karena udah mau
dengerin semua tentang aku dan nerima aku apa adanya. Aku
bener-bener nggak salah; aku nggak salah jatuh cinta sama kamu. Orang
yang harusnya berterima kasih itu aku, Nad."
Nadya
meneguk ludah dan melipat bibirnya. Aldo memeluknya sejenak. Begitu pelukan itu
terlepas, Aldo mulai tersenyum manis. Sangat manis hingga membuat matanya melengkung…seolah
ikut tersenyum.
"Nah,
sekarang ayo kita balik ke lapangan. Untung aja istirahatnya setengah jam.
Jadi, aku punya waktu buat cium kamu."
Blam.
Pipi
Nadya semakin merona. Warna merah jambunya terang sekali. Aldo bagai menembakkan
serpihan-serpihan love ke udara. Akan tetapi, dengan sekuat
tenaga Nadya mencoba untuk mengalihkan pikirannya.
"Ah…iya,
ya. K—Kamu, kan, mau lanjut quarter kedua. Tapi…kenapa istirahatnya
lama banget?" tanya Nadya dengan gugup. Cewek itu berusaha untuk tetap
menguasai dirinya meski nyatanya jantungnya berdebar-debar. Pipinya terasa
sangat panas, panasnya hingga ke telinga!
"Nggak
tau juga, Nad," jawab Aldo. "Mungkin mereka mau makan dulu…sekaligus
latihan-latihan di lapangan?"
Nadya
mengangguk-angguk dan mulutnya membentuk 'o' kecil. Saat itulah Aldo mengusap
puncak kepala Nadya dengan sayang dan kembali membuat Nadya
gugup bukan main. Rasanya bagai terbang ke langit ketujuh.
Apa
pun yang Aldo lakuin kok bisa bikin aku jadi salting, sih...
"Yuk,"
ajak Aldo. Aldo turun dari meja itu dan menuntun Nadya untuk turun juga. Aldo
menggandeng tangan Nadya, lalu mereka keluar dari Ruang OSIS. Aldo mengunci pintu
ruangan itu kembali.
Saat
kembali ke area lapangan, banyak sekali pasang mata yang menatap Nadya dengan iri.
Namun, ada juga yang kesengsem karena merasa bahwa Nadya
itu beruntung banget. Disayangi oleh Ketua OSIS SMA Kusuma
Bangsa yang kerennya kebangetan itu...sampai-sampai ke
lapangan aja digandeng.
Kayaknya,
Ketua OSIS yang ganteng itu bener-bener lagi kasmaran.
Saat
teman-teman Aldo mulai menghampiri dan menyapa Aldo sambil ber-high five,
Aldo tetap tidak melepaskan tangan Nadya sama sekali. Aldo baru
membawa Nadya untuk duduk di kursi penonton saat quarter kedua dimulai.
Cowok itu sempat mencubit pipi Nadya sekilas sebelum masuk ke lapangan dan ber-high
five dengan Rey.
Nadya
saja sampai gugup setengah mati; dia tak bisa berkutik sama
sekali.
Punya cowok
begitu...siapa, sih, yang nggak mau? []
No comments:
Post a Comment