Sunday, May 11, 2025

Because of Ticket! (Bab 11: Kilas Balik Pertama)

 


******

Bab 11 :

Kilas Balik Pertama

 

******

 

INGGRIS, 5 SEPTEMBER 2006.

 

BISIKAN itu. Lagi-lagi, Aldo mendengar bisikan-bisikan itu tiap kali dia berdiri di depan pagar. Dia akan berdiri di depan pagar itu karena mobil yang akan mengantarnya ke sekolah telah stay di sana, menunggunya. Namun, karena bisikan-bisikan yang sangat mengganggu itu, dia akhirnya tak mau masuk mobil dari luar pagar. Dia harus masuk mobil dari halaman rumah.

Richard, butler-nya, mungkin juga mendengar bisikan-bisikan para tetangga yang kebetulan keluar mengantar anak mereka ke sekolah ataupun jogging bersama pasangannya di pagi hari.

"Kasihan, ya..."

"Lihat, padahal dia tampan sekali. He is a gorgeous boy, but somehow seems depressed."

"Mengapa dia selalu kelihatan murung?"

"Menjadi ahli waris itu tak enak, ya. Kasihan, padahal dia masih anak- anak. Dia jadi tidak bebas dan tertekan seperti itu. Dia selalu diawasi oleh bayang-bayang papanya sendiri."

Aksen British yang terdengar mengasihani itu membuat Aldo bosan. Rasanya muak sekali; ia ingin melempar tasnya, lalu masuk ke dalam rumah. Biarlah ia tak masuk sekolah daripada harus mendengar rasa kasihan yang baginya bagaikan hinaan itu. Akan tetapi, kalau ia kembali ke rumah, ia akan berhadapan dengan papanya dan papanya akan menginterogasinya panjang lebar.

Sesungguhnya, papanya tidak melakukan sesuatu yang salah. Hal yang dilakukan oleh papanya hanyalah overprotective padanya. Terlalu menjaganya bagaikan berlian yang tiada gantinya.

Seolah akan ada sesuatu yang melukai Aldo jika Aldo tidak diawasi barang sebentar saja.

"Tuan Muda, Anda baik-baik saja? Apa ada yang salah?" tanya Richard dengan sopan setelah menunduk hormat kepada Aldo yang terpaku di depan pintu mobil yang sudah terbuka. Kata-kata para tetangga yang barusan lewat itu masih bersarang di otaknya. Ini lucu. Mengapa para tetangga itu tidak khawatir kalau-kalau Aldo bisa mendengar mereka?

Aldo menghela napas, menunduk, lalu memejamkan matanya. Getir mulai menghampirinya. Rahangnya mengeras. Ia sendiri bingung; ia harus kesal atau sedih? Yang jelas, omongan orang-orang yang selalu ia dengar itu selalu mengganggu pikirannya dan mulai membuatnya merasa terkucil. Ia benar-benar terlihat murung, padahal sebenarnya ia tidak semenyedihkan itu. Ia hanya kesepian. Ia hanya ingin bebas seperti anak-anak lainnya. Ia hanya ingin penjagaan papanya yang terlalu sayang padanya itu sedikit dikurangi, sedikit renggang, agar ia bisa menatap dunia dengan wajah yang terangkat tanpa harus dihantui oleh sebutan ‘ahli waris satu-satunya’. Bukan berarti Aldo menentang keputusan papanya untuk menjadikannya sebagai seorang ahli waris; tentu Aldo akan menuruti papanya. Namun, saat usianya masih kecil seperti sekarang, tentu ada saatnya ia ingin bermain dengan teman-temannya. Ia ingin melakukan sesuatu yang anak laki-laki lain lakukan, seperti bermain bola, bermain layang-layang, bersepeda, dan sebagainya.

Mom, why did you just leave me and Dad like that? I don't want to face this world.

"Tuan Muda?" panggil Richard sekali lagi.

"It’s okay, Richard," jawab Aldo pelan, lalu ia masuk ke mobil. Richard akhirnya mengangguk dan menutup pintu mobil itu.

 

******

 

INGGRIS, 21 SEPTEMBER 2006.

 

"Hey, Little Nugraha. This is your new sibling, buddy," ujar Geraldino Nugraha, papa Aldo, begitu Aldo membuka pintu depan rumahnya. Papanya membawa seorang anak laki-laki yang sedikit lebih tinggi darinya. Anak itu menatap Aldo dengan mata yang terbuka lebar, sementara Aldo menatap anak itu seraya tercengang. Ia kaget sekaligus heran.

Gerald membawa anak itu mendekati Aldo, lalu pria itu mulai berjongkok untuk mencium puncak kepala Aldo. Setelah itu, dia mengusap puncak kepala Aldo dengan penuh kasih sayang. "Papa tau kalo kamu kesepian. I just want you to be happy, Son."

Mata Aldo melebar saat mendengar itu, tetapi pelan-pelan dahinya mulai berkerut. "Who is he, Dad?"

"Your sibling! Your big brother!" jawab Gerald dengan bersahabat. "You guys can be a best friend! I took him from Indonesia. His name is Sandi Kurnia, but now he's Sandi Kurnia Nugraha. Isn't that great?"

Aldo kontan merasa takjub. Papanya baru saja pulang dari perjalanan bisnis di Indonesia dan membawakannya seorang saudara baru. Saudara angkat. Mereka baru pindah dari Indonesia dua tahun lalu, saat Aldo masuk SD. Dulu—kata papa Aldo—mereka tinggal di Perancis, tetapi pindah ke Indonesia saat mama Aldo meninggal. Namun, saat Aldo masuk SD, papanya pindah ke Inggris. Aldo tidak mengerti alasannya, mungkin itu karena pekerjaan.

Aldo tak mengerti apa yang papanya pikirkan saat ini dengan membawakannya seorang saudara angkat. Namun, entah mengapa ada euforia yang menyebar ke seluruh tubuhnya saat mengetahui bahwa ia takkan sendirian lagi. Kini, ada orang yang bisa menjadi temannya di rumah saat papanya pergi atau saat ia terkurung di rumah. Mungkin, sekarang semuanya akan berubah. Mungkin, ia takkan murung lagi. Ada orang yang akan menjadi kakaknya, bermain bersamanya dan berbagi banyak hal dengannya.

Tentu saja, kedua matanya berbinar saat melihat Sandi, terutama saat Sandi tersenyum manis padanya. Sepertinya, Sandi adalah orang yang ramah dan baik. Pikiran itu muncul begitu saja.

Mereka lalu bersalaman. Sandi lebih dahulu mengulurkan tangannya. "Namaku Sandi!"

"Aldo."

 

******

 

INGGRIS, 18 OKTOBER 2006.

 

Seperti biasa, Aldo dan Sandi tetap dijaga oleh Richard dan beberapa bodyguard lainnya ketika mereka ingin bermain bola di halaman belakang rumah mereka yang luas. Rumput hijau di belakang rumah itu ditata dengan begitu indah. Ada banyak kupu-kupu di sana. Pagar belakang rumah itu adalah pagar besi biasa yang tidak dilindungi oleh fiber. Halaman belakang itu dulunya memang dibuat khusus untuk Aldo bermain meskipun selama ini Aldo selalu kesepian. Ia tidak punya teman bermain; ia tidak pernah keluar. Di sekolah pun ia menjadi anak yang pendiam. Semua rasa kesepian itu sukses mempengaruhi kepribadiannya.

Dari pagar belakang itu, terlihat barisan rumah lainnya yang berlokasi di belakang rumah Aldo.

Saat Aldo dan Sandi saling tertawa dan mengoper bola—Richard dan bodyguard lainnya berdiri di pinggir halaman, mengawasi mereka—ada sebuah suara yang terdengar dari arah pagar itu.

Mereka semua kontan menoleh ke sana.

Ternyata, ada seorang ibu-ibu tua yang berdiri di luar pagar itu. Ibu itu tersenyum; kerutan di wajahnya sudah banyak, tetapi senyumannya tetap manis.

"Oh, now you have a friend? You must not be alone anymore. Be happy. You are a handsome little boy. Keep smiling like that, okay? It looks good on you. Don't listen to what other people say about you." 

Mata Aldo melebar.

Apa ibu itu…selalu memperhatikannya?

Apa ibu itu juga melihat bagaimana ia dulunya selalu bermain di halaman belakang sendirian dengan ekspresi sedih?

Ibu itu...memperhatikan semuanya, lalu mengatakan sesuatu yang...tak disangka-sangka.

Tanpa sadar, kedua mata Aldo yang jernih itu berkaca-kaca. Ibu itu mulai pergi, lalu tiba-tiba Aldo merasa bahunya ditepuk pelan. Begitu dia menoleh ke samping, di sana ada Sandi yang sedang tersenyum manis padanya.

"Udah aku bilang, kamu itu harus bahagia! Orang-orang selalu ngomongin apa yang mereka liat. Jadi, kalo kamu keliatan seneng, selalu ketawa, ganteng, dan bercahaya kayak gini, mereka pasti bakal bilang kalo kamu itu bahagia. Mereka nggak bakal bilang 'kasihan' lagi. Hmm…tapi jangan palsuin kebahagiaan kamu, ya. Aku bakal tau. Orang-orang bakal sadar juga."

Aldo tersenyum dan mengangguk. Kini, ia merasa telah benar-benar lepas dari beban yang selama ini ada di pikirannya. Matanya masih berkaca-kaca.

"Maaf, ya. Aku belum lancar Bahasa Inggris, hehe," ujar Sandi seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “tapi aku ngerti kok dikit-dikit.”

Hal itu kontan membuat Aldo tertawa kecil.

"Coba liat ke langit, Aldo!" ujar Sandi dengan antusias. Dia tiba-tiba menunjuk langit. "Bagus, ‘kan? Itu bikin kita jadi pengin terbang jauh ke mana pun. Tapi kita nggak punya sayap, jadi kita nggak bisa ngelakuin itu. Kata nenek yang ngasuh aku di Panti Asuhan dulu, karena kita nggak bisa terbang ke langit dengan sayap, hal yang bisa kita lakuin adalah terbang dengan seluruh potensi kita...dan ngeraih mimpi. Dengan begitu, kita bakal tau gimana rasanya terbang tinggi dan pergi ke mana pun yang kita mau."

Saat Aldo melihat ke langit, ia sadar bahwa kakaknya ini adalah orang yang sangat menarik. Lebih menarik daripada apa yang ia duga saat pertama kali mereka bertemu. Sandi telah mengajarkan banyak hal yang baru padanya. Usia mereka hanya berbeda satu tahun, tetapi pikiran Sandi sudah begitu...luar biasa. Sandi punya wawasan yang luas.

"Kak, aku nggak tau kalo Kakak..." ujar Aldo, membuat Sandi kontan menoleh kepadanya dengan mata yang melebar ingin tahu. "...ngomongnya bisa sebagus itu."

Sandi kontan tertawa. Aldo juga ikut tertawa. Diam-diam, Richard dan para bodyguard juga tersenyum penuh haru. Sandi lalu menjatuhkan tubuh Aldo hingga mereka berdua berbaring di rumput halaman belakang rumah mereka.

"Nanti kalo udah gede, aku mau jadi fotografer. Aku mau foto semua keindahan alam. Kalo Aldo gimana?"

Aldo menatap Sandi sejenak, lalu kembali menatap langit. Aldo lalu berkata, "Aku mau ngurus perusahaan Papa, Kak."

Sandi tersenyum manis.

"Oke! Kita sama-sama berjuang, ya! Semangat!" teriak Sandi. Hal itu membuat Aldo tertawa. Tawa yang sebelumnya jarang Aldo keluarkan; Aldo hampir tak pernah tertawa lagi sejak masuk sekolah.

Sandi ikut tertawa. Apa pun akan Sandi lakukan agar Aldo bisa tersenyum dan tertawa, karena ia sudah menyayangi Aldo meski mereka belum lama bertemu. Aldo itu sifatnya agak kaku; dia sering terlihat murung, but he has a big heart. He is wonderful.

Sandi pun sangat menyayangi Gerald, ayah angkatnya. Aldo dan Gerald, mereka semua merupakan orang yang baik. Ini adalah keluarga yang harmonis meski tanpa hadirnya seorang ibu. Mungkin…Aldo hanya merasa kesepian dan tertekan. Sandi selalu memperhatikan Gerald yang sangat mengutamakan kebahagiaan Aldo, keselamatan Aldo, semuanya. Aldo harus aman, sehat, dijaga, dan diperlakukan bak raja. Namun, itu membuat Aldo merasa terkungkung. Sandi selalu memperhatikan semua itu.

Aldo itu sangat beruntung. Namun, melihat orang-orang selalu mengatakan kalimat yang tak enak pada Aldo...serta melihat penjagaan Aldo yang sangat ketat...Sandi jadi ingin melindungi Aldo. Dia ingin mengajak Aldo menikmati indahnya dunia yang sedang mereka tempati, lalu bermain bersama...

Namun, mengapa ada sesuatu yang seolah menekan dada Sandi saat melihat Gerald memanjakan Aldo? Itu bukan berarti Sandi tidak disayang dan tidak dimanja, tetapi...

Mengapa...Sandi malah ingin dijaga seperti itu juga oleh Gerald? Mengapa...ada rasa iri yang muncul?

Sandi sontak merasa bahwa dirinya jadi tak tahu diri dan egois. Dia merasa berada di antara dua perasaan yang membuatnya jadi terombang-ambing.

Sebenarnya, apa yang dia inginkan?

 

******

 

INGGRIS, 13 MEI 2009.

 

"Kak, ntar kita kena marah Papa, lho," ujar Aldo sembari menoleh ke belakang. "Richard juga bakal cari kita."

"Udah, nggak apa-apa," kata Sandi seraya tersenyum. Dia menggenggam tangan Aldo. "Kamu juga mau, ‘kan, sekali-sekali mainnya nggak diawasi?"

Aldo mengedipkan matanya dua kali, lalu dahinya berkerut. "Tapi Kak—"

"Yah...pagarnya digembok," keluh Sandi. Aldo menganga.

"Jadi...gimana, dong, Kak?"

Tiba-tiba Sandi punya ide. Ia menatap Aldo dan tersenyum sembari menaik-turunkan sebelah alisnya. Entah mengapa, semenjak ia bertekad untuk membuat Aldo tersenyum, ia jadi lebih menyenangkan. Biasanya, di Panti Asuhan, Sandi dikenal sebagai anak baik yang murah senyum, alim, dan tidak terlalu banyak bicara. Namun, jika sudah mengobrol dengannya, kau akan tahu bahwa dia adalah orang yang ramah. Ia mampu mengajak Aldo untuk menemukan hal-hal baru yang menarik.

Dunia itu indah jika kita lebih menghargai dan mensyukurinya.

Mata Aldo membulat. Ia lalu menatap kakaknya dengan curiga. "Jangan bilang..."

"Yoi. Kita panjat pagarnya!" ujar Sandi dengan senyum manisnya yang seolah bercahaya.

Aldo langsung panik. "Kak, kita nggak—"

Aldo terperanjat saat Sandi menarik tangannya. "Kak, tunggu dulu—"

"Udaaah, nggak apa-apa. Ayo," ajak Sandi dengan santai. Sandi tertawa kecil.

Sandi pun mulai memanjat pagar itu. Beberapa tahun tinggal di Panti Asuhan Amara telah sukses membuatnya menyatu dengan alam. Sandi menyukai keindahan alam.

Sandi lalu melihat ke bawah; dia melihat Aldo yang tampak kesulitan saat memanjat pagar. Ah, maklum, Aldo belum pernah melakukan hal seekstrem itu. Aldo adalah anak pengusaha kaya yang selalu terkurung di dalam rumah dan hanya melihat hal-hal mewah yang disediakan untuknya.

Sandi tertawa; ia pun lantas menolong Aldo. Untungnya, tidak ada penjaga di sekeliling rumah. Mereka semua sedang ada pertemuan di dalam, pertemuan yang tentunya dipimpin oleh Richard.

Sandi sampai di depan pagar lebih dahulu. Dia pun berteriak, "Ayo, Aldo! Dikit lagi! Ayo!"

Dahi Aldo berkerut. Ia berusaha sekuat tenaga untuk memanjat pagar tinggi itu dan mulai turun. Akhirnya, sedikit lagi ia sampai dan...hup! Ia berhasil melompat dengan baik. Ia lalu dipeluk oleh Sandi.

Mereka berhasil bermain di luar tanpa diikuti oleh siapa pun. Aldo menatap wajah Sandi yang sedang berlari di sebelahnya; Sandi tengah menggandengnya sembari tersenyum. Wajah Sandi…tampak bercahaya.

Kini, Aldo tak merasa kesepian atau murung lagi. Dia menjadi lebih kuat sejak ada Sandi.

Saat mereka sedang bermain di taman dengan asyiknya, tiba-tiba Aldo melihat sesuatu. Ada dua bayangan manusia bertubuh tinggi yang berdiri tepat di sebelahnya. Saat Aldo menoleh ke samping, tubuh Aldo langsung mereka raih. Mereka mengunci kedua tangan Aldo.

Tadinya, memang tidak ada orang selain Aldo dan Sandi di taman itu. Lagi pula, baik Aldo maupun Sandi, keduanya tak menyangka bahwa hal seperti ini akan terjadi.

"KAK!!!!" teriak Aldo pada Sandi yang matanya sudah membeliak. Sandi langsung mengejar Aldo; dia berteriak karena merasa panik bukan main. Aldo tampak terus meronta-ronta hendak melepaskan diri dari genggaman kedua orang dewasa itu.

"LET GO OF MY BROTHER!!!!" teriak Sandi, dia mencoba untuk terus menarik kaki Aldo dan menarik baju salah satu dari kedua pria dewasa itu. Namun, tubuh Sandi tiba-tiba terempas ke tanah; Sandi didorong oleh salah satu pria dewasa itu.

Mulut Aldo ditutup secara paksa dan Sandi jadi tambah panik. Namun, saat Sandi menatap mata Aldo…

…ada perasaan aneh yang datang begitu saja tanpa ia sadari.

Tanpa aba-aba.

Perasaan itu membuat jantungnya seakan berhenti berdegup sejenak dan menciptakan rasa sakit yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Sandi melebarkan matanya, merasa tak menyangka.

Itu adalah...sebuah perasaan bahagia.

Perasaan itu lewat begitu saja. Muncul dan memelesat bagaikan kilat.

Begitu Sandi memperhatikan Aldo dengan semakin jelas, ia pun yakin bahwa dirinya memang tak tahu diri. Dirinya memang kakak yang terburuk. Soalnya, ia tahu perasaan itu dengan jelas.

Satu detik kemudian, Sandi menunduk karena kecewa dengan dirinya sendiri. Dia memejamkan matanya karena merasa getir. Hatinya serasa diiris-iris. Saat Aldo memberontak dan berusaha untuk meneriakkan namanya, lalu saat Aldo dibawa paksa oleh kedua pria dewasa itu dan dimasukkan ke sebuah mobil...

…Ia benar-benar telah kehilangan segalanya.

 

******

 

Aldo hanya diam ketika kedua penculik itu mengikat tubuhnya di dalam sebuah gudang. Tidak ada rona di wajahnya; darahnya seolah tidak mengalir ke sana. Ekspresinya datar, tetapi entah mengapa terasa sangat dingin. Otot-otot di wajahnya bagaikan berhenti berfungsi. Aldo kini laksana mayat hidup; dia tak mau merespons sama sekali. Tubuhnya lemas bagai boneka.

Itu bukan Sandi. Itu pasti bukan Sandi.

Demi apa pun, Aldo tak peduli lagi dengan apa yang tengah dihadapinya saat ini. Bahkan, ketika penculik itu menamparnya dengan keras (hingga mulutnya mengeluarkan darah), ekspresinya tetap sama. Saat penculik itu mencambuknya pun, ia masih layaknya boneka yang pasrah ketika disiksa.

"Hey, kau sudah siap mati, ya?!" ujar salah satu dari penculik itu. Penculik yang satu lagi kontan tertawa.

Aldo hanya diam.

"Oi, kid! Kami sedang bertanya padamu, sialan!!" hardik penculik itu sembari mencambuk tubuh kecil Aldo. Ah, Aldo tak peduli lagi. Semuanya bohong. Sandi yang dilihatnya itu juga mungkin hanya khayalan.

Pukulan para penculik itu entah mengapa tak terasa sakit sama sekali. Tubuh Aldo benar-benar seolah mati rasa.

"Dengar, kau itu pantas mati! Dasar pembunuh!" teriak salah satu penculik itu. "Ibumu mati saat melahirkanmu! Anak sepertimu tiba-tiba menjadi ahli waris? Tuan Donovan pasti senang jika kami membunuhmu!"

Aldo dengar itu. Namun, kali ini Aldo tidak diam. Mendengar ibunya disebut, Aldo menatap penculik itu dengan sinis. Penculik itu kontan naik darah dan menggeram.

"WHAT THE FUCK? APA YANG KAU LIHAT, HAH?!! BOCAH SIALAN!!" bentak penculik itu, lalu dia mencambuk Aldo berkali-kali. Tubuh Aldo semakin banyak mengeluarkan darah, tetapi anehnya…rasa sakitnya tak seberapa jika dibandingkan dengan rasa kecewa dan marahnya pada semua yang telah terjadi hari ini.

Sepertinya, Aldo mulai menjadi monster. Soalnya, tubuhnya tak merasa sakit sama sekali. Seolah-olah ia dibius. Pikirannya kosong.

"Kau itu," ujar salah satu penculik, berhenti berbicara tiap kali dia mencambuk tubuh kecil Aldo. "memang seharusnya dilahirkan…” Cambuk lagi. "...untuk dijadikan sandera semata! Supaya ayahmu mewariskan perusahaannya..." Cambuk lagi. "...kepada keluargamu yang sudah bekerja dengan ayahmu puluhan tahun!"

"Anak kecil sepertimu tak pantas menjadi ahli waris! Your father must have lost his mind!" teriak penculik itu, kemudian mereka berdua tertawa.

Setelah itu, penculik yang lainnya menambahkan, "Mungkin itu jugalah sebabnya kakak angkatmu itu tak mau menoleh padamu saat kami membawamu secara paksa! HAHAHA!!"

Mata Aldo langsung membulat sempurna.

Ada sebuah petir yang seakan menyambar tepat ke jantungnya. Ada gejolak amarah yang kontan berkumpul di dalam dirinya dan membuat sebuah pusaran. Kepalanya mendadak terasa panas seolah ingin pecah. Kedua tangannya yang terikat itu mulai terkepal. Ia mendadak tak dapat mengendalikan reaksinya, bagai tak lagi memegang kendali tubuhnya. Dalam waktu setengah detik, Aldo mengangkat wajahnya dengan sangat cepat. Aldo langsung menatap kedua penculik itu dengan tatapan membunuh. "For fuck’s sake, this kid!! Apa lagi?! Kau mau memarahi kami?! Memang kenyataannya begitu, bodoh!!!" ujar salah satu penculik itu. Mereka tertawa lagi.

"DIAM!!!!!!!" Aldo tiba-tiba berteriak. Kedua penculik itu kontan membelalakkan mata mereka dan mematung sesaat. Aldo lalu memberontak hebat. Kursi Aldo terjatuh dan Aldo langsung mengesot mendekati kedua penculik itu dengan tubuh yang luka-luka. Semua luka itu tampak mengerikan.

Kedua penculik itu serta-merta mendekati Aldo dan mulai memarahi Aldo; mereka menyiksa Aldo lagi. Namun, Aldo sempat menggigit lengan kanan salah satu penculik saat penculik itu mendekatinya. Penculik itu jadi semakin marah dan dia langsung mencambuk Aldo habis-habisan. Aldo menjerit dan memberontak hebat; dia berusaha untuk melepaskan dirinya sendiri bagai seekor singa yang mengamuk.

Tiba-tiba, pintu gudang itu terbuka. Papa Aldo—Gerald—masuk ke sana dengan penuh air mata; dia diikuti oleh seluruh pengawalnya beserta beberapa polisi. Kedua penculik itu langsung ditangkap dan Aldo jatuh ke pelukan papanya begitu ikatannya terbuka.

Aldo menangis sejadi-jadinya.

Di detik itu, dia mulai berjanji. Dia berjanji untuk hidup dengan bahagia. Dia harus melakukan itu agar Sandi tahu...bahwa tanpa Sandi, dia juga bisa bahagia dan tersenyum dengan tulus kepada semua orang. Ia tak mau Sandi, orang yang telah mengkhianatinya dan membuatnya kecewa itu, menganggap kalau ia akan terus murung jika Sandi tidak ada. Papa, yang selalu bersamanya dan menjaganya, melakukan apa pun untuknya, seharusnya dapat melihat kebahagiaannya. Orang yang mengasihinya seharusnya tak perlu khawatir dengan kebahagiaannya. Aldo menyesal karena telah menjadi anak yang kesepian dan murung. Nyatanya, ada orang yang benar-benar menginginkan kebahagiaannya. Menginginkan senyum tulusnya.

Selain kecewa dengan Sandi, ia pun merasa sangat kesal dengan dirinya sendiri. Kesal...

...karena biarpun Sandi telah membuatnya kecewa, Sandi telah mengajarinya banyak hal. Sandi mengajarinya cara untuk tersenyum dengan tulus, lalu mengajarinya cara untuk menghargai kehidupan. Biarpun ia kecewa, ia tak ingin membuang atau menertawakan ajaran Sandi. Ia malah ingin membuktikan bahwa ia bisa melakukan semua itu lebih dari Sandi.

Perasaan itu sukses membuatnya kesal bukan main.

Setelah kejadian itu, tahun berikutnya ketika Sandi masuk SMP, Sandi langsung memilih untuk tinggal sendiri. Gerald pun menyetujuinya. Gerald tetap mengurusinya dari jauh karena bagaimanapun juga, Sandi adalah anaknya. Sandi pergi dengan alasan ingin hidup mandiri serta ingin tempat tinggalnya dekat dengan sekolah barunya.

Luka hati yang mereka alami jelas tidak semudah itu untuk disembuhkan. []

 














******






No comments:

Post a Comment

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 13: Genius and Possessive)

  ****** Chapter 13 : Genius and Possessive   ******   Author: MATA Justin malam itu terlihat seperti mata seekor elang; matany...