Bab
11 :
Kilas
Balik Pertama
******
INGGRIS,
5 SEPTEMBER 2006.
BISIKAN itu.
Lagi-lagi, Aldo mendengar bisikan-bisikan itu tiap kali dia berdiri di depan
pagar. Dia akan berdiri di depan pagar itu karena mobil yang akan mengantarnya
ke sekolah telah stay di sana, menunggunya. Namun, karena
bisikan-bisikan yang sangat mengganggu itu, dia akhirnya tak mau masuk
mobil dari luar pagar. Dia harus masuk mobil dari halaman rumah.
Richard, butler-nya,
mungkin juga mendengar bisikan-bisikan para tetangga yang kebetulan keluar
mengantar anak mereka ke sekolah ataupun jogging bersama
pasangannya di pagi hari.
"Kasihan,
ya..."
"Lihat,
padahal dia tampan sekali. He is a gorgeous boy, but somehow seems depressed."
"Mengapa
dia selalu kelihatan murung?"
"Menjadi
ahli waris itu tak enak, ya. Kasihan, padahal dia masih anak- anak. Dia jadi
tidak bebas dan tertekan seperti itu. Dia selalu diawasi oleh bayang-bayang
papanya sendiri."
Aksen British yang
terdengar mengasihani itu membuat Aldo bosan. Rasanya muak sekali; ia ingin
melempar tasnya, lalu masuk ke dalam rumah. Biarlah ia tak masuk sekolah
daripada harus mendengar rasa kasihan yang baginya bagaikan hinaan itu.
Akan tetapi, kalau ia kembali ke rumah, ia akan berhadapan dengan papanya dan
papanya akan menginterogasinya panjang lebar.
Sesungguhnya,
papanya tidak melakukan sesuatu yang salah. Hal yang dilakukan
oleh papanya hanyalah overprotective padanya. Terlalu menjaganya
bagaikan berlian yang tiada gantinya.
Seolah
akan ada sesuatu yang melukai Aldo jika Aldo tidak diawasi barang sebentar
saja.
"Tuan
Muda, Anda baik-baik saja? Apa ada yang
salah?" tanya Richard dengan sopan setelah menunduk hormat kepada Aldo
yang terpaku di depan pintu mobil yang sudah terbuka. Kata-kata para tetangga
yang barusan lewat itu masih bersarang di otaknya. Ini lucu. Mengapa para
tetangga itu tidak khawatir kalau-kalau Aldo bisa mendengar mereka?
Aldo
menghela napas, menunduk, lalu memejamkan matanya. Getir mulai menghampirinya. Rahangnya
mengeras. Ia sendiri bingung; ia harus kesal atau sedih? Yang jelas, omongan
orang-orang yang selalu ia dengar itu selalu mengganggu pikirannya dan mulai
membuatnya merasa terkucil. Ia benar-benar terlihat murung, padahal sebenarnya
ia tidak semenyedihkan itu. Ia hanya kesepian. Ia hanya ingin
bebas seperti anak-anak lainnya. Ia hanya ingin penjagaan papanya yang terlalu
sayang padanya itu sedikit dikurangi, sedikit renggang, agar ia bisa
menatap dunia dengan wajah yang terangkat tanpa harus dihantui oleh sebutan ‘ahli
waris satu-satunya’. Bukan berarti Aldo menentang keputusan papanya untuk
menjadikannya sebagai seorang ahli waris; tentu Aldo akan menuruti
papanya. Namun, saat usianya masih kecil seperti sekarang, tentu ada
saatnya ia ingin bermain dengan teman-temannya. Ia ingin melakukan sesuatu yang
anak laki-laki lain lakukan, seperti bermain bola, bermain layang-layang,
bersepeda, dan sebagainya.
Mom, why
did you just leave me and Dad like that? I don't want to face this world.
"Tuan
Muda?" panggil Richard sekali lagi.
"It’s
okay, Richard," jawab Aldo pelan, lalu ia masuk ke
mobil. Richard akhirnya mengangguk dan menutup pintu mobil itu.
******
INGGRIS,
21 SEPTEMBER 2006.
"Hey,
Little Nugraha. This is your new sibling, buddy," ujar
Geraldino Nugraha, papa Aldo, begitu Aldo membuka pintu depan rumahnya. Papanya
membawa seorang anak laki-laki yang sedikit lebih tinggi darinya. Anak itu
menatap Aldo dengan mata yang terbuka lebar, sementara Aldo menatap anak itu seraya
tercengang. Ia kaget sekaligus heran.
Gerald
membawa anak itu mendekati Aldo, lalu pria itu mulai berjongkok untuk mencium
puncak kepala Aldo. Setelah itu, dia mengusap puncak kepala Aldo dengan penuh
kasih sayang. "Papa tau kalo kamu kesepian. I just want you to be
happy, Son."
Mata
Aldo melebar saat mendengar itu, tetapi pelan-pelan dahinya mulai
berkerut. "Who is he, Dad?"
"Your
sibling! Your big brother!" jawab Gerald dengan
bersahabat. "You guys can be a best friend! I took him from
Indonesia. His name is Sandi Kurnia, but now he's Sandi Kurnia Nugraha. Isn't
that great?"
Aldo kontan merasa takjub. Papanya baru saja pulang dari perjalanan bisnis di Indonesia dan membawakannya seorang saudara baru. Saudara angkat. Mereka baru pindah dari Indonesia dua tahun lalu, saat Aldo masuk SD. Dulu—kata papa Aldo—mereka tinggal di Perancis, tetapi pindah ke Indonesia saat mama Aldo meninggal. Namun, saat Aldo masuk SD, papanya pindah ke Inggris. Aldo tidak mengerti alasannya, mungkin itu karena pekerjaan.
Aldo
tak mengerti apa yang papanya pikirkan saat ini dengan membawakannya seorang
saudara angkat. Namun, entah mengapa ada euforia yang menyebar
ke seluruh tubuhnya saat mengetahui bahwa ia takkan sendirian lagi. Kini, ada
orang yang bisa menjadi temannya di rumah saat papanya pergi atau saat ia
terkurung di rumah. Mungkin, sekarang semuanya akan berubah. Mungkin, ia takkan
murung lagi. Ada orang yang akan menjadi kakaknya, bermain bersamanya dan
berbagi banyak hal dengannya.
Tentu
saja, kedua matanya berbinar saat melihat Sandi, terutama saat Sandi
tersenyum manis padanya. Sepertinya, Sandi adalah orang yang ramah dan baik.
Pikiran itu muncul begitu saja.
Mereka
lalu bersalaman. Sandi lebih dahulu mengulurkan tangannya. "Namaku Sandi!"
"Aldo."
******
INGGRIS,
18 OKTOBER 2006.
Seperti
biasa, Aldo dan Sandi tetap dijaga oleh Richard dan beberapa bodyguard lainnya
ketika mereka ingin bermain bola di halaman belakang rumah mereka yang luas. Rumput
hijau di belakang rumah itu ditata dengan begitu indah. Ada banyak
kupu-kupu di sana. Pagar belakang rumah itu adalah pagar besi biasa yang tidak
dilindungi oleh fiber. Halaman belakang itu dulunya memang dibuat khusus untuk
Aldo bermain meskipun selama ini Aldo selalu kesepian. Ia tidak punya teman
bermain; ia tidak pernah keluar. Di sekolah pun ia menjadi
anak yang pendiam. Semua rasa kesepian itu sukses mempengaruhi kepribadiannya.
Dari
pagar belakang itu, terlihat barisan rumah lainnya yang berlokasi di belakang
rumah Aldo.
Saat
Aldo dan Sandi saling tertawa dan mengoper bola—Richard dan bodyguard lainnya
berdiri di pinggir halaman, mengawasi mereka—ada sebuah suara yang terdengar
dari arah pagar itu.
Mereka
semua kontan menoleh ke sana.
Ternyata,
ada seorang ibu-ibu tua yang berdiri di luar pagar itu. Ibu itu tersenyum;
kerutan di wajahnya sudah banyak, tetapi senyumannya tetap manis.
"Oh,
now you have a friend? You must not be alone anymore. Be happy. You are a
handsome little boy. Keep smiling like that, okay? It looks good on you. Don't
listen to what other people say about you."
Mata
Aldo melebar.
Apa
ibu itu…selalu memperhatikannya?
Apa
ibu itu juga melihat bagaimana ia dulunya selalu bermain di halaman belakang sendirian
dengan ekspresi sedih?
Ibu
itu...memperhatikan semuanya, lalu mengatakan sesuatu yang...tak
disangka-sangka.
Tanpa
sadar, kedua mata Aldo yang jernih itu berkaca-kaca. Ibu itu mulai
pergi, lalu tiba-tiba Aldo merasa bahunya ditepuk pelan. Begitu dia menoleh ke
samping, di sana ada Sandi yang sedang tersenyum manis padanya.
"Udah
aku bilang, kamu itu harus bahagia! Orang-orang selalu ngomongin apa
yang mereka liat. Jadi, kalo kamu keliatan seneng, selalu ketawa, ganteng,
dan bercahaya kayak gini, mereka pasti bakal bilang kalo kamu
itu bahagia. Mereka nggak bakal bilang 'kasihan' lagi.
Hmm…tapi jangan palsuin kebahagiaan kamu, ya. Aku bakal tau. Orang-orang
bakal sadar juga."
Aldo
tersenyum dan mengangguk. Kini, ia merasa telah benar-benar lepas dari
beban yang selama ini ada di pikirannya. Matanya masih berkaca-kaca.
"Maaf,
ya. Aku belum lancar Bahasa Inggris, hehe," ujar Sandi seraya menggaruk
tengkuknya yang tidak gatal. “tapi aku ngerti kok dikit-dikit.”
Hal
itu kontan membuat Aldo tertawa kecil.
"Coba
liat ke langit, Aldo!" ujar Sandi dengan antusias. Dia tiba-tiba menunjuk
langit. "Bagus, ‘kan? Itu bikin kita jadi pengin terbang jauh ke mana
pun. Tapi kita nggak punya sayap, jadi kita nggak bisa ngelakuin
itu. Kata nenek yang ngasuh aku di Panti Asuhan dulu, karena kita nggak bisa
terbang ke langit dengan sayap, hal yang bisa kita lakuin adalah terbang dengan
seluruh potensi kita...dan ngeraih mimpi. Dengan begitu,
kita bakal tau gimana rasanya terbang tinggi dan pergi ke mana
pun yang kita mau."
Saat
Aldo melihat ke langit, ia sadar bahwa kakaknya ini adalah orang yang sangat
menarik. Lebih menarik daripada apa yang ia duga saat pertama kali mereka
bertemu. Sandi telah mengajarkan banyak hal yang baru padanya. Usia mereka
hanya berbeda satu tahun, tetapi pikiran Sandi sudah begitu...luar biasa. Sandi
punya wawasan yang luas.
"Kak,
aku nggak tau kalo Kakak..." ujar Aldo, membuat Sandi kontan menoleh
kepadanya dengan mata yang melebar ingin tahu. "...ngomongnya bisa sebagus
itu."
Sandi
kontan tertawa. Aldo juga ikut tertawa. Diam-diam, Richard dan para bodyguard juga
tersenyum penuh haru. Sandi lalu menjatuhkan tubuh Aldo hingga mereka berdua
berbaring di rumput halaman belakang rumah mereka.
"Nanti
kalo udah gede, aku mau jadi fotografer. Aku mau foto semua keindahan
alam. Kalo Aldo gimana?"
Aldo
menatap Sandi sejenak, lalu kembali menatap langit. Aldo lalu berkata,
"Aku mau ngurus perusahaan Papa, Kak."
Sandi
tersenyum manis.
"Oke!
Kita sama-sama berjuang, ya! Semangat!" teriak Sandi. Hal itu membuat Aldo
tertawa. Tawa yang sebelumnya jarang Aldo keluarkan; Aldo hampir tak pernah tertawa
lagi sejak masuk sekolah.
Sandi
ikut tertawa. Apa pun akan Sandi lakukan agar Aldo bisa tersenyum dan tertawa,
karena ia sudah menyayangi Aldo meski mereka belum lama bertemu. Aldo itu sifatnya
agak kaku; dia sering terlihat murung, but he has a big heart. He is
wonderful.
Sandi
pun sangat menyayangi Gerald, ayah angkatnya. Aldo dan Gerald, mereka semua merupakan
orang yang baik. Ini adalah keluarga yang harmonis meski tanpa hadirnya seorang
ibu. Mungkin…Aldo hanya merasa kesepian dan tertekan. Sandi selalu
memperhatikan Gerald yang sangat mengutamakan kebahagiaan Aldo, keselamatan
Aldo, semuanya. Aldo harus aman, sehat, dijaga, dan diperlakukan
bak raja. Namun, itu membuat Aldo merasa terkungkung. Sandi selalu
memperhatikan semua itu.
Aldo
itu sangat beruntung. Namun, melihat orang-orang selalu
mengatakan kalimat yang tak enak pada Aldo...serta melihat penjagaan Aldo yang
sangat ketat...Sandi jadi ingin melindungi Aldo. Dia ingin mengajak Aldo
menikmati indahnya dunia yang sedang mereka tempati, lalu bermain bersama...
Namun,
mengapa ada sesuatu yang seolah menekan dada Sandi saat melihat Gerald
memanjakan Aldo? Itu bukan berarti Sandi tidak disayang dan tidak dimanja,
tetapi...
Mengapa...Sandi malah ingin
dijaga seperti itu juga oleh Gerald? Mengapa...ada rasa iri yang
muncul?
Sandi
sontak merasa bahwa dirinya jadi tak tahu diri dan egois. Dia merasa berada di
antara dua perasaan yang membuatnya jadi terombang-ambing.
Sebenarnya,
apa yang dia inginkan?
******
INGGRIS,
13 MEI 2009.
"Kak,
ntar kita kena marah Papa, lho," ujar Aldo sembari menoleh ke belakang.
"Richard juga bakal cari kita."
"Udah,
nggak apa-apa," kata Sandi seraya tersenyum. Dia menggenggam tangan Aldo.
"Kamu juga mau, ‘kan, sekali-sekali mainnya nggak diawasi?"
Aldo
mengedipkan matanya dua kali, lalu dahinya berkerut. "Tapi Kak—"
"Yah...pagarnya
digembok," keluh Sandi. Aldo menganga.
"Jadi...gimana,
dong, Kak?"
Tiba-tiba
Sandi punya ide. Ia menatap Aldo dan tersenyum sembari menaik-turunkan sebelah
alisnya. Entah mengapa, semenjak ia bertekad untuk membuat Aldo tersenyum, ia
jadi lebih menyenangkan. Biasanya, di Panti Asuhan, Sandi dikenal sebagai anak
baik yang murah senyum, alim, dan tidak terlalu banyak bicara. Namun, jika sudah
mengobrol dengannya, kau akan tahu bahwa dia adalah orang yang ramah. Ia mampu
mengajak Aldo untuk menemukan hal-hal baru yang menarik.
Dunia
itu indah jika kita lebih menghargai dan mensyukurinya.
Mata
Aldo membulat. Ia lalu menatap kakaknya dengan curiga. "Jangan bilang..."
"Yoi. Kita
panjat pagarnya!" ujar Sandi dengan senyum manisnya yang seolah bercahaya.
Aldo
langsung panik. "Kak, kita nggak—"
Aldo
terperanjat saat Sandi menarik tangannya. "Kak, tunggu dulu—"
"Udaaah,
nggak apa-apa. Ayo," ajak Sandi dengan santai. Sandi tertawa kecil.
Sandi
pun mulai memanjat pagar itu. Beberapa tahun tinggal di Panti Asuhan Amara telah
sukses membuatnya menyatu dengan alam. Sandi menyukai keindahan alam.
Sandi
lalu melihat ke bawah; dia melihat Aldo yang tampak kesulitan saat memanjat
pagar. Ah, maklum, Aldo belum pernah melakukan hal seekstrem
itu. Aldo adalah anak pengusaha kaya yang selalu terkurung di dalam
rumah dan hanya melihat hal-hal mewah yang disediakan
untuknya.
Sandi
tertawa; ia pun lantas menolong Aldo. Untungnya, tidak ada penjaga di
sekeliling rumah. Mereka semua sedang ada pertemuan di dalam, pertemuan yang
tentunya dipimpin oleh Richard.
Sandi
sampai di depan pagar lebih dahulu. Dia pun berteriak, "Ayo, Aldo! Dikit
lagi! Ayo!"
Dahi
Aldo berkerut. Ia berusaha sekuat tenaga untuk memanjat pagar tinggi itu dan
mulai turun. Akhirnya, sedikit lagi ia sampai dan...hup! Ia
berhasil melompat dengan baik. Ia lalu dipeluk oleh Sandi.
Mereka
berhasil bermain di luar tanpa diikuti oleh siapa pun. Aldo menatap wajah Sandi
yang sedang berlari di sebelahnya; Sandi tengah menggandengnya sembari
tersenyum. Wajah Sandi…tampak bercahaya.
Kini,
Aldo tak merasa kesepian atau murung lagi. Dia menjadi lebih kuat sejak ada
Sandi.
Saat
mereka sedang bermain di taman dengan asyiknya, tiba-tiba Aldo melihat sesuatu.
Ada dua bayangan manusia bertubuh tinggi yang berdiri tepat di
sebelahnya. Saat Aldo menoleh ke samping, tubuh Aldo langsung mereka raih. Mereka
mengunci kedua tangan Aldo.
Tadinya,
memang tidak ada orang selain Aldo dan Sandi di taman itu. Lagi pula, baik Aldo
maupun Sandi, keduanya tak menyangka bahwa hal seperti ini akan
terjadi.
"KAK!!!!" teriak
Aldo pada Sandi yang matanya sudah membeliak. Sandi langsung mengejar Aldo; dia
berteriak karena merasa panik bukan main. Aldo tampak terus meronta-ronta
hendak melepaskan diri dari genggaman kedua orang dewasa itu.
"LET
GO OF MY BROTHER!!!!" teriak Sandi, dia mencoba untuk
terus menarik kaki Aldo dan menarik baju salah satu dari kedua pria dewasa itu.
Namun, tubuh Sandi tiba-tiba terempas ke tanah; Sandi didorong oleh salah satu
pria dewasa itu.
Mulut
Aldo ditutup secara paksa dan Sandi jadi tambah panik. Namun, saat Sandi menatap mata Aldo…
…ada
perasaan aneh yang datang begitu saja tanpa ia sadari.
Tanpa
aba-aba.
Perasaan
itu membuat jantungnya seakan berhenti berdegup sejenak dan
menciptakan rasa sakit yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Sandi melebarkan
matanya, merasa tak menyangka.
Itu
adalah...sebuah perasaan bahagia.
Perasaan
itu lewat begitu saja. Muncul dan memelesat bagaikan
kilat.
Begitu
Sandi memperhatikan Aldo dengan semakin jelas, ia pun yakin bahwa dirinya
memang tak tahu diri. Dirinya memang kakak yang terburuk. Soalnya, ia
tahu perasaan itu dengan jelas.
Satu
detik kemudian, Sandi menunduk karena kecewa dengan dirinya sendiri. Dia memejamkan
matanya karena merasa getir. Hatinya serasa diiris-iris. Saat Aldo memberontak
dan berusaha untuk meneriakkan namanya, lalu saat Aldo dibawa paksa oleh
kedua pria dewasa itu dan dimasukkan ke sebuah mobil...
…Ia
benar-benar telah kehilangan segalanya.
******
Aldo
hanya diam ketika kedua penculik itu mengikat tubuhnya di
dalam sebuah gudang. Tidak ada rona di wajahnya; darahnya seolah tidak mengalir
ke sana. Ekspresinya datar, tetapi entah mengapa terasa sangat dingin. Otot-otot
di wajahnya bagaikan berhenti berfungsi. Aldo kini laksana mayat hidup; dia tak
mau merespons sama sekali. Tubuhnya lemas bagai boneka.
Itu
bukan Sandi. Itu pasti bukan Sandi.
Demi
apa pun, Aldo tak peduli lagi dengan apa yang tengah dihadapinya saat ini.
Bahkan, ketika penculik itu menamparnya dengan keras (hingga mulutnya mengeluarkan
darah), ekspresinya tetap sama. Saat penculik itu
mencambuknya pun, ia masih layaknya boneka yang pasrah ketika disiksa.
"Hey,
kau sudah siap mati, ya?!" ujar salah satu dari penculik
itu. Penculik yang satu lagi kontan tertawa.
Aldo
hanya diam.
"Oi, kid! Kami
sedang bertanya padamu, sialan!!" hardik penculik itu sembari
mencambuk tubuh kecil Aldo. Ah, Aldo tak peduli lagi.
Semuanya bohong. Sandi yang dilihatnya itu juga mungkin hanya khayalan.
Pukulan
para penculik itu entah mengapa tak terasa sakit sama sekali. Tubuh Aldo
benar-benar seolah mati rasa.
"Dengar,
kau itu pantas mati! Dasar pembunuh!" teriak salah
satu penculik itu. "Ibumu mati saat melahirkanmu! Anak
sepertimu tiba-tiba menjadi ahli waris? Tuan Donovan pasti senang jika kami
membunuhmu!"
Aldo dengar itu.
Namun, kali ini Aldo tidak diam. Mendengar ibunya disebut, Aldo menatap
penculik itu dengan sinis. Penculik itu kontan naik darah dan menggeram.
"WHAT
THE FUCK? APA YANG KAU LIHAT, HAH?!! BOCAH
SIALAN!!" bentak penculik itu, lalu dia mencambuk Aldo berkali-kali. Tubuh
Aldo semakin banyak mengeluarkan darah, tetapi anehnya…rasa sakitnya tak seberapa
jika dibandingkan dengan rasa kecewa dan marahnya pada semua yang telah terjadi
hari ini.
Sepertinya,
Aldo mulai menjadi monster. Soalnya, tubuhnya tak merasa sakit
sama sekali. Seolah-olah ia dibius. Pikirannya kosong.
"Kau
itu," ujar salah satu penculik, berhenti berbicara tiap kali dia mencambuk
tubuh kecil Aldo. "memang seharusnya dilahirkan…” Cambuk lagi. "...untuk
dijadikan sandera semata! Supaya ayahmu mewariskan
perusahaannya..." Cambuk lagi. "...kepada keluargamu
yang sudah bekerja dengan ayahmu puluhan tahun!"
"Anak
kecil sepertimu tak pantas menjadi ahli waris! Your father must have
lost his mind!" teriak penculik itu, kemudian mereka berdua tertawa.
Setelah
itu, penculik yang lainnya menambahkan, "Mungkin itu jugalah sebabnya kakak
angkatmu itu tak mau menoleh padamu saat kami membawamu secara
paksa! HAHAHA!!"
Mata
Aldo langsung membulat sempurna.
Ada
sebuah petir yang seakan menyambar tepat ke jantungnya. Ada
gejolak amarah yang kontan berkumpul di dalam dirinya
dan membuat sebuah pusaran. Kepalanya mendadak terasa panas seolah ingin pecah.
Kedua tangannya yang terikat itu mulai terkepal. Ia mendadak tak dapat
mengendalikan reaksinya, bagai tak lagi memegang kendali tubuhnya. Dalam waktu setengah
detik, Aldo mengangkat wajahnya dengan sangat cepat. Aldo
langsung menatap kedua penculik itu dengan tatapan membunuh. "For
fuck’s sake, this kid!! Apa lagi?! Kau mau memarahi kami?! Memang
kenyataannya begitu, bodoh!!!" ujar salah satu penculik itu. Mereka
tertawa lagi.
"DIAM!!!!!!!" Aldo
tiba-tiba berteriak. Kedua penculik itu kontan membelalakkan mata mereka dan
mematung sesaat. Aldo lalu memberontak hebat. Kursi Aldo terjatuh dan Aldo
langsung mengesot mendekati kedua penculik itu dengan tubuh yang luka-luka. Semua
luka itu tampak mengerikan.
Kedua
penculik itu serta-merta mendekati Aldo dan mulai memarahi Aldo; mereka
menyiksa Aldo lagi. Namun, Aldo sempat menggigit lengan kanan salah satu
penculik saat penculik itu mendekatinya. Penculik itu jadi semakin marah dan dia
langsung mencambuk Aldo habis-habisan. Aldo menjerit dan memberontak hebat;
dia berusaha untuk melepaskan dirinya sendiri bagai seekor singa yang
mengamuk.
Tiba-tiba,
pintu gudang itu terbuka. Papa Aldo—Gerald—masuk ke sana dengan penuh air mata;
dia diikuti oleh seluruh pengawalnya beserta beberapa polisi. Kedua penculik
itu langsung ditangkap dan Aldo jatuh ke pelukan papanya begitu ikatannya
terbuka.
Aldo
menangis sejadi-jadinya.
Di
detik itu, dia mulai berjanji. Dia berjanji untuk hidup dengan
bahagia. Dia harus melakukan itu agar Sandi tahu...bahwa tanpa Sandi,
dia juga bisa bahagia dan tersenyum dengan tulus kepada semua orang. Ia tak mau
Sandi, orang yang telah mengkhianatinya dan membuatnya kecewa itu,
menganggap kalau ia akan terus murung jika Sandi tidak
ada. Papa, yang selalu bersamanya dan menjaganya, melakukan apa pun
untuknya, seharusnya dapat melihat kebahagiaannya. Orang yang mengasihinya
seharusnya tak perlu khawatir dengan kebahagiaannya. Aldo menyesal karena telah
menjadi anak yang kesepian dan murung. Nyatanya, ada orang yang benar-benar
menginginkan kebahagiaannya. Menginginkan senyum tulusnya.
Selain
kecewa dengan Sandi, ia pun merasa sangat kesal dengan dirinya
sendiri. Kesal...
...karena
biarpun
Sandi telah membuatnya kecewa, Sandi telah mengajarinya banyak hal.
Sandi mengajarinya cara untuk tersenyum dengan tulus, lalu mengajarinya cara
untuk menghargai kehidupan. Biarpun ia kecewa, ia tak ingin membuang atau
menertawakan ajaran Sandi. Ia malah ingin membuktikan bahwa ia bisa melakukan
semua itu lebih dari Sandi.
Perasaan
itu sukses membuatnya kesal bukan main.
Setelah
kejadian itu, tahun berikutnya ketika Sandi masuk SMP, Sandi langsung memilih
untuk tinggal sendiri. Gerald pun menyetujuinya. Gerald tetap mengurusinya dari
jauh karena bagaimanapun juga, Sandi adalah anaknya. Sandi pergi dengan alasan
ingin hidup mandiri serta ingin tempat tinggalnya dekat dengan sekolah barunya.
Luka
hati yang mereka alami jelas tidak semudah itu untuk disembuhkan. []
No comments:
Post a Comment