Friday, May 16, 2025

My Man (Bab 10)

 


******

Bab 10 :

 

KEDUA mata Talitha membeliak.

Lama ia memandang Deon seraya memasang ekspresi terkejut. Tatapan mata Deon seakan mampu menembus jiwanya.

'Bukan berarti aku nggak bisa.'

Ucapan Deon itu seakan-akan mengiang di telinga Talitha.

Talitha kontan menganga. "Deon—oi, kamu mau ngapain?! Oke, oke, ampun! Aku tadi cuma bercanda, oke? Sorry! Sip, deh, nggak bakal kuulangi lagi! Deon—astaga! Sesak, nih!!" Talitha memberontak, mencoba untuk mendorong dada bidang Deon yang mengimpitnya. Akan tetapi, Deon hanya diam tatkala memperhatikan reaksi Talitha; ternyata, pemuda itu tak bergerak untuk semakin mengimpit Talitha. Jadi, hal itu membuat Talitha kembali diam. Gadis itu mulai menatap mata Deon dan ia mematung.

Dari tatapan mata Deon, Deon tidak terlihat sedang ‘memaksanya’. Deon tidak menatapnya dengan tajam, melainkan menatapnya dengan…lembut. Hangat. Intens. Seolah-olah Deon tengah memenjarakannya hanya dengan tatapan mata.

Tak biasanya Deon menatapnya seperti itu.

Talitha diam seribu bahasa. Sebelah tangan Deon berada di samping kepalanya, bertumpu di pintu kulkas sedari tadi.

Namun, tiba-tiba Talitha kaget minta ampun. Soalnya, tangan Deon yang bebas itu mendadak mulai melingkari pinggang Talitha. Mendekap Talitha yang kini matanya melebar; napas Talitha seolah tersekat di tenggorokan. Tubuh Talitha dan Deon hanya terhalang oleh pakaian, tetapi degupan jantung mereka berdua seakan menghasilkan getaran yang menyebar ke seluruh tubuh Talitha. Tubuh Talitha jadi benar-benar menekan pintu kulkas karena Deon.

Memandang Deon dari jarak yang dekat sebenarnya sudah sering Talitha lakukan, baik itu karena ketidaksengajaan atau karena sikap Deon yang superaneh. Namun, Talitha tak pernah kepikiran kalau jantungnya akan berdegup sangat kencang—bagai habis maraton begini—hanya karena tatapan Deon. Sialnya, Talitha malah berpikir bahwa dia hanya sedang kelaparan, makanya jantungnya tak bisa diam. Logika orang jomblo dari lahir memang agak aneh.

Tangan Talitha tanpa sadar memegang sisi pintu kulkas untuk berpegangan saat wajah Deon mulai mendekati wajahnya. Mati. Jangan-jangan Deon mau menciumnya lagi? Deon ternyata maniak meraba-raba!

Eh. Apa meraba-raba sama dengan mencium? Kayaknya nggak, sih.

Waktu berjalan dengan lambat—bak siput—saat hidung Deon menyentuh hidung Talitha. Talitha sempat melihat mata Deon yang terpejam, membuatnya kontan meneguk ludahnya. Baru kali ini Deon ingin menciumnya tanpa main sosor. Biasanya, Deon selalu main sosor, tanpa aba-aba dan tanpa izin, sesuai dengan sifat pria itu yang pemaksa. Akan tetapi, tatkala bibir Deon nyaris menyentuh bibir Talitha, sesuatu terjadi. Menyelamatkan situasi di dapur yang mulai terasa sangat mendebarkan.

Bel apartemen Deon berbunyi.

Mendengar bunyi bel itu, Deon pun membuka matanya perlahan. Deon mengernyitkan dahi, lalu mulai menjauhkan wajahnya dari wajah Talitha. Pria itu lantas melihat ke belakang; kedua tangan pria itu masih berada di tempatnya semula, hanya kepalanya saja yang menoleh ke belakang.

Sungguh mengganggu.

Deon pun memicingkan mata. Dia menatap dengan fokus hingga tatapannya seolah mampu menembus lorong dapur sampai ke pintu depan.

Di sisi lain, Talitha langsung mengelus dadanya. Napasnya ia tarik dan embuskan berulang-ulang seolah baru saja keluar dari ruang hampa udara. Mulutnya sampai moncong ketika ia sedang mengembuskan napasnya.

Selamat dah hayati, pikirnya.

Menyadari bel apartemen itu masih saja berbunyi, Talitha pun langsung mengikuti arah pandang Deon. Mengapa Deon tak berniat untuk membukanya? Talitha mengernyitkan dahinya dan langsung melepaskan sebelah tangan Deon dari tubuhnya. Hal itu membuat Deon kembali menoleh kepadanya dan sebelah alis Deon kontan terangkat.

"Kenapa dilepasin? Aku mau cium kamu," ujar Deon dengan ekspresi tak setuju. Talitha hampir saja tersedak karena air liurnya sendiri.

"Weeh, Deon, sadar! Ada yang dateng, tuh! Nih anak apa banget dah, masa tamunya dibiarin gara-gara pengin nyium anak orang sembarangan? Aku aja, deh, yang buka pintunya!” ujar Talitha sembari berdecak. Talitha langsung ngacir ke pintu depan hingga dekapan Deon terlepas begitu saja.

Dengan cepat, Talitha membuka pintu itu. Deon menyusulnya dan berdiri tepat di sampingnya ketika pintu itu terbuka.

Di sana, terlihat seorang gadis yang sedang mengenakan topi dan masker. Gadis itu berdiri di sana, kini berhadapan dengan Deon dan Talitha. Tubuh gadis itu tampak sangat ramping walau saat itu ia hanya memakai kaus dan celana jeans.

Talitha langsung mengernyitkan dahinya, begitu juga gadis itu.

 

"Chintya?"

 

Talitha spontan menoleh kepada Deon. Dari cara Deon mengucapkan nama itu, agaknya Deon sedang…heran. Agak bingung.

Talitha lantas kembali menatap gadis itu.

Apakah itu...Chintya Valissisa yang sempat dibahas oleh para wartawan sewaktu di luar tadi? Mata Talitha melebar. Wah, sepertinya iya. Talitha memang kurang mengenal artis-artis Taiwan, kecuali Marco Deon. Itu pun…Talitha kenal dengan Deon karena Deon banyak main drama, apalagi Basuki juga merupakan fans berat Deon.

"Ayo masuk, Chintya," ujar Deon pelan. Chintya masih tergemap karena melihat keberadaan Talitha, bahkan agaknya mata Chintya tak berkedip sedari tadi.

Hal yang dari tadi berseliweran di pikiran Chintya adalah: 'Siapa gadis ini? Mengapa dia ada di apartemen Deon?'

Sial. Nanti dulu, deh, memikirkan itu. Bisa-bisa Chintya jadi mengamuk di depan pintu.

Chintya pun mulai mengangguk, mengiyakan Deon. Gadis itu masuk ke unit apartemen Deon, kemudian Talitha menutup pintu itu kembali. Talitha tak mengatakan apa pun. Dia cuek saja. Namun, ketika Talitha berbalik dan akhirnya menatap Chintya, ekspresi Chintya langsung serius.

"Boleh aku ngomong berdua aja dengan Deon?" ujar Chintya dengan penuh penekanan.

Kedua alis Talitha terangkat; kedua mata gadis itu membulat dengan bodohnya. Tidak seperti Chintya yang menganggap persoalan ini serius, Talitha justru terlihat biasa-biasa saja. Dia malah bingung mengapa Chintya terlihat seserius itu. Ngomong ya ngomong aja toh mbak.

"Ha? Oh...ya, boleh.” Talitha mengangguk. "Silakan."

 

******

 

Chintya duduk di sofa, berseberangan dengan Deon. Deon menyuruh Talitha untuk menunggu di kamar selama dia dan Chintya berbicara.

Chintya menatap Deon—yang sedang menuangkan minuman ke gelas itu—seraya menyatukan alis. Berbagai prasangka berkecamuk di dalam benak Chintya. Siapa gadis itu? Mengapa Deon berduaan saja dengan gadis itu di dalam apartemennya? Apa Deon kini hobby bermain perempuan dan membawa perempuan ke apartemennya untuk one night stand? Tak mungkin. Deon bukan orang yang seperti itu. Jadi, siapa gadis itu? Apa jangan-jangan...dia adalah gadis bernama ‘Talitha’ yang Deon telepon tadi pagi saat Deon menjemput Chintya?

Napas Chintya tertahan saat memikirkan kemungkinan itu. Namun, tiba-tiba ia melihat Deon yang mulai duduk tegap. Ekspresi wajah Deon terlihat tegas seperti biasa, tetapi kedua mata Deon tampak agak menyipit.

"Kamu baik-baik aja? Setauku, di luar banyak wartawan," ujar Deon.

Chintya mendengkus. "Aku pake masker sama topi. Mereka mungkin nggak sadar."

Deon pun mengangguk mengerti. Melihat Deon yang hanya meresponsnya seperti itu, Chintya jadi cemberut. Gadis itu meremas tangannya sendiri. Maksudnya, Deon beneran nggak mau jelasin, nih? Setelah kepergok berduaan dengan seorang gadis di apartemennya? Sial! Bukankah Deon seharusnya menjelaskan itu kepada Chintya? Chintya ini adalah sahabatnya, lho! Satu-satunya perempuan yang dekat dengannya!

Chintya lantas menatap Deon dengan tajam. Alisnya menyatu; dia terlihat kesal.

"Yang tadi itu siapa, Deon?" tanyanya.

Deon mengerutkan dahi. Pria itu diam sebentar, kemudian matanya menyipit tajam.

"Kenapa? Apa kamu lagi-lagi nggak percaya kalo aku peduli sama kamu?"

Chintya mendengkus. Wajahnya agak memerah karena memendam amarah. "Kasih tau aku siapa dia, Deon!!"

Tatapan mata Deon tampak begitu mengintimidasi. Namun, akhirnya Deon menghela napas.

"Tadi aku mau ngenalin dia ke kamu, tapi kamunya mau ngomong berdua aja," ujar Deon. "Namanya Talitha. She’s my girlfriend, Chintya."

Saat itu juga, Chintya merasa bagai tertimpa batu berton-ton. Jantungnya seolah berhenti berdetak; dadanya terasa begitu sesak. Ia sampai lupa bernapas untuk sejenak.

Jadi...Deon…punya kekasih? Baru sebentar saja mereka tak bertemu dan Deon...sudah memiliki kekasih? Gadis muda bernama Talitha tadi...adalah kekasihnya Deon?

Tanpa sadar air mata Chintya tumpah. Tangannya langsung mengepal.

Tidak boleh. Deon itu miliknya. Hanya miliknya! Deon pasti mencintainya juga; Deon hanya belum sadar. Mereka sudah bersama sejak kecil dan mereka saling menyayangi. Jujur saja, rasa sayangnya kepada Deon itu tak ada tandingannya. Maka dari itu, Deon harus bersamanya. Walaupun Deon dan gadis bernama Talitha itu tampak dekat, bisa jadi Deon hanya memainkan gadis muda itu. Deon mungkin sangat merindukan Chintya sampai-sampai dia melampiaskan kerinduan itu pada gadis lain.

Ya. Pasti seperti itu, ‘kan? Iya, 'kan?

 

******

 

Talitha berkeliling di kamar Deon. Kamar yang kemarin-kemarin pernah Talitha masuki sewaktu Talitha demam. Namun, waktu itu Talitha tak benar-benar memperhatikan kamar tersebut karena sedang sakit. Talitha baru sadar bahwa kamar Deon ternyata sangat rapi. Buku-buku disusun dengan sangat rapi di rak buku, posisinya sangat bagus dan teratur. Seprai milik Deon berwarna hitam dan bed cover-nya berwarna dark grey. Di bed cover itu terdapat corak seperti batik yang berwarna putih. Wow, aktor dari Taiwan ini suka batik Indonesia, ya? Talitha nyaris tertawa.

Semua benda yang ada di kamar itu tersusun rapi. Kamarnya terlihat sangat elegan, tertata, dan mewah. Membuat orang jadi segan untuk menyentuh barang-barang di sana. Wangi kamar itu…seperti wangi tubuh Deon.

"Buset dah, perfeksionis banget nih orang. Ckck..." Talitha berdecak sembari menggeleng; dia merasa kagum ketika memperhatikan kamar Deon dengan saksama. Talitha kemudian menoleh ke samping, lalu ia melihat ada beberapa foto yang dipajang di atas meja. Talitha pun mendekatinya.

Di sana…ada foto Deon dengan seorang gadis.

Eh...? Bukankah ini gadis yang bermasker tadi? Mata dan bentuk tubuhnya sama.

Ah, ya. Benar. Mungkin, ini adalah foto Deon dengan Chintya itu. Di foto itu, Chintya sedang memegang lengan Deon dan menatap ke kamera seraya tersenyum semringah. Sementara itu, Deon tampak tersenyum simpul. Deon juga menatap ke kamera.

Lha, dia bisa senyum kayak gitu juga ternyata. Talitha mengangguk—mulutnya terbuka, entah karena kagum atau…hanya bersikap macam orang bodoh—kemudian dia beralih ke foto lainnya. Kali ini, Talitha melihat foto papa Deon. Gadis itu pun tersenyum.

Foto berikutnya adalah foto Deon bersama papanya. Deon terlihat sedang memegang sebuah medali emas; Deon dirangkul oleh papanya. Sebelah tangan Deon tengah memegang medali itu, sementara sebelah tangannya lagi terlihat sedang memegang sebuah raket.

"Widiih...dia pernah juara badminton cuy," ujar Talitha. Dia menggeleng-geleng karena kagum. Gila. Kalau seandainya Deon tak sekejam iblis…maka Deon akan menjadi orang yang sempurna. Soalnya, pria itu memiliki segala kelebihan yang diimpikan oleh semua pria.

Setelah melihat tiga foto itu, Talitha pun berencana untuk berbalik dan berkeliling lagi.

Baru saja ia ingin berbalik, ia nyaris terjungkal ke belakang karena mendengar suara pintu kamar Deon terbuka.

"Ee copot! Ooooi, kaget gue buset... Sumpah, ampuni gue yang banyak dosa ini—"

"Kamu banyak dosa?" Deon berdiri di dekat pintu; dia baru saja menutup pintu kamar itu. Ia menatap Talitha seraya mengernyitkan dahinya

Talitha mengelus dada. Gadis itu berdecak dan menggeleng berkali-kali seraya menatap Deon yang mulai berjalan mendekatinya.

"Kusangka ada maling," ujar Talitha seenaknya. Ia lalu kembali berdiri tegak dan memasang wajah yang super-duper-ngeselin.

Deon menaikkan sebelah alisnya. "Jangan main-main, Talitha. Nggak mungkin aku ngebiarin maling masuk ke kamarku, sementara dari tadi aku ada di rumah."

"Ngahahahaha! Aku barusan ngebayangin kamu mukul malingnya pake sapu masa," ujar Talitha, kepalanya tertolak ke belakang saking kuatnya dia tertawa.

"Kamu emang selalu ngehayal yang bukan-bukan, Talitha. Makanya, otak kamu selalu error," ujar Deon, mata Deon menyipit dengan sadis tatkala menatap Talitha. Sementara itu, Talitha tak punya niat untuk berhenti ngakak.

"Hadeeeh…” Talitha memegangi perutnya, berusaha untuk berhenti tertawa. “Deon...Deon. Biarin, deh. Aku emang kurang normal, kata Mamaku, dan aku udah pasrah. Eh, tapi emang mantep banget, ya, kalo ngebayangin kamu ngelakuin hal konyol! Lawak banget, sumpah!"

Setelah puas mengejek Deon, tiba-tiba Talitha teringat sesuatu.

"Eh? Itu tadi—Chintya tadi udah pulang toh?" tanya Talitha dengan mata membulat ingin tahu.

Deon mengembuskan napasnya dan mengangguk.

"Iya. Dia baru pulang."

"Ooo..." Talitha ber'oh' ria dan mulutnya kelihatan moncong. "Kamu nggak nganterin dia?"

Deon tiba-tiba mendekati Talitha, lalu memegang dagu Talitha dengan kencang. Jal itu membuat Talitha terkejut setengah mati.

"Aku nggak bakal ninggalin kamu sendirian di sini," jawab Deon tajam. "Aku harus nganterin kamu pulang, jadi aku nggak bisa nganter Chintya. Jangan macam-macam."

Alis Talitha jadi terangkat. "Ha?! Buat apa juga aku macam-macam?!"

Deon menatap Talitha dengan penuh intimidasi. "Karena mungkin aja kamu bakal minta jemput sama laki-laki lain. Aku nggak suka."

Talitha berdecak. Gadis itu memutar bola matanya. "Etdah. Kamu ini mikir dikit bisa nggak? Aku ini bukan cewek cantik ataupun playgirl sejati. Jadi, kamu nggak perlu jagain aku kayak orang gila gitu. Ntar kamu—"

"Diam. Jangan ngebantah. Aku nggak bakal ngebiarin milikku diusik siapa pun. Aku bakal ngelakuin apa pun, asalkan kamu tetap jadi milikku," ujar Deon dengan penuh penekanan. Kata-katanya setajam tatapan matanya.

Talitha hanya menggeleng. Gadis itu menghela napas; dia sudah sering sekali mendengar penuturan Deon mengenai hak milik ini. Dia tak tahu harus merespons Deon bagaimana lagi.

Talitha lantas melepaskan tangan Deon dari dagunya, lalu berdecak.

"Udah, ah! Males aku ngeladenin kamu. Ayo pulang dan bawa apelnya ke Mama," ujar Talitha sembari keluar dari kamar Deon.

 

******

 

Gavin baru saja sampai di depan pintu rumahnya. Di belakangnya, Revan menyusul dengan santai. Revan lalu menyikut lengan Gavin dan tertawa jail.

"Ciee, yang dapet surat cinta. Hahay! Traktir, dong, Mas?" ujar Revan, kemudian pria itu tertawa terbahak-bahak. Melihat muka Gavin yang jadi memerah seperti kepiting rebus, ia pun semakin heboh.

"Diem lo, Nyet. Kamvret, jangan ngomongin itu di depan rumah gue! Sialan lo," umpat Gavin. Namun, Revan masih saja tertawa kencang, padahal menurut Gavin tawa Revan adalah tawa yang paling sumbang sedunia.

Revan menepuk-nepuk pundak Gavin, "Sabar, Bro, masa ditembak cewek malah kesel? Kasihan si Kanya, tuh, dia udah capek-capek bikin surat cinta buat lo! Elo nih nggak berubah-berubah, yak. Kalo udah masalah cinta, pasti langsung kebingungan!" komentar Revan. Pria itu kembali tergelak habis-habisan.

Gavin menggeram, ia langsung menjitak kepala Revan dengan kencang. "Woy! Kan gue nggak tau kalo surat yang Kanya kasih itu ternyata surat begituan. Mana ngerti gue. Enak banget lo ngatain gue kayak gitu, hah?! Dasar playboy sialan..." ujar Gavin kesal.

Revan hanya tertawa.

"Tapi itu anak magang ternyata berani juga, ya. Salut gue," ujar Revan seraya menggeleng. "Gue kasih nilai seratus, deh, hahaha!"

"Lo kira dia lagi ujian?!" ujar Gavin jengkel. Pria itu menggeleng, lalu mengetuk pintu rumahnya. Hari ini, sialnya, Revan mampir ke rumahnya lagi. Mau menginap seperti biasa. Mengapa anak itu tak sekalian saja membawa seluruh barang yang ada di kost-nya dan tinggal di rumah Gavin? Kerjaannya ngineeeep terus, seperti sudah rumah sendiri saja.

Pintu rumah pun terbuka. Talitha membukakan pintu itu sambil makan sebongkah apel besar. Talitha menatap kedua abangnya itu seraya memasang ekspresi polos. Polos-polos ngeselin, maksudnya.

"Bang, minta duit boleh?" ujar Talitha sambil nyengir.

Gavin menganga.

Sementara itu, Revan tertawa keras.

"Ha? Buat apa, sih, Dek? Abangnya baru pulang kerja kok langsung ditodong!" ujar Gavin sembari menggeleng. "Memang stress nih anak."

Talitha tertawa terbahak-bahak.

Revan kemudian menambahkan, "Ita mah nggak pernah normal."

Setelah mengucapkan itu, Revan kembali tertawa. Pria itu lalu masuk ke rumah Gavin setelah menepuk kepala Talitha pelan. Manusia yang berdiri di depan Talitha kini hanyalah Gavin.

Talitha mulai tersenyum geli. "Bercanda, Bang. Bercanda. Abang nih emang nggak bisa diajak bercanda. Pantes Abang jomblo terus, wahahahahahaha!" Talitha langsung ngacir, masuk ke rumah sembari menertawai Gavin.

"Hoi, Dek! Sini lo!! Macem lo nggak jomblo aja!" teriak Gavin kesal.

Gavin memijit keningnya—merasa pusing tujuh keliling—lalu menggeleng. "Apes banget gue hari ini."

Sementara itu, dari dalam rumah, mamanya berteriak.

"Gavin! Revan! Kalo laper makan sana! Ada apel juga, tuh, di kulkas!"

 

******

 

Sepanjang sore itu, Talitha memakan apel bersama mamanya di ruang tengah sambil menonton TV. Gavin dan Revan juga ada di sana, sementara papa Talitha agaknya belum pulang dari kantor.

Tiba-tiba Talitha memegang perutnya. Perutnya terasa melilit dan ia pun mengaduh, "Waduh, mules pula ahelah..."

Gavin, Revan, dan Mama Talitha kontan tertawa. Talitha berdiri seraya memegang bokongnya sendiri. Mama Talitha lantas memukul pinggang Talitha dengan kencang. "Hiis! Jorok banget, sih, Ta! Makanya, kalo makan tuh inget-inget! Kayak nggak pernah dikasih makan aja nih anak!"

Talitha spontan ngakak. Gadis itu mengibrit ke kamar mandi. Gavin tertawa kencang.

"Maju terus, Dek! Keluarin semuanya sampe tuntas!" teriak Revan dengan heboh sampai Gavin menempelengnya. Well, padahal Gavin sendiri juga tertawa kencang.

Masalahnya, Talitha itu kalau sudah buang air besar atau boker, suaranya selalu terdengar sampai ke luar kamar mandi. Suara bokernya persis macam orang diare, padahal bukan karena salah makan, melainkan karena terlalu banyak makan. Ditambah lagi, sekarang Talitha memang bolak-balik ke kamar mandi. Balik menonton TV, mulas lagi. Menonton TV lagi, lalu mulas lagi. Hal itu membuat Gavin dan Revan semakin tertawa, sementara mamanya langsung pergi ke dapur dan mencarikan obat diare untuk Talitha sambil marah-marah. Mamanya mulai mengomelinya karena terlalu banyak makan. Di sisi lain, Talitha? Seperti biasa, dia hanya nyengir tanpa dosa. Setelah minum obat, Talitha pun masuk ke kamarnya sembari mengelus perutnya.

Ia memejamkan mata dan mengeluarkan napasnya lewat mulut dengan lega ketika ia membanting tubuhnya ke kasur. Namun, ia tersentak ketika mendengar ponselnya tiba-tiba berbunyi; ponsel itu ia taruh di dekat bantal. Talitha langsung membuka matanya dan mengernyitkan dahi tatkala mengambil ponselnya.

Ternyata, itu adalah panggilan telepon dari Alfa.

Talitha mengerjapkan matanya dua kali. Kalau diangkat, Deon marah atau tidak, ya? Ini bakal berisiko; Talitha harus menghapus riwayat panggilan teleponnya. Sebetulnya, tak enak juga kalau tidak mengangkat telepon orang lain hanya karena sifat posesif Deon, apalagi...bagaimana kalau orang itu mau membicarakan sesuatu yang penting? Kan tidak lucu.

Talitha pun akhirnya mengangkat telepon itu dengan ekspresi datarnya. "Halo."

Terdengarlah suara lembut Alfa di seberang sana. "Iya, halo. Lagi ngapain, Ta?"

Mulut Talitha membentuk ‘O’, lalu ia terdiam karena kagum. Ini bukan pertama kalinya ia ditelepon oleh Alfa, tetapi ia tetap saja kagum tiap kali mendengar suara Alfa. Suara beratnya itu terdengar sangat lembut. Jenis suara yang bisa membuat gadis mana pun meleleh. Well, suara Alfa memang begitu, baik di telepon maupun suara aslinya. Alfa waktu itu pernah bernyanyi ketika ada event di kampus dan suaranya berhasil memukau semua orang. Dia menyanyikan lagu milik Ungu yang berjudul “Tercipta Untukku” sembari bermain gitarSuaranya merdu, lembut, dan terdengar sangat tulus. Wajah Alfa pun dari lahir memang sudah memadai, jadi dia begitu memukau di atas panggung waktu itu. Jiah, walau Alfa orangnya kalem gitu, yang nge-fans sama Alfa tuh banyak banget. Udahlah ganteng, suaranya bagus pula. Kabarnya dia mau jadi pilot juga, tuh.

"Nggak ada, Kak," jawab Talitha. "Abis boker aja."

Terdengarlah suara tawa Alfa di seberang sana. Suara tawa yang khas dan indah, tetapi Talitha bukannya terpana, gadis itu malah ikut tertawa.

"Ya ampun, Ita...Ita. Udah empat kali, lho, kakak nelepon kamu dan kamunya abis boker." Alfa tertawa lagi. Pemuda itu memang selalu bersikap apa adanya, tetapi dia jadi lebih ‘berekspresi’ kalau sudah berinteraksi dengan Talitha.

"Aduhai—" ujar Talitha sembari berusaha untuk menghentikan tawanya. Ia mengatur napasnya dan kembali berbicara, "Kak Alfa nelepon ada apa?"

Alfa tertawa geli, "Harusnya bales nanya, dong. ‘Kakak lagi ngapain?’ gitu. Kok malah nanya ada apa nelepon, duh.”

Talitha kembali tertawa. Untung, tidak masuk lalat ke dalam mulutnya.

"Hahaha—iya, deh, Kak. Kak Alfa lagi ngapain, tuh?" tanya Talitha.

"Nggak ada. Kakak baru pulang, tadi diajakin Nathan sama rombongan makan bakso. Ita udah makan?" tanya Alfa lembut.

Talitha mengelus perutnya lagi.

"Ahelah Kak...Kak. Ya udah, dong, bokernya aja udah," jawabnya sembari tertawa keras.

Alfa tertawa lagi. Rasa kenyang akibat makan bakso traktiran Nathaniel mendadak tak mengganggunya untuk tertawa.

"Lauknya apa?" tanya Alfa lagi dengan penuh perhatian. Talitha menggaruk keningnya, tampang berpikirnya malah seperti tampang serius Mr. Bean. "Tadi…Mama masak udang, Kak. Disambel."

Setelah mengatakan itu, Talitha mendadak mendengar ada bunyi 'tuut' dari teleponnya. Ia mengernyitkan dahi dan melihat ke layar ponselnya; matanya langsung membulat tatkala mengetahui bahwa ada panggilan telepon yang menunggu.

Sayang calling...

Alamak, mampus!

Deon menelepon!

Sebelum Talitha sempat bereaksi, terdengarlah suara Alfa di seberang sana. "Ita?"

Talitha mendadak menggaruk lehernya. Ia nyengir meski tahu Alfa kalau takkan bisa melihatnya. "Ah—haha, umm…ada yang nelepon Ita, Kak."

Aduh, bro, Talitha merasa macam buronan!

Beberapa detik kemudian, panggilan telepon dari Deon itu dimatikan; Deon mematikannya. Talitha mengembuskan napasnya lega. Mendengarkan Deon marah-marah adalah hal yang paling tidak ia sukai.

Namun, ternyata ia salah. Tatkala Alfa baru saja ingin berbicara lagi, panggilan telepon dari Deon pun kembali muncul. Saat Talitha tak mengangkatnya, panggilan telepon itu lantas datang lagi dan terlihat semakin menuntut. Talitha mulai menggaruk kepalanya. Meski merasa tak enak dengan Alfa, dia pun akhirnya mulai berbicara.

"Kak, udah dulu ya? Kayaknya orang yang nelepon Ita ini punya urusan penting," ujar Talitha meski ia sendiri pun tak yakin. Ia harap Alfa tak tersinggung dengan dirinya yang menutup telepon seperti ini.

Alfa hanya menghela napas.

"Ya udah, nggak apa-apa kok. Angkat aja dulu teleponnya. Oh, ya, sebelum ditutup, ada yang mau kakak omongin. Ita mau nggak ntar malem pergi ke bioskop sama Kakak?"

Mata Talitha kontan membeliak. Bukan, ini bukan yang pertama kalinya; Talitha sudah sering jalan berdua sama Alfa. Selama ini, Talitha menganggap hal itu seperti ‘jalan sama teman’ saja, seperti jalan sama Basuki. Namun, kali ini...

Kali ini, ada si Deon Sableng! Bagaimana...

"Ah—" Talitha menggaruk kepalanya. "Kak, Ita..."

"Hm?" deham Alfa.

Akhirnya, Talitha menyerah. Ia tak punya pilihan lain. Mungkin, nanti ia akan berkonsultasi dengan Gavin atau Revan soal bagaimana cara mengatasinya. Talitha benar-benar pusing; dia tak pernah menghadapi hal yang rumit seperti ini! Selama ini, hidupnya ia jalani seperti bocah gendeng yang lasaknya kayak monyet, tetapi tiba-tiba ia harus berurusan dengan Deon dan segala kerumitan pria itu! Dia sudah terperangkap di jaring yang dipasang oleh Deon. Dia yang biasanya suka mengagumi senior ganteng di UI—garis bawahi: Kak Alfa—kini sudah tak sebebas itu lagi.

Penjara tak kasat mata yang dibangun oleh Deon itu sangatlah kukuh.

Talitha tak tahu bagaimana harus berucap sehingga dia hanya berkata, "Iya, deh, Kak."

Embusan napas Alfa saat pemuda itu tersenyum pun terdengar.

"Oke. Ntar malem Kakak jemput, ya."

"Iya," ujar Talitha. Setelah itu, Talitha pun minta izin untuk mematikan panggilan telepon itu.

Satu detik setelahnya, panggilan telepon dari Deon yang sedari tadi terus menuntut pun akhirnya Talitha angkat.

"Halo—"

"Kamu nelepon siapa?!! Seberapa penting obrolan itu sampe kamu nggak ngangkat telepon aku?!"

Talitha menganga, ia langsung bangkit—berdiri—dan turun dari kasurnya."Oi, Deon, sabar dulu—"

"Oh... Itu telepon dari cowok, ya?" tanya Deon dengan sarkastis. "Jawab aku, Talitha!!!"

Talitha kontan mengepalkan tangannya, lalu berteriak, "Kamu nih sabar dulu ngapa, sih?!! Aku emang teleponan sama laki-laki yang bukan keluargaku, tapi—"

"Aku harus apain kamu supaya kamu mau nurut, hah?!! KAMU ITU MILIKKU!! Siapa yang ngizinin kamu ngobrol sama laki-laki lain selain aku?!! Kamu tau aku, Talitha, aku bukan orang yang bisa mengampuni kesalahan untuk yang kedua kalinya. Kamu—kamu bener-bener sialan, Talitha. Kamu denger ini; kamu ternyata sama aja dengan Mamaku."

Talitha menganga.

Darah Talitha serasa mendidih. Emosinya mendadak membubung tinggi sampai ke ubun-ubun. Dia menggertakkan giginya.

"DEON!!! JANGAN ASAL NGOMONG KAMU!! DASAR GILA!! MAKSUD KAMU APA, HAH? Lagian, jangan hina ibu kamu! Ibu kamu emang salah, tapi kamu nggak boleh ngomong gitu! Oke, aku emang nggak berhak untuk nasihatin kamu seolah aku tau semuanya, tapi asal kamu tau, ya, yang sialan itu kamu!! Yang tiba-tiba datang ke hidup aku, terus bikin jengkel setengah mati tuh kamu! KAMU, DEON!!!"

"Kamu udah berani ngebentak aku?! Ini yang aku nggak suka kalo ada yang ngusik milikku. Siapa itu? Si Alfa sialan itu lagi, ya?! Aku ke sana sekarang. Jangan kabur kamu," ujar Deon dengan kejam, kemudian panggilan telepon itu dimatikan oleh pria itu.

Talitha menganga.

 

******

 

Talitha benar-benar tak tahu harus berbicara apa kepada orangtuanya saat Deon tiba-tiba datang ke rumahnya senja itu. Deon hanya berkata bahwa pria itu ingin membawa Talitha dan tangan Deon menggenggam—bukan, mencengkeram—tangan Talitha dengan tak berbelas kasih. Pria itu membawa Talitha melewati teras rumah dan langsung mengempaskan tubuh Talitha ke dalam mobil hingga membuat Talitha mengamuk padanya.

Namun, percuma saja. Deon hanya menutup pintu mobil yang ada di sisi Talitha dengan kencang, lalu memutari mobilnya dari depan. Saat pria itu masuk ke mobil, ekspresi wajahnya tetap sama. Mata pria itu seakan menggelap karena sedang marah. Dada bidangnya tampak sedang menahan sesuatu yang meluap dari dalam dirinya. Saat itu, Deon seolah tak ingat apa pun lagi; dia tak memikirkan apa pun selain kemarahannya pada Talitha.

Deon mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Tangan pria itu mencengkeram roda kemudi hingga urat-urat dan otot di tangannya tercetak jelas. Buku jarinya memutih. Tak sekali pun dia memandang Talitha yang ada di sampingnya.

"Deon! Pelan-pelan, hoi! Kamu bisa nabrak orang—"

"DIAM KAMU!!!!!" teriak Deon kencang. Kepala Talitha tertolak ke belakang karena terkesiap. Degupan jantung Talitha menggila karena ia tahu sosok Deon yang ini. Ia pernah melihat sosok Deon yang sedang marah ini di rumah papanya Deon waktu itu. Talitha meneguk ludahnya.

Talitha hanya bisa diam; ia pun menoleh ke jendela yang ada di sisinya. Ia terus mengepalkan tangannya dan sesekali ia menatap Deon. Ekspresi Deon masih sama, tak ada belas kasih lagi di sana. Hanya ada kekejian dan amarah.

Deon membawa Talitha ke apartemennya. Talitha menganga; gadis itu terus memberontak ketika Deon menarik tubuhnya dengan kencang. Deon bagai sedang menyeret seorang budak yang minta dikasihani. Talitha merasa benar-benar kesal dengan Deon sekarang. Dia terus mencoba untuk mengempaskan tangan Deon, di lobi, di lift…hingga di lantai tempat unit apartemen Deon berada. Saat pintu unit apartemen Deon terbuka, Deon pun langsung menarik Talitha untuk masuk ke sana dengan kencang, lalu menutup pintunya kembali.

Deon menuju ke kamarnya dengan cepat dan mengempaskan tubuh Talitha ke dinding kamarnya.

Talitha mengaduh kesakitan. Gadis itu langsung berteriak, "DEON!! Woi, yang bener aja kamu nih!!! Kan udah kubilang kalo aku—"

"AKU NGGAK BUTUH PENJELASAN KAMU!" teriak Deon kasar. Mata Talitha memelotot.

"NGGAK! KAMU HARUS DENGER!!!" balas Talitha. Dia tak ingin Deon memotong kata-katanya lagi.

Deon pun mendekati Talitha perlahan. Setelah itu, dengan seringai kejamnya, Deon mulai mencengkeram dagu Talitha. "Emangnya kamu bisa jelasin apa? Mau ngejelasin kalo kamu udah punya hubungan dengan si Alfa itu?"

Talitha berdecak. Gadis itu langsung menggeram. "Gila kamu! Aku nggak ada hubungan apa-apa sama Kak Alfa!! Emangnya salah kalau aku temenan sama dia?!!! Kamu—"

"Salah, Talitha!!! Kamu nggak perlu punya temen lain! Setauku, kamu udah punya temen yang namanya Basuki itu, ‘kan? Kamu nggak perlu punya temen cowok lain, apalagi Alfa sialan itu!!!!!"

"Emangnya kenapa, sih?!! Oi, Deon, aku ini masih muda!! Wajar kalo aku punya temen! Kamu pun gitu, ‘kan?! Aku aja nggak pernah ngomong apa-apa soal pertemanan kamu sama Chintya, ‘kan?!! Kamu nih ternyata harus diruqyah—"

"Kenapa? Kamu masih tanya kenapa?!" teriak Deon.

Talitha mengernyitkan dahinya.

Saat menatap kedua mata Talitha, sorot mata Deon tampak sangat tajam. Akan tetapi, tiba-tiba Deon meraih leher Talitha—membuat wajah mereka jadi sangat berdekatan—lalu berbicara dengan penuh penekanan kepada Talitha.

"Karena ini," ujar Deon, kemudian pria itu mencium bibir Talitha dengan paksa.

Mata Talitha membulat. Tubuh gadis itu kontan menegang.

Ciuman Deon terasa begitu menuntut. Tidak pelan sama sekali. Talitha jadi panik; tangannya sibuk mencari kemeja Deon, di bagian tangan, dada, atau apa pun yang bisa ia raih. Ia ingin mendorong Deon. Namun, tangannya itu langsung digenggam oleh Deon.

Deon mencengkeram tangan Talitha, lalu menempelkan kedua tangan gadis itu ke dinding. Cengkeraman Deon telah sukses mengunci pergelangan tangan Talitha. Deon melakukannya dengan kuat hingga tangan Talitha terasa sakit. Gadis itu tak pernah mengalami hal seperti ini!

Sayangnya, Talitha bukanlah seorang pengecut. Jadi, gadis itu tidak menangis. Talitha malah terus berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman Deon.

Deon menggigit bibir Talitha dan spontan kepala Talitha terdorong ke belakang—sampai terantuk dinding!—karena kaget. Talitha mulai berbicara seraya terengah-engah, "Deon—"

Namun, ucapannya langsung dipotong oleh Deon dengan ciuman yang lebih keras.

Lidah pria itu langsung masuk ketika Talitha membuka mulutnya untuk berbicara. Talitha butuh oksigen. Ia memukul-mukul dada bidang Deon, tetapi agaknya pukulan itu tak berefek pada tubuh Deon yang besar. Ia serasa tercekik; bibirnya juga terus digigit oleh Deon hingga bengkak. Agaknya, bibirnya mulai lecet sana-sini. Soalnya, setiap Deon menciumnya dengan paksa, bibirnya terasa perih.

Talitha tak berhasil mendorong tubuh Deon. Namun, sebelum ia menyerah, Deon ternyata telah lebih dahulu melepaskan ciuman kasar itu.

Talitha menatap Deon dengan mata nyalang; Deon juga menatap Talitha dengan tajam.

Talitha menggertakkan giginya. Dia marah sekali. "KAPAN, SIH, KAMU BISA SEMBUH DARI PENYAKIT GILA KAMU INI?!!"

Deon hanya diam.

"KAMU TUH MESTI MASUK RUMAH SAKIT JIWA TAU NGGAK?!! Oi, Deon, sebelum bertindak itu coba pikirin orang lain!! AKU BISA JELASIN SEMUANYA, SEMUA KEBENARANNYA! KAMU NGGAK PERLU BERTINDAK GILA KAYAK GINI!! KOK ADA, SIH, MANUSIA KAYAK KAMU INI? SADAR, WOI!! AKU INI—"

Tiba-tiba teriakan Talitha terhenti.

Gadis itu terperanjat; matanya membulat. Ia betul-betul mematung saking terkejutnya.

Soalnya, tiba-tiba…

…Deon memeluknya dengan lembut.

Talitha sampai lupa bernapas. Ia sungguh tak menyangka kalau hal itu akan terjadi. Deon memeluknya dengan sangat lembut dan pelukan itu terasa semakin erat. Kedua tangan Deon melingkar di pinggang Talitha; dia memeluk Talitha dengan posesif. Dia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Talitha dan bernapas samar di sana.

Talitha masih belum berkedip.

Apa lagi ini? Tadi, hanya dalam satu detik, Deon berubah menjadi iblis. Namun, detik berikutnya…dia malah jadi seperti ini. Entah apa yang sedang Deon lakukan sekarang.

"O—Oi, kamu ngapain?" tanya Talitha, gadis itu mendadak jadi gagap. Deon hanya terus diam.

Sebenarnya, saat ini…kamar Deon tampak gelap. Lampunya mati dan suasananya sangat sunyi. Maka dari itu, embusan napas mereka yang bergantian itu terdengar dengan jelas di telinga Talitha. Bersusulan dan sama-sama terengah-engah akibat ciuman barusan.

Dalam beberapa detik lamanya, Deon tak menjawab apa pun. Talitha juga diam, tetapi dia tidak mencoba untuk melepaskan pelukan Deon. Dia tahu kalau Deon mungkin ingin menyampaikan…atau melakukan sesuatu.

Namun, sampai di detik ke sepuluh, Talitha pun mulai bingung. "Deon—"

"Diam, Talitha," potong Deon, yang membuat Talitha kontan tersentak.

"Tapi—"

"Sebentar saja di posisi ini."

Talitha pun terdiam.

 

Satu menit.

Dua menit…

 

Mereka masih berada dalam posisi yang sama. Deon justru semakin mengeratkan pelukannya dan mencoba untuk mencari kenyamanan di tubuh Talitha. Lama kelamaan, Talitha jadi merasa geli karena hidung mancung Deon sejak tadi menyentuh kulit lehernya.

Deon mengendus leher Talitha. Talitha langsung bergidik. Dalam hati, ia ingin beranggapan kalau ia beruntung karena sudah dipeluk oleh pria tampan, tetapi saat ini ia benar-benar tak bisa beranggapan seperti itu. Kasusnya berbeda.

Lima detik kemudian, Deon pun perlahan menjauhkan kepalanya. Bola mata berwarna coklat gelapnya mulai menatap wajah Talitha dengan intens seolah ingin menemukan sesuatu di wajah Talitha. Napas Deon terdengar teratur; napasnya berembus dengan pelan di depan wajah Talitha.

Seumur hidupnya, Deon tak pernah terpikir untuk mengatakan ini. Namun, sekarang dia ingin mengatakannya kepada Talitha.

 

“Maafin aku.”

 

Mata Talitha kontan membulat. Apa ini benar-benar Deon yang dia kenal? Deon...meminta maaf? Bohong. Ini pasti bukan Deon.

"Kamu kok jadi aneh, hah? Sifat kamu ganti lagi, ya?" ujar Talitha dengan bodohnya. Namun, Deon sama sekali tidak tersenyum akibat ucapan ngawur Talitha. Deon tetap menatap Talitha dengan intens.

"I don't want you to be with anyone else. No one but me. Just me. Kamu akan jadi milikku selamanya. Nggak ada yang boleh milikin kamu selain aku. Sejak pertama kali, saat aku pertama kali milih kamu, kamu udah jadi milik aku," ujar Deon dengan suara rendahnya. Tidak ada kemarahan yang tersirat di nada bicaranya. Hanya ada…kecemburuan.

Talitha ingin marah, tetapi entah mengapa kemarahannya tidak keluar. Ia justru membiarkan Deon terus berbicara.

"Talitha," panggil Deon pelan.

Talitha mengedipkan matanya dua kali. "H—a? Apa?"

Deon bernapas samar.

"Sepasang kekasih itu biasanya ciuman. Tapi jomblo dari lahir kayak kamu ternyata emang nggak bisa ciuman," komentar Deon dengan alis menyatu. Meskipun gelap, Talitha bisa melihat itu semua. Talitha spontan menganga.

Gendengnya, Talitha malah tertawa terbahak-bahak. Dia sampai mendongak; tawanya terlihat puas sekali.

"Nggak ada yang lucu," ujar Deon.

Talitha ngakak lagi. Namun, sesaat kemudian, Talitha berdecak. "Macem kamu nggak jomblo dari lahir aja!! Kurasa kamu pun belajar ciumannya pas akting di drama, ‘kan? WHAHAHA!!!"

Alis Deon bertaut. "Kayaknya, kamu seneng banget ngeliat aku terpojok.”

Talitha tertawa lagi. "Habisnya muka kamu itu lucu!! Muka bingung kamu tuh mantep abis dah!!" Talitha mengacungkan kedua jempolnya pada Deon.

Deon hanya mendengkus. Akan tetapi, tatapan matanya masih terlihat…dalam.

"Aku mau cium kamu," ujar Deon tiba-tiba dengan suara lirih.

Talitha mematung.

Apa?! Deon mau menciumnya?! Bukankah tadi Deon sudah menciumnya?

"Talitha, jawab aku," ujar Deon dengan mata menyipit.

Sebetulnya, tubuh mereka hanya dipisahkan oleh pakaian yang mereka kenakan. Talitha dapat mencium wangi parfum Deon yang sangat maskulin.

Sebelum Talitha sempat merespons apa pun, Deon tiba-tiba kembali bersuara, "Sebenernya, aku nggak suka ditolak."

Mulut Talitha terbuka lebar. Namun, Talitha mendadak memutar bola matanya. "Sama aja maksa itu mah."

Deon hanya diam.

"Kayaknya otak kamu udah kecuci sama monyet edan kayak aku, ya? Kamu jadi mesum gini," ujar Talitha, lalu dia tertawa kencang.

Deon hanya mendekatkan wajah mereka kembali. Deon pun berbicara di depan bibir Talitha, "Kamu harus jawab iya. Berhenti jadi gila, Talitha."

Entah mengapa, ucapan itu malah membuat Talitha semakin tertawa. Akan tetapi, beberapa detik setelah itu, Talitha mendadak diam. Gadis itu sadar bahwa mungkin Deon akan bertanduk lagi jika dia terus menertawai Deon.

Gadis itu memperhatikan Deon yang tak sekali pun berhenti menatapnya. Ia tahu kalau ia tak bisa membantah.

Jadi, saat ini, yang bisa ia lakukan hanya satu.

"Ya udah," jawabnya pada akhirnya.

Tak sampai satu detik setelah itu, dia bisa merasakan bibir Deon yang menyentuh bibirnya dengan lembut. Tak ada paksaan sama sekali pada ciuman itu.

Deon kembali meraih leher Talitha, lalu memeluk Talitha dengan sangat erat. Membuat Talitha benar-benar ada di dalam kuasanya.

Bibir Deon melumat bibir Talitha, tetapi Talitha sama sekali tak membalas ciuman itu. Talitha tak tahu bagaimana cara untuk membalasnya! Talitha juga tidak membuka mulutnya sama sekali, tetapi hal itu tak bertahan lama karena tiba-tiba Deon mulai menggigit kecil bibirnya. Oke, itu hanyalah gigitan kecil, tetapi karena rasa perih di bibir Talitha—akibat ciuman sebelumnya—masih ada, gigitan kecil itu pun terasa seperti sengatan.

Saat Talitha membuka mulutnya, lidah Deon langsung masuk ke sana dan Talitha spontan membuka matanya. Ia benar-benar masih belum terbiasa. Namun, semakin lama ciuman Deon terasa semakin intens.

Entah bagaimana ceritanya, di dalam ciuman itu tersirat sesuatu.

Perasaan saling memiliki.

Ciuman yang tak disangka-sangka bisa terjadi di antara mereka. Ini seperti berciuman dengan…seseorang yang belum menjadi kekasihmu, tetapi di sisi lain, mereka juga sadar bahwa mereka telah menjadi sepasang kekasih. Bagaimanapun cara bertemu dan jadiannya, mereka tetaplah sepasang kekasih. Entah sampai mana takdir akan membawa mereka.

Talitha tak tahu mengapa, tetapi kakinya mendadak terasa bagai seonggok jelly. Tangannya sedikit bergetar, tetapi Deon tak kunjung berhenti menciumnya. Pandangan matanya bagai ditutupi oleh cairan balon.

Ia sendiri bingung. Ia adalah cewek jomblo yang mesum, tetapi ia tak pernah mengkhayalkan dirinya berciuman atau sebagainya.

Tanpa ia sadari, Deon sudah menciumnya selama tiga menit. []

 















******



Kak Alfaaaaa



Si Tukang Boker








No comments:

Post a Comment

Dari Gavin, oleh Gavin, dan Untuk Gavin (Bab 4: Akibat Jomblo dari Orok)

  ****** Bab 4 : Akibat Jomblo dari Orok   ******   “OH, iya, Bu, nanti saya coba tanya sama Pak Saddam,” ujar Ayu, anggota Direks...