Bab
10 :
KEDUA
mata
Talitha membeliak.
Lama
ia memandang Deon seraya memasang ekspresi terkejut. Tatapan mata Deon seakan mampu
menembus jiwanya.
'Bukan
berarti aku nggak bisa.'
Ucapan
Deon itu seakan-akan mengiang di telinga Talitha.
Talitha
kontan menganga. "Deon—oi, kamu mau ngapain?! Oke, oke, ampun! Aku tadi
cuma bercanda, oke? Sorry! Sip, deh, nggak bakal kuulangi lagi!
Deon—astaga! Sesak, nih!!" Talitha memberontak, mencoba untuk mendorong
dada bidang Deon yang mengimpitnya. Akan tetapi, Deon hanya diam tatkala memperhatikan
reaksi Talitha; ternyata, pemuda itu tak bergerak untuk semakin mengimpit
Talitha. Jadi, hal itu membuat Talitha kembali diam. Gadis itu mulai menatap
mata Deon dan ia mematung.
Dari
tatapan mata Deon, Deon tidak terlihat sedang ‘memaksanya’. Deon tidak
menatapnya dengan tajam, melainkan menatapnya dengan…lembut. Hangat. Intens.
Seolah-olah Deon tengah memenjarakannya hanya dengan tatapan mata.
Tak
biasanya Deon menatapnya seperti itu.
Talitha
diam seribu bahasa. Sebelah tangan Deon berada di samping kepalanya, bertumpu
di pintu kulkas sedari tadi.
Namun,
tiba-tiba Talitha kaget minta ampun. Soalnya, tangan Deon yang bebas itu
mendadak mulai melingkari pinggang Talitha. Mendekap Talitha yang kini matanya
melebar; napas Talitha seolah tersekat di tenggorokan. Tubuh Talitha dan Deon
hanya terhalang oleh pakaian, tetapi degupan jantung mereka berdua seakan
menghasilkan getaran yang menyebar ke seluruh tubuh Talitha. Tubuh Talitha jadi
benar-benar menekan pintu kulkas karena Deon.
Memandang
Deon dari jarak yang dekat sebenarnya sudah sering Talitha lakukan, baik itu
karena ketidaksengajaan atau karena sikap Deon yang superaneh. Namun, Talitha
tak pernah kepikiran kalau jantungnya akan berdegup sangat kencang—bagai
habis maraton begini—hanya karena tatapan Deon. Sialnya, Talitha malah berpikir
bahwa dia hanya sedang kelaparan, makanya jantungnya tak bisa diam. Logika
orang jomblo dari lahir memang agak aneh.
Tangan
Talitha tanpa sadar memegang sisi pintu kulkas untuk berpegangan saat wajah
Deon mulai mendekati wajahnya. Mati. Jangan-jangan Deon mau
menciumnya lagi? Deon ternyata maniak meraba-raba!
Eh.
Apa meraba-raba sama dengan mencium? Kayaknya nggak, sih.
Waktu
berjalan dengan lambat—bak siput—saat hidung Deon menyentuh hidung Talitha.
Talitha sempat melihat mata Deon yang terpejam, membuatnya kontan meneguk ludahnya.
Baru kali ini Deon ingin menciumnya tanpa main sosor. Biasanya, Deon selalu
main sosor, tanpa aba-aba dan tanpa izin, sesuai dengan sifat pria itu yang
pemaksa. Akan tetapi, tatkala bibir Deon nyaris menyentuh bibir Talitha,
sesuatu terjadi. Menyelamatkan situasi di dapur yang mulai terasa sangat
mendebarkan.
Bel
apartemen Deon berbunyi.
Mendengar
bunyi bel itu, Deon pun membuka matanya perlahan. Deon mengernyitkan dahi, lalu
mulai menjauhkan wajahnya dari wajah Talitha. Pria itu lantas melihat ke
belakang; kedua tangan pria itu masih berada di tempatnya semula, hanya
kepalanya saja yang menoleh ke belakang.
Sungguh
mengganggu.
Deon
pun memicingkan mata. Dia menatap dengan fokus hingga tatapannya seolah mampu
menembus lorong dapur sampai ke pintu depan.
Di
sisi lain, Talitha langsung mengelus dadanya. Napasnya ia tarik dan embuskan berulang-ulang
seolah baru saja keluar dari ruang hampa udara. Mulutnya sampai moncong ketika
ia sedang mengembuskan napasnya.
Selamat
dah hayati, pikirnya.
Menyadari
bel apartemen itu masih saja berbunyi, Talitha pun langsung mengikuti arah
pandang Deon. Mengapa Deon tak berniat untuk membukanya? Talitha mengernyitkan
dahinya dan langsung melepaskan sebelah tangan Deon dari tubuhnya. Hal itu
membuat Deon kembali menoleh kepadanya dan sebelah alis Deon kontan terangkat.
"Kenapa
dilepasin? Aku mau cium kamu," ujar Deon dengan ekspresi tak setuju.
Talitha hampir saja tersedak karena air liurnya sendiri.
"Weeh, Deon,
sadar! Ada yang dateng, tuh! Nih anak apa banget dah, masa tamunya
dibiarin gara-gara pengin nyium anak orang sembarangan? Aku aja, deh, yang buka
pintunya!” ujar Talitha sembari berdecak. Talitha langsung ngacir ke
pintu depan hingga dekapan Deon terlepas begitu saja.
Dengan
cepat, Talitha membuka pintu itu. Deon menyusulnya dan berdiri tepat di
sampingnya ketika pintu itu terbuka.
Di
sana, terlihat seorang gadis yang sedang mengenakan topi dan masker. Gadis itu
berdiri di sana, kini berhadapan dengan Deon dan Talitha. Tubuh gadis itu
tampak sangat ramping walau saat itu ia hanya memakai kaus dan celana jeans.
Talitha
langsung mengernyitkan dahinya, begitu juga gadis itu.
"Chintya?"
Talitha
spontan menoleh kepada Deon. Dari cara Deon mengucapkan nama itu, agaknya Deon
sedang…heran. Agak bingung.
Talitha
lantas kembali menatap gadis itu.
Apakah
itu...Chintya Valissisa yang sempat dibahas oleh para wartawan
sewaktu di luar tadi? Mata Talitha melebar. Wah, sepertinya iya. Talitha memang
kurang mengenal artis-artis Taiwan, kecuali Marco Deon. Itu pun…Talitha
kenal dengan Deon karena Deon banyak main drama, apalagi Basuki juga merupakan fans
berat Deon.
"Ayo
masuk, Chintya," ujar Deon pelan. Chintya masih tergemap karena melihat keberadaan
Talitha, bahkan agaknya mata Chintya tak berkedip sedari tadi.
Hal
yang dari tadi berseliweran di pikiran Chintya adalah: 'Siapa gadis ini?
Mengapa dia ada di apartemen Deon?'
Sial.
Nanti dulu, deh, memikirkan itu. Bisa-bisa Chintya jadi mengamuk di depan
pintu.
Chintya
pun mulai mengangguk, mengiyakan Deon. Gadis itu masuk ke unit apartemen Deon,
kemudian Talitha menutup pintu itu kembali. Talitha tak mengatakan apa pun. Dia
cuek saja. Namun, ketika Talitha berbalik dan akhirnya menatap Chintya,
ekspresi Chintya langsung serius.
"Boleh
aku ngomong berdua aja dengan Deon?" ujar Chintya dengan penuh penekanan.
Kedua
alis Talitha terangkat; kedua mata gadis itu membulat dengan bodohnya. Tidak
seperti Chintya yang menganggap persoalan ini serius, Talitha justru terlihat
biasa-biasa saja. Dia malah bingung mengapa Chintya terlihat seserius itu. Ngomong
ya ngomong aja toh mbak.
"Ha?
Oh...ya, boleh.” Talitha mengangguk. "Silakan."
******
Chintya
duduk di sofa, berseberangan dengan Deon. Deon menyuruh Talitha untuk menunggu
di kamar selama dia dan Chintya berbicara.
Chintya
menatap Deon—yang sedang menuangkan minuman ke gelas itu—seraya menyatukan alis.
Berbagai prasangka berkecamuk di dalam benak Chintya. Siapa gadis itu? Mengapa
Deon berduaan saja dengan gadis itu di dalam apartemennya? Apa Deon kini hobby bermain
perempuan dan membawa perempuan ke apartemennya untuk one night
stand? Tak mungkin. Deon bukan orang yang seperti itu. Jadi, siapa
gadis itu? Apa jangan-jangan...dia adalah gadis bernama ‘Talitha’ yang Deon
telepon tadi pagi saat Deon menjemput Chintya?
Napas
Chintya tertahan saat memikirkan kemungkinan itu. Namun, tiba-tiba ia melihat
Deon yang mulai duduk tegap. Ekspresi wajah Deon terlihat tegas seperti biasa, tetapi
kedua mata Deon tampak agak menyipit.
"Kamu
baik-baik aja? Setauku, di luar banyak wartawan," ujar Deon.
Chintya
mendengkus. "Aku pake masker sama topi. Mereka mungkin nggak sadar."
Deon
pun mengangguk mengerti. Melihat Deon yang hanya meresponsnya seperti itu,
Chintya jadi cemberut. Gadis itu meremas tangannya sendiri. Maksudnya, Deon
beneran nggak mau jelasin, nih? Setelah kepergok berduaan dengan seorang
gadis di apartemennya? Sial! Bukankah Deon seharusnya menjelaskan itu
kepada Chintya? Chintya ini adalah sahabatnya, lho! Satu-satunya
perempuan yang dekat dengannya!
Chintya
lantas menatap Deon dengan tajam. Alisnya menyatu; dia terlihat kesal.
"Yang
tadi itu siapa, Deon?" tanyanya.
Deon
mengerutkan dahi. Pria itu diam sebentar, kemudian matanya menyipit tajam.
"Kenapa?
Apa
kamu lagi-lagi nggak percaya kalo aku peduli sama kamu?"
Chintya
mendengkus. Wajahnya agak memerah karena memendam amarah. "Kasih
tau aku siapa dia, Deon!!"
Tatapan
mata Deon tampak begitu mengintimidasi. Namun, akhirnya Deon menghela napas.
"Tadi
aku mau ngenalin dia ke kamu, tapi kamunya mau ngomong berdua aja," ujar
Deon. "Namanya Talitha. She’s my girlfriend, Chintya."
Saat
itu juga, Chintya merasa bagai tertimpa batu berton-ton. Jantungnya seolah
berhenti berdetak; dadanya terasa begitu sesak. Ia sampai lupa bernapas untuk
sejenak.
Jadi...Deon…punya
kekasih? Baru sebentar saja mereka tak bertemu dan Deon...sudah memiliki
kekasih? Gadis muda bernama Talitha tadi...adalah kekasihnya Deon?
Tanpa
sadar air mata Chintya tumpah. Tangannya langsung mengepal.
Tidak
boleh. Deon itu miliknya. Hanya miliknya! Deon
pasti mencintainya juga; Deon hanya belum sadar. Mereka sudah bersama sejak
kecil dan mereka saling menyayangi. Jujur saja, rasa sayangnya kepada Deon itu
tak ada tandingannya. Maka dari itu, Deon harus bersamanya. Walaupun Deon dan
gadis bernama Talitha itu tampak dekat, bisa jadi Deon hanya memainkan gadis muda
itu. Deon mungkin sangat merindukan Chintya sampai-sampai dia melampiaskan kerinduan
itu pada gadis lain.
Ya.
Pasti seperti itu, ‘kan? Iya, 'kan?
******
Talitha
berkeliling di kamar Deon. Kamar yang kemarin-kemarin pernah Talitha masuki
sewaktu Talitha demam. Namun, waktu itu Talitha tak benar-benar memperhatikan
kamar tersebut karena sedang sakit. Talitha baru sadar bahwa kamar Deon ternyata
sangat rapi. Buku-buku disusun dengan sangat rapi di rak buku, posisinya sangat
bagus dan teratur. Seprai milik Deon berwarna hitam dan bed cover-nya
berwarna dark grey. Di bed cover itu terdapat corak seperti batik
yang berwarna putih. Wow, aktor dari Taiwan ini suka batik
Indonesia, ya? Talitha nyaris tertawa.
Semua
benda yang ada di kamar itu tersusun rapi. Kamarnya terlihat sangat elegan,
tertata, dan mewah. Membuat orang jadi segan untuk menyentuh barang-barang di
sana. Wangi kamar itu…seperti wangi tubuh Deon.
"Buset
dah, perfeksionis banget nih orang. Ckck..." Talitha
berdecak sembari menggeleng; dia merasa kagum ketika memperhatikan kamar Deon
dengan saksama. Talitha kemudian menoleh ke samping, lalu ia melihat ada beberapa
foto yang dipajang di atas meja. Talitha pun mendekatinya.
Di
sana…ada foto Deon dengan seorang gadis.
Eh...?
Bukankah
ini gadis yang bermasker tadi? Mata dan bentuk tubuhnya sama.
Ah,
ya. Benar. Mungkin, ini adalah foto Deon dengan Chintya itu. Di foto itu, Chintya
sedang memegang lengan Deon dan menatap ke kamera seraya tersenyum semringah. Sementara
itu, Deon tampak tersenyum simpul. Deon juga menatap ke kamera.
Lha,
dia bisa senyum kayak gitu juga ternyata. Talitha
mengangguk—mulutnya terbuka, entah karena kagum atau…hanya bersikap macam orang
bodoh—kemudian dia beralih ke foto lainnya. Kali ini, Talitha melihat foto papa
Deon. Gadis itu pun tersenyum.
Foto
berikutnya adalah foto Deon bersama papanya. Deon terlihat sedang memegang
sebuah medali emas; Deon dirangkul oleh papanya. Sebelah tangan Deon tengah
memegang medali itu, sementara sebelah tangannya lagi terlihat sedang memegang
sebuah raket.
"Widiih...dia
pernah juara badminton cuy," ujar Talitha. Dia menggeleng-geleng
karena kagum. Gila. Kalau seandainya Deon tak sekejam iblis…maka Deon akan
menjadi orang yang sempurna. Soalnya, pria itu memiliki segala kelebihan yang
diimpikan oleh semua pria.
Setelah
melihat tiga foto itu, Talitha pun berencana untuk berbalik dan berkeliling
lagi.
Baru
saja ia ingin berbalik, ia nyaris terjungkal ke belakang karena mendengar suara
pintu kamar Deon terbuka.
"Ee
copot! Ooooi, kaget gue buset... Sumpah, ampuni
gue yang banyak dosa ini—"
"Kamu banyak dosa?"
Deon berdiri di dekat pintu; dia baru saja menutup pintu kamar itu. Ia menatap
Talitha seraya mengernyitkan dahinya
Talitha
mengelus dada. Gadis itu berdecak dan menggeleng berkali-kali seraya menatap
Deon yang mulai berjalan mendekatinya.
"Kusangka
ada maling," ujar Talitha seenaknya. Ia lalu kembali berdiri tegak dan
memasang wajah yang super-duper-ngeselin.
Deon
menaikkan sebelah alisnya. "Jangan main-main, Talitha. Nggak mungkin aku
ngebiarin maling masuk ke kamarku, sementara dari tadi aku ada di rumah."
"Ngahahahaha!
Aku barusan ngebayangin kamu mukul malingnya pake sapu masa," ujar
Talitha, kepalanya tertolak ke belakang saking kuatnya dia tertawa.
"Kamu
emang selalu ngehayal yang bukan-bukan, Talitha. Makanya, otak kamu
selalu error," ujar Deon, mata Deon menyipit dengan sadis tatkala
menatap Talitha. Sementara itu, Talitha tak punya niat untuk berhenti ngakak.
"Hadeeeh…”
Talitha
memegangi perutnya, berusaha untuk berhenti tertawa. “Deon...Deon.
Biarin, deh. Aku emang kurang normal, kata Mamaku, dan aku udah pasrah. Eh, tapi
emang mantep banget, ya, kalo ngebayangin kamu ngelakuin hal konyol! Lawak
banget, sumpah!"
Setelah
puas mengejek Deon, tiba-tiba Talitha teringat sesuatu.
"Eh?
Itu tadi—Chintya tadi udah pulang toh?" tanya Talitha dengan mata membulat
ingin tahu.
Deon
mengembuskan napasnya dan mengangguk.
"Iya.
Dia baru pulang."
"Ooo..."
Talitha ber'oh' ria dan mulutnya kelihatan moncong. "Kamu nggak
nganterin dia?"
Deon
tiba-tiba mendekati Talitha, lalu memegang dagu Talitha dengan kencang. Jal itu
membuat Talitha terkejut setengah mati.
"Aku
nggak bakal ninggalin kamu sendirian di sini," jawab Deon tajam. "Aku
harus nganterin kamu pulang, jadi aku nggak bisa nganter Chintya. Jangan
macam-macam."
Alis
Talitha jadi terangkat. "Ha?! Buat apa juga aku macam-macam?!"
Deon
menatap Talitha dengan penuh intimidasi. "Karena mungkin aja kamu bakal minta
jemput sama laki-laki lain. Aku nggak suka."
Talitha
berdecak. Gadis itu memutar bola matanya. "Etdah. Kamu ini mikir dikit
bisa nggak? Aku ini bukan cewek cantik ataupun playgirl sejati.
Jadi, kamu nggak perlu jagain aku kayak orang gila gitu. Ntar kamu—"
"Diam. Jangan
ngebantah. Aku nggak bakal ngebiarin milikku diusik siapa pun. Aku bakal ngelakuin
apa pun, asalkan kamu tetap jadi milikku," ujar Deon dengan penuh
penekanan. Kata-katanya setajam tatapan matanya.
Talitha
hanya menggeleng. Gadis itu menghela napas; dia sudah sering sekali mendengar
penuturan Deon mengenai hak milik ini. Dia tak tahu harus merespons Deon
bagaimana lagi.
Talitha
lantas melepaskan tangan Deon dari dagunya, lalu berdecak.
"Udah,
ah! Males aku ngeladenin kamu. Ayo pulang dan bawa apelnya ke Mama," ujar
Talitha sembari keluar dari kamar Deon.
******
Gavin
baru saja sampai di depan pintu rumahnya. Di belakangnya, Revan menyusul dengan
santai. Revan lalu menyikut lengan Gavin dan tertawa jail.
"Ciee, yang
dapet surat cinta. Hahay! Traktir, dong, Mas?" ujar Revan,
kemudian pria itu tertawa terbahak-bahak. Melihat muka Gavin yang jadi memerah
seperti kepiting rebus, ia pun semakin heboh.
"Diem
lo, Nyet. Kamvret, jangan ngomongin itu di depan rumah gue! Sialan lo," umpat
Gavin. Namun, Revan masih saja tertawa kencang, padahal menurut Gavin tawa
Revan adalah tawa yang paling sumbang sedunia.
Revan
menepuk-nepuk pundak Gavin, "Sabar, Bro, masa ditembak
cewek malah kesel? Kasihan si Kanya, tuh, dia udah capek-capek bikin surat
cinta buat lo! Elo nih nggak berubah-berubah, yak. Kalo udah masalah
cinta, pasti langsung kebingungan!" komentar Revan. Pria itu
kembali tergelak habis-habisan.
Gavin
menggeram, ia langsung menjitak kepala Revan dengan kencang. "Woy! Kan gue
nggak tau kalo surat yang Kanya kasih itu ternyata surat begituan. Mana ngerti
gue. Enak banget lo ngatain gue kayak gitu, hah?! Dasar playboy sialan..."
ujar Gavin kesal.
Revan
hanya tertawa.
"Tapi
itu anak magang ternyata berani juga, ya. Salut gue," ujar Revan seraya
menggeleng. "Gue kasih nilai seratus, deh, hahaha!"
"Lo
kira dia lagi ujian?!" ujar Gavin jengkel. Pria itu menggeleng, lalu
mengetuk pintu rumahnya. Hari ini, sialnya, Revan mampir ke rumahnya lagi. Mau
menginap seperti biasa. Mengapa anak itu tak sekalian saja membawa seluruh
barang yang ada di kost-nya dan tinggal di rumah Gavin? Kerjaannya
ngineeeep terus, seperti sudah rumah sendiri saja.
Pintu
rumah pun terbuka. Talitha membukakan pintu itu sambil makan sebongkah apel
besar. Talitha menatap kedua abangnya itu seraya memasang ekspresi polos. Polos-polos
ngeselin, maksudnya.
"Bang,
minta duit boleh?" ujar Talitha sambil nyengir.
Gavin
menganga.
Sementara
itu, Revan tertawa keras.
"Ha?
Buat apa, sih, Dek? Abangnya baru pulang kerja kok langsung
ditodong!" ujar Gavin sembari menggeleng. "Memang stress nih
anak."
Talitha
tertawa terbahak-bahak.
Revan
kemudian menambahkan, "Ita mah nggak pernah normal."
Setelah
mengucapkan itu, Revan kembali tertawa. Pria itu lalu masuk ke rumah Gavin
setelah menepuk kepala Talitha pelan. Manusia yang berdiri di depan Talitha
kini hanyalah Gavin.
Talitha
mulai tersenyum geli. "Bercanda, Bang. Bercanda. Abang nih emang nggak
bisa diajak bercanda. Pantes Abang jomblo terus, wahahahahahaha!"
Talitha langsung ngacir, masuk ke rumah sembari menertawai
Gavin.
"Hoi,
Dek! Sini lo!! Macem lo nggak jomblo aja!" teriak Gavin kesal.
Gavin
memijit keningnya—merasa pusing tujuh keliling—lalu menggeleng. "Apes
banget gue hari ini."
Sementara
itu, dari dalam rumah, mamanya berteriak.
"Gavin!
Revan! Kalo laper makan sana! Ada
apel juga, tuh, di kulkas!"
******
Sepanjang
sore itu, Talitha memakan apel bersama mamanya di ruang tengah sambil menonton
TV. Gavin dan Revan juga ada di sana, sementara papa Talitha agaknya belum
pulang dari kantor.
Tiba-tiba
Talitha memegang perutnya. Perutnya terasa melilit dan ia pun mengaduh,
"Waduh, mules pula ahelah..."
Gavin,
Revan, dan Mama Talitha kontan tertawa. Talitha berdiri seraya memegang
bokongnya sendiri. Mama Talitha lantas memukul pinggang Talitha dengan kencang.
"Hiis! Jorok banget, sih, Ta! Makanya, kalo makan tuh inget-inget! Kayak nggak
pernah dikasih makan aja nih anak!"
Talitha
spontan ngakak. Gadis itu mengibrit ke kamar mandi.
Gavin tertawa kencang.
"Maju
terus, Dek! Keluarin semuanya sampe tuntas!" teriak Revan dengan heboh
sampai Gavin menempelengnya. Well, padahal Gavin sendiri juga tertawa
kencang.
Masalahnya,
Talitha itu kalau sudah buang air besar atau boker, suaranya selalu
terdengar sampai ke luar kamar mandi. Suara bokernya persis macam
orang diare, padahal bukan karena salah makan, melainkan karena terlalu banyak
makan. Ditambah lagi, sekarang Talitha memang bolak-balik ke kamar mandi. Balik
menonton TV, mulas lagi. Menonton TV lagi, lalu mulas lagi. Hal itu membuat
Gavin dan Revan semakin tertawa, sementara mamanya langsung pergi ke dapur dan mencarikan
obat diare untuk Talitha sambil marah-marah. Mamanya mulai mengomelinya karena
terlalu banyak makan. Di sisi lain, Talitha? Seperti biasa, dia hanya nyengir
tanpa dosa. Setelah minum obat, Talitha pun masuk ke kamarnya sembari mengelus
perutnya.
Ia
memejamkan mata dan mengeluarkan napasnya lewat mulut dengan lega ketika ia membanting
tubuhnya ke kasur. Namun, ia tersentak ketika mendengar ponselnya tiba-tiba
berbunyi; ponsel itu ia taruh di dekat bantal. Talitha langsung membuka matanya
dan mengernyitkan dahi tatkala mengambil ponselnya.
Ternyata,
itu adalah panggilan telepon dari Alfa.
Talitha
mengerjapkan matanya dua kali. Kalau diangkat, Deon marah atau tidak, ya? Ini
bakal berisiko; Talitha harus menghapus riwayat panggilan teleponnya. Sebetulnya,
tak enak juga kalau tidak mengangkat telepon orang lain hanya karena sifat posesif
Deon, apalagi...bagaimana kalau orang itu mau membicarakan sesuatu yang penting?
Kan tidak lucu.
Talitha
pun akhirnya mengangkat telepon itu dengan ekspresi datarnya. "Halo."
Terdengarlah
suara lembut Alfa di seberang sana. "Iya, halo. Lagi ngapain,
Ta?"
Mulut
Talitha membentuk ‘O’, lalu ia terdiam karena kagum. Ini bukan pertama kalinya ia
ditelepon oleh Alfa, tetapi ia tetap saja kagum tiap kali mendengar suara Alfa.
Suara beratnya itu terdengar sangat lembut. Jenis suara yang bisa membuat gadis
mana pun meleleh. Well, suara Alfa memang begitu, baik di telepon maupun
suara aslinya. Alfa waktu itu pernah bernyanyi ketika ada event di
kampus dan suaranya berhasil memukau semua orang. Dia menyanyikan lagu
milik Ungu yang berjudul “Tercipta Untukku” sembari
bermain gitar. Suaranya merdu, lembut, dan terdengar sangat tulus.
Wajah Alfa pun dari lahir memang sudah memadai, jadi dia begitu memukau di atas
panggung waktu itu. Jiah, walau Alfa orangnya kalem gitu, yang
nge-fans sama Alfa tuh banyak banget. Udahlah ganteng,
suaranya bagus pula. Kabarnya dia mau jadi pilot juga, tuh.
"Nggak
ada, Kak," jawab Talitha. "Abis boker aja."
Terdengarlah
suara tawa Alfa di seberang sana. Suara tawa yang khas dan indah, tetapi Talitha
bukannya terpana, gadis itu malah ikut tertawa.
"Ya
ampun, Ita...Ita. Udah empat kali, lho, kakak nelepon kamu dan kamunya abis
boker." Alfa tertawa lagi. Pemuda itu memang
selalu bersikap apa adanya, tetapi dia jadi lebih ‘berekspresi’ kalau sudah
berinteraksi dengan Talitha.
"Aduhai—"
ujar Talitha sembari berusaha untuk menghentikan tawanya. Ia mengatur napasnya
dan kembali berbicara, "Kak Alfa nelepon ada apa?"
Alfa
tertawa geli, "Harusnya bales nanya, dong. ‘Kakak lagi ngapain?’ gitu.
Kok malah nanya ada apa nelepon, duh.”
Talitha
kembali tertawa. Untung, tidak masuk lalat ke dalam mulutnya.
"Hahaha—iya, deh, Kak.
Kak Alfa lagi ngapain, tuh?" tanya Talitha.
"Nggak
ada. Kakak baru pulang, tadi diajakin Nathan sama rombongan makan bakso. Ita
udah makan?" tanya Alfa lembut.
Talitha
mengelus perutnya lagi.
"Ahelah
Kak...Kak. Ya udah, dong, bokernya aja udah," jawabnya sembari
tertawa keras.
Alfa
tertawa lagi. Rasa kenyang akibat makan bakso traktiran Nathaniel mendadak tak
mengganggunya untuk tertawa.
"Lauknya
apa?" tanya Alfa lagi dengan penuh perhatian.
Talitha menggaruk keningnya, tampang berpikirnya malah seperti tampang
serius Mr. Bean. "Tadi…Mama masak udang, Kak.
Disambel."
Setelah
mengatakan itu, Talitha mendadak mendengar ada bunyi 'tuut' dari
teleponnya. Ia mengernyitkan dahi dan melihat ke layar ponselnya; matanya langsung
membulat tatkala mengetahui bahwa ada panggilan telepon yang menunggu.
Sayang
calling...
Alamak, mampus!
Deon
menelepon!
Sebelum
Talitha sempat bereaksi, terdengarlah suara Alfa di seberang sana. "Ita?"
Talitha
mendadak menggaruk lehernya. Ia nyengir meski tahu Alfa kalau takkan
bisa melihatnya. "Ah—haha, umm…ada yang nelepon Ita, Kak."
Aduh, bro, Talitha
merasa macam buronan!
Beberapa
detik kemudian, panggilan telepon dari Deon itu dimatikan; Deon mematikannya.
Talitha mengembuskan napasnya lega. Mendengarkan Deon marah-marah adalah hal
yang paling tidak ia sukai.
Namun,
ternyata ia salah. Tatkala Alfa baru saja ingin berbicara lagi, panggilan telepon
dari Deon pun kembali muncul. Saat Talitha tak mengangkatnya, panggilan telepon
itu lantas datang lagi dan terlihat semakin menuntut. Talitha mulai menggaruk
kepalanya. Meski merasa tak enak dengan Alfa, dia pun akhirnya mulai berbicara.
"Kak,
udah dulu ya? Kayaknya orang yang nelepon Ita ini punya urusan penting,"
ujar Talitha meski ia sendiri pun tak yakin. Ia harap Alfa tak tersinggung
dengan dirinya yang menutup telepon seperti ini.
Alfa
hanya menghela napas.
"Ya
udah, nggak apa-apa kok. Angkat aja dulu teleponnya. Oh, ya, sebelum ditutup, ada
yang mau kakak omongin. Ita mau nggak ntar malem pergi ke bioskop sama
Kakak?"
Mata
Talitha kontan membeliak. Bukan, ini bukan yang pertama kalinya; Talitha sudah
sering jalan berdua sama Alfa. Selama ini, Talitha menganggap hal itu seperti ‘jalan
sama teman’ saja, seperti jalan sama Basuki. Namun, kali ini...
Kali
ini, ada si Deon Sableng! Bagaimana...
"Ah—"
Talitha menggaruk kepalanya. "Kak, Ita..."
"Hm?" deham
Alfa.
Akhirnya,
Talitha menyerah. Ia tak punya pilihan lain. Mungkin, nanti ia akan
berkonsultasi dengan Gavin atau Revan soal bagaimana cara mengatasinya. Talitha
benar-benar pusing; dia tak pernah menghadapi hal yang rumit seperti ini!
Selama ini, hidupnya ia jalani seperti bocah gendeng yang lasaknya kayak
monyet, tetapi tiba-tiba ia harus berurusan dengan Deon dan segala kerumitan
pria itu! Dia sudah terperangkap di jaring yang dipasang oleh Deon. Dia yang
biasanya suka mengagumi senior ganteng di UI—garis bawahi: Kak Alfa—kini
sudah tak sebebas itu lagi.
Penjara
tak kasat mata yang dibangun oleh Deon itu sangatlah kukuh.
Talitha
tak tahu bagaimana harus berucap sehingga dia hanya berkata, "Iya, deh,
Kak."
Embusan
napas Alfa saat pemuda itu tersenyum pun terdengar.
"Oke.
Ntar malem Kakak jemput, ya."
"Iya,"
ujar Talitha. Setelah itu, Talitha pun minta izin untuk mematikan panggilan telepon
itu.
Satu
detik setelahnya, panggilan telepon dari Deon yang sedari tadi terus menuntut pun
akhirnya Talitha angkat.
"Halo—"
"Kamu
nelepon siapa?!! Seberapa penting obrolan itu sampe kamu nggak ngangkat telepon
aku?!"
Talitha
menganga, ia langsung bangkit—berdiri—dan turun dari kasurnya."Oi, Deon,
sabar dulu—"
"Oh...
Itu telepon dari cowok, ya?" tanya Deon dengan sarkastis. "Jawab
aku, Talitha!!!"
Talitha
kontan mengepalkan tangannya, lalu berteriak, "Kamu nih sabar dulu ngapa,
sih?!! Aku emang teleponan sama laki-laki yang bukan keluargaku, tapi—"
"Aku
harus apain kamu supaya kamu mau nurut, hah?!! KAMU ITU MILIKKU!! Siapa yang ngizinin
kamu ngobrol sama laki-laki lain selain aku?!! Kamu tau aku, Talitha, aku bukan
orang yang bisa mengampuni kesalahan untuk yang kedua kalinya. Kamu—kamu bener-bener
sialan, Talitha. Kamu denger ini; kamu ternyata sama aja dengan Mamaku."
Talitha
menganga.
Darah
Talitha serasa mendidih. Emosinya mendadak membubung tinggi sampai ke
ubun-ubun. Dia menggertakkan giginya.
"DEON!!!
JANGAN ASAL NGOMONG KAMU!! DASAR GILA!! MAKSUD KAMU APA, HAH? Lagian, jangan
hina ibu kamu! Ibu kamu emang salah, tapi kamu nggak boleh ngomong gitu! Oke, aku emang
nggak berhak untuk nasihatin kamu seolah aku tau semuanya, tapi
asal kamu tau, ya, yang sialan itu kamu!! Yang tiba-tiba datang ke hidup aku,
terus bikin jengkel setengah mati tuh kamu! KAMU,
DEON!!!"
"Kamu
udah berani ngebentak aku?! Ini yang aku nggak suka kalo ada yang ngusik
milikku. Siapa itu? Si Alfa sialan itu lagi, ya?! Aku ke sana sekarang. Jangan kabur
kamu," ujar Deon dengan kejam, kemudian panggilan
telepon itu dimatikan oleh pria itu.
Talitha
menganga.
******
Talitha
benar-benar tak tahu harus berbicara apa kepada orangtuanya saat Deon tiba-tiba
datang ke rumahnya senja itu. Deon hanya berkata bahwa pria itu ingin membawa
Talitha dan tangan Deon menggenggam—bukan, mencengkeram—tangan
Talitha dengan tak berbelas kasih. Pria itu membawa Talitha melewati teras
rumah dan langsung mengempaskan tubuh Talitha ke dalam mobil hingga membuat
Talitha mengamuk padanya.
Namun,
percuma saja. Deon hanya menutup pintu mobil yang ada di sisi Talitha dengan kencang,
lalu memutari mobilnya dari depan. Saat pria itu masuk ke mobil, ekspresi
wajahnya tetap sama. Mata pria itu seakan menggelap karena sedang marah. Dada
bidangnya tampak sedang menahan sesuatu yang meluap dari dalam dirinya. Saat
itu, Deon seolah tak ingat apa pun lagi; dia tak memikirkan apa pun selain
kemarahannya pada Talitha.
Deon
mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Tangan pria itu mencengkeram roda
kemudi hingga urat-urat dan otot di tangannya tercetak jelas. Buku jarinya
memutih. Tak sekali pun dia memandang Talitha yang ada di sampingnya.
"Deon!
Pelan-pelan, hoi! Kamu bisa nabrak orang—"
"DIAM
KAMU!!!!!" teriak Deon kencang. Kepala Talitha tertolak
ke belakang karena terkesiap. Degupan jantung Talitha menggila karena ia tahu
sosok Deon yang ini. Ia pernah melihat sosok Deon yang sedang marah ini di
rumah papanya Deon waktu itu. Talitha meneguk ludahnya.
Talitha
hanya bisa diam; ia pun menoleh ke jendela yang ada di sisinya. Ia terus
mengepalkan tangannya dan sesekali ia menatap Deon. Ekspresi Deon masih sama, tak
ada belas kasih lagi di sana. Hanya ada kekejian dan amarah.
Deon
membawa Talitha ke apartemennya. Talitha menganga; gadis itu terus memberontak ketika
Deon menarik tubuhnya dengan kencang. Deon bagai sedang menyeret seorang budak
yang minta dikasihani. Talitha merasa benar-benar kesal dengan Deon sekarang.
Dia terus mencoba untuk mengempaskan tangan Deon, di lobi, di lift…hingga
di lantai tempat unit apartemen Deon berada. Saat pintu unit apartemen Deon
terbuka, Deon pun langsung menarik Talitha untuk masuk ke sana dengan kencang,
lalu menutup pintunya kembali.
Deon
menuju ke kamarnya dengan cepat dan mengempaskan tubuh Talitha ke dinding
kamarnya.
Talitha
mengaduh kesakitan. Gadis itu langsung berteriak, "DEON!! Woi, yang
bener aja kamu nih!!! Kan udah kubilang kalo aku—"
"AKU
NGGAK BUTUH PENJELASAN KAMU!" teriak Deon kasar. Mata Talitha memelotot.
"NGGAK!
KAMU HARUS DENGER!!!" balas Talitha. Dia tak ingin Deon memotong
kata-katanya lagi.
Deon
pun mendekati Talitha perlahan. Setelah itu, dengan seringai kejamnya, Deon mulai
mencengkeram dagu Talitha. "Emangnya kamu bisa jelasin apa? Mau ngejelasin
kalo kamu udah punya hubungan dengan si Alfa itu?"
Talitha
berdecak. Gadis itu langsung menggeram. "Gila kamu! Aku nggak ada hubungan
apa-apa sama Kak Alfa!! Emangnya salah kalau aku temenan sama dia?!!!
Kamu—"
"Salah, Talitha!!!
Kamu nggak perlu punya temen lain! Setauku, kamu udah punya temen yang namanya
Basuki itu, ‘kan? Kamu nggak perlu punya temen cowok lain, apalagi Alfa sialan itu!!!!!"
"Emangnya
kenapa, sih?!! Oi, Deon, aku ini masih muda!! Wajar kalo aku punya temen! Kamu
pun gitu, ‘kan?! Aku aja nggak pernah ngomong apa-apa soal pertemanan kamu sama
Chintya, ‘kan?!! Kamu nih ternyata harus diruqyah—"
"Kenapa? Kamu
masih tanya kenapa?!" teriak Deon.
Talitha
mengernyitkan dahinya.
Saat
menatap kedua mata Talitha, sorot mata Deon tampak sangat tajam. Akan tetapi, tiba-tiba
Deon meraih leher Talitha—membuat wajah mereka jadi sangat berdekatan—lalu berbicara
dengan penuh penekanan kepada Talitha.
"Karena ini,"
ujar Deon, kemudian pria itu mencium bibir Talitha dengan paksa.
Mata
Talitha membulat. Tubuh gadis itu kontan menegang.
Ciuman
Deon terasa begitu menuntut. Tidak pelan sama sekali. Talitha jadi panik;
tangannya sibuk mencari kemeja Deon, di bagian tangan, dada, atau apa pun yang
bisa ia raih. Ia ingin mendorong Deon. Namun, tangannya itu langsung digenggam
oleh Deon.
Deon
mencengkeram tangan Talitha, lalu menempelkan kedua tangan gadis itu ke dinding.
Cengkeraman Deon telah sukses mengunci pergelangan tangan Talitha. Deon
melakukannya dengan kuat hingga tangan Talitha terasa sakit. Gadis itu tak
pernah mengalami hal seperti ini!
Sayangnya,
Talitha bukanlah seorang pengecut. Jadi, gadis itu tidak menangis. Talitha
malah terus berusaha untuk melepaskan diri dari cengkeraman Deon.
Deon
menggigit bibir Talitha dan spontan kepala Talitha terdorong ke belakang—sampai
terantuk dinding!—karena kaget. Talitha mulai berbicara seraya terengah-engah,
"Deon—"
Namun,
ucapannya langsung dipotong oleh Deon dengan ciuman yang lebih keras.
Lidah
pria itu langsung masuk ketika Talitha membuka mulutnya untuk berbicara.
Talitha butuh oksigen. Ia memukul-mukul dada bidang Deon, tetapi agaknya pukulan
itu tak berefek pada tubuh Deon yang besar. Ia serasa tercekik; bibirnya juga terus
digigit oleh Deon hingga bengkak. Agaknya, bibirnya mulai lecet sana-sini. Soalnya,
setiap Deon menciumnya dengan paksa, bibirnya terasa perih.
Talitha
tak berhasil mendorong tubuh Deon. Namun, sebelum ia menyerah, Deon ternyata telah
lebih dahulu melepaskan ciuman kasar itu.
Talitha
menatap Deon dengan mata nyalang; Deon juga menatap Talitha dengan tajam.
Talitha
menggertakkan giginya. Dia marah sekali. "KAPAN, SIH, KAMU BISA SEMBUH
DARI PENYAKIT GILA KAMU INI?!!"
Deon
hanya diam.
"KAMU
TUH MESTI MASUK RUMAH SAKIT JIWA TAU NGGAK?!! Oi, Deon, sebelum bertindak itu coba
pikirin orang lain!! AKU BISA JELASIN SEMUANYA, SEMUA KEBENARANNYA! KAMU NGGAK
PERLU BERTINDAK GILA KAYAK GINI!! KOK ADA, SIH, MANUSIA KAYAK KAMU INI? SADAR,
WOI!! AKU INI—"
Tiba-tiba
teriakan Talitha terhenti.
Gadis
itu terperanjat; matanya membulat. Ia betul-betul mematung saking terkejutnya.
Soalnya,
tiba-tiba…
…Deon
memeluknya dengan lembut.
Talitha
sampai lupa bernapas. Ia sungguh tak menyangka kalau hal itu akan terjadi. Deon
memeluknya dengan sangat lembut dan pelukan itu terasa semakin erat.
Kedua tangan Deon melingkar di pinggang Talitha; dia memeluk Talitha dengan posesif.
Dia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Talitha dan bernapas samar di sana.
Talitha
masih belum berkedip.
Apa
lagi ini? Tadi, hanya dalam satu detik, Deon berubah menjadi iblis. Namun, detik
berikutnya…dia malah jadi seperti ini. Entah apa yang sedang Deon lakukan
sekarang.
"O—Oi,
kamu ngapain?" tanya Talitha, gadis itu mendadak jadi gagap. Deon hanya
terus diam.
Sebenarnya,
saat ini…kamar Deon tampak gelap. Lampunya mati dan suasananya sangat sunyi.
Maka dari itu, embusan napas mereka yang bergantian itu terdengar dengan jelas
di telinga Talitha. Bersusulan dan sama-sama terengah-engah akibat ciuman barusan.
Dalam
beberapa detik lamanya, Deon tak menjawab apa pun. Talitha juga diam, tetapi
dia tidak mencoba untuk melepaskan pelukan Deon. Dia tahu kalau Deon mungkin
ingin menyampaikan…atau melakukan sesuatu.
Namun,
sampai di detik ke sepuluh, Talitha pun mulai bingung. "Deon—"
"Diam, Talitha,"
potong Deon, yang membuat Talitha kontan tersentak.
"Tapi—"
"Sebentar
saja di posisi ini."
Talitha
pun terdiam.
Satu
menit.
Dua
menit…
Mereka
masih berada dalam posisi yang sama. Deon justru semakin mengeratkan pelukannya
dan mencoba untuk mencari kenyamanan di tubuh Talitha. Lama kelamaan, Talitha jadi
merasa geli karena hidung mancung Deon sejak tadi menyentuh kulit lehernya.
Deon
mengendus leher Talitha. Talitha langsung bergidik. Dalam hati, ia ingin beranggapan
kalau ia beruntung karena sudah dipeluk oleh pria tampan, tetapi
saat ini ia benar-benar tak bisa beranggapan seperti itu. Kasusnya berbeda.
Lima
detik kemudian, Deon pun perlahan menjauhkan kepalanya. Bola mata berwarna coklat
gelapnya mulai menatap wajah Talitha dengan intens seolah ingin menemukan
sesuatu di wajah Talitha. Napas Deon terdengar teratur; napasnya berembus dengan
pelan di depan wajah Talitha.
Seumur
hidupnya, Deon tak pernah terpikir untuk mengatakan ini. Namun, sekarang dia
ingin mengatakannya kepada Talitha.
“Maafin
aku.”
Mata
Talitha kontan membulat. Apa ini benar-benar Deon yang dia kenal?
Deon...meminta maaf? Bohong. Ini pasti bukan Deon.
"Kamu
kok jadi aneh, hah? Sifat kamu ganti lagi, ya?" ujar Talitha dengan
bodohnya. Namun, Deon sama sekali tidak tersenyum akibat ucapan ngawur Talitha.
Deon tetap menatap Talitha dengan intens.
"I
don't want you to be with anyone else. No one but me. Just me. Kamu
akan jadi milikku selamanya. Nggak ada yang boleh milikin kamu selain aku.
Sejak pertama kali, saat aku pertama kali milih kamu, kamu udah jadi milik aku,"
ujar Deon dengan suara rendahnya. Tidak ada kemarahan yang tersirat di nada
bicaranya. Hanya ada…kecemburuan.
Talitha
ingin marah, tetapi entah mengapa kemarahannya tidak keluar. Ia justru
membiarkan Deon terus berbicara.
"Talitha,"
panggil Deon pelan.
Talitha
mengedipkan matanya dua kali. "H—a? Apa?"
Deon
bernapas samar.
"Sepasang
kekasih itu biasanya ciuman. Tapi jomblo dari lahir kayak kamu
ternyata emang nggak bisa ciuman," komentar Deon dengan alis menyatu.
Meskipun gelap, Talitha bisa melihat itu semua. Talitha spontan menganga.
Gendengnya,
Talitha malah tertawa terbahak-bahak. Dia sampai mendongak; tawanya terlihat puas
sekali.
"Nggak
ada yang lucu," ujar Deon.
Talitha ngakak lagi.
Namun, sesaat kemudian, Talitha berdecak. "Macem kamu nggak jomblo dari
lahir aja!! Kurasa kamu pun belajar ciumannya pas akting di
drama, ‘kan? WHAHAHA!!!"
Alis
Deon bertaut. "Kayaknya, kamu seneng banget ngeliat aku terpojok.”
Talitha
tertawa lagi. "Habisnya muka kamu itu lucu!! Muka bingung kamu tuh mantep
abis dah!!" Talitha mengacungkan kedua jempolnya pada
Deon.
Deon
hanya mendengkus. Akan tetapi, tatapan matanya masih terlihat…dalam.
"Aku
mau cium kamu," ujar Deon tiba-tiba dengan suara lirih.
Talitha
mematung.
Apa?!
Deon mau menciumnya?! Bukankah tadi Deon sudah menciumnya?
"Talitha,
jawab aku," ujar Deon dengan mata menyipit.
Sebetulnya,
tubuh mereka hanya dipisahkan oleh pakaian yang mereka kenakan. Talitha dapat
mencium wangi parfum Deon yang sangat maskulin.
Sebelum
Talitha sempat merespons apa pun, Deon tiba-tiba kembali bersuara, "Sebenernya,
aku nggak suka ditolak."
Mulut
Talitha terbuka lebar. Namun, Talitha mendadak memutar bola matanya. "Sama
aja maksa itu mah."
Deon
hanya diam.
"Kayaknya
otak kamu udah kecuci sama monyet edan kayak aku, ya? Kamu jadi mesum gini,"
ujar Talitha, lalu dia tertawa kencang.
Deon
hanya mendekatkan wajah mereka kembali. Deon pun berbicara di depan bibir Talitha,
"Kamu harus jawab iya. Berhenti jadi gila, Talitha."
Entah
mengapa, ucapan itu malah membuat Talitha semakin tertawa. Akan tetapi,
beberapa detik setelah itu, Talitha mendadak diam. Gadis itu sadar bahwa
mungkin Deon akan bertanduk lagi jika dia terus menertawai Deon.
Gadis
itu memperhatikan Deon yang tak sekali pun berhenti menatapnya. Ia tahu kalau ia
tak bisa membantah.
Jadi,
saat ini, yang bisa ia lakukan hanya satu.
"Ya
udah," jawabnya pada akhirnya.
Tak
sampai satu detik setelah itu, dia bisa merasakan bibir Deon yang menyentuh
bibirnya dengan lembut. Tak ada paksaan sama sekali pada ciuman itu.
Deon
kembali meraih leher Talitha, lalu memeluk Talitha dengan sangat erat. Membuat
Talitha benar-benar ada di dalam kuasanya.
Bibir
Deon melumat bibir Talitha, tetapi Talitha sama sekali tak membalas ciuman itu.
Talitha tak tahu bagaimana cara untuk membalasnya! Talitha juga tidak membuka
mulutnya sama sekali, tetapi hal itu tak bertahan lama karena tiba-tiba Deon
mulai menggigit kecil bibirnya. Oke, itu hanyalah gigitan kecil, tetapi karena
rasa perih di bibir Talitha—akibat ciuman sebelumnya—masih ada, gigitan kecil
itu pun terasa seperti sengatan.
Saat
Talitha membuka mulutnya, lidah Deon langsung masuk ke sana dan Talitha spontan
membuka matanya. Ia benar-benar masih belum terbiasa. Namun, semakin lama ciuman
Deon terasa semakin intens.
Entah
bagaimana ceritanya, di dalam ciuman itu tersirat sesuatu.
Perasaan
saling memiliki.
Ciuman
yang tak disangka-sangka bisa terjadi di antara mereka. Ini seperti berciuman
dengan…seseorang yang belum menjadi kekasihmu, tetapi di sisi lain,
mereka juga sadar bahwa mereka telah menjadi sepasang kekasih. Bagaimanapun
cara bertemu dan jadiannya, mereka tetaplah sepasang kekasih. Entah
sampai mana takdir akan membawa mereka.
Talitha
tak tahu mengapa, tetapi kakinya mendadak terasa bagai seonggok jelly. Tangannya
sedikit bergetar, tetapi Deon tak kunjung berhenti menciumnya. Pandangan matanya
bagai ditutupi oleh cairan balon.
Ia
sendiri bingung. Ia adalah cewek jomblo yang mesum, tetapi ia
tak pernah mengkhayalkan dirinya berciuman atau sebagainya.
Tanpa
ia sadari, Deon sudah menciumnya selama tiga menit. []
No comments:
Post a Comment