Bab
16 :
KEGADUHAN di
kelas benar-benar terasa menjengkelkan. Basuki beberapa kali menutup telinganya
dengan gaya kemayu yang selalu dia tunjukkan. Di setiap sudut,
semuanya berisik. Mana semuanya cowok pula!
Paling-paling...cuma lima mahasiswi yang ada di kelas itu.
Sudah
tahu tak ada dosen, mereka bukannya pulang, malah nongkrong-nongkrong di
kelas sambil bercerita. Biasa, cerita anak cowok. Mahasiswa di
kelas Talitha banyak yang macho, tetapi nggak
jelas semua kelakuannya.
Begitu
pula Talitha. Dia cewek, tetapi otaknya kurang waras. Dia sampai terkenal
seantero Fakultas Teknik lain. Dekat dengan Talitha dapat
menyebabkan perut mual dan mulas.
Ajaib
juga anak seperti Talitha bisa masuk Teknik Sipil. Soalnya, itu termasuk
jurusan yang membutuhkan otak encer. Yah, walaupun anak-anak
Teknik Sipil yang seangkatan Talitha itu sableng semua, mereka punya otak yang
encer. Ingat juga bahwa: mereka adalah anak-anak UI.
Biar
sableng begitu, Talitha diterima di UI dengan jalur tes kok!
"OI,
MANIS MANJAH! KOK BERISIK AMAT, SIH, LO PADA?! PULANG SANA WOI!" teriak
Basuki kencang. Suara laki-lakinya hampir saja keluar. Talitha ngakak setengah
mati saat semua orang menoleh pada Basuki sambil menyatukan alis.
"Lah,
biasanya juga lo yang berisik, Bencong!" teriak Rifsach di ujung ruangan.
"Iya
njir. Nih anak kurang asem banget. Mau gue anterin ke Polda nggak,
biar lo ditahan sama polisi? Lo agak bahaya soalnya. Kan lo
biasanya nangkring di pinggir jalan kalo malem," ujar Tommy. Ucapannya
mengundang tawa satu kelas.
Basuki
melempar bando yang ia pakai ke arah Tommy. "EH KAMBING!!! MAMPUS LO SANA!
YAKALI NANA NANGKRING DI PINGGIR JALAN?! KASIH GUE YANG ELIT DIKITLAH
TAI!"
Basuki
menatap Talitha, tetapi Talitha terrnyata justru tertawa keras (sangat keras,
melebihi teman-teman yang lain). Basuki kontan menjitak Talitha dengan kencang.
"Ketawa aja terus lo tai! Ketawa terus sampe mulut lo robek!!"
Talitha
memegangi perutnya yang berguncang karena tertawa. "Emang enaaaak?!! Boleh
juga, tuh, Bas! Yok, gue anterin ke Polda!" ajak Talitha. Hal
itu membuat Basuki spontan memukuli punggung Talitha habis-habisan.
"KURANG
AJAAAARRRRR!!!!!!!" teriak Basuki. Muka Basuki kayak nggak nunjukin
kalau dia lagi marah, padahal sebenarnya dia sangat marah. Tipe-tipe orang
humoris; walaupun lagi serius, orang-orang akan tetap menanggapinya dengan
tawa. Apa-apa jadi kelihatan lucu. Hal ini juga terjadi pada Talitha. Talitha,
sumber virus tak waras yang menjangkit Basuki.
Karena
lelah memukuli Talitha—dan sadar bahwa Talitha malah semakin tertawa—Basuki pun
terduduk di samping Talitha dan menghela napas.
"Emang stress kalian
nih. Mirip sempak Spider-Man," omel Basuki. "Si Kunyuk satu ini
juga stress. Apa guna lo sebagai temen, gue tanya?!!"
Talitha ngakak lagi.
"Lah, emangnya lo udah pernah liat sempak Spider-Man? Gimana perasaan lo
abis liat itu? Panas-dingin nggak badan lo?" tanya Talitha, membuat semua
orang di kelas langsung tertawa, apalagi isi kelas itu kebanyakan
cowok. Hancur sudah.
"Emang
ngak punya malu nih anak!!!" Basuki menempeleng Talitha. Talitha semakin
menjadi-jadi saja begonya.
"DIEM
GA LO, NYONG?" ancam Basuki kepada Talitha. Talitha memukul-mukul kursinya
sambil tertawa.
"Jual
golok, jual golok... Yang kesel, silakan beli golok... Gue jual, nih..."
kata Rifsach.
"WOI,
KAMBING GULING, DIEM GA LO?!" teriak Basuki kepada Rifsach. Semua orang
jadi tertawa. Basuki jadi cemberut.
Satu
menit berlalu...hingga akhirnya Talitha berhenti tertawa. Wajah gadis itu
memerah; dia nyaris menangis karena terlalu banyak tertawa, padahal sebenarnya,
dia baru mendapat masalah. Dua hari yang lalu, dia bermasalah dengan Deon.
Namun, dia tak mau memikirkannya lebih dalam karena sesungguhnya, dia sendiri
tak terlalu mengerti dengan Deon.
Dia
bukan gadis yang mudah terbawa perasaan; dia belum terlalu mengerti apa itu
cinta. Dia cuek dan tak ada manis-manisnya. Makanya, dia tak memikirkan itu
terlalu dalam meskipun ada rasa sakit hati pada Deon yang marah-marah sampai
memukuli Alfa—yang jelas-jelas tak bersalah—waktu itu. Talitha tahu kalau Deon
itu posesif bukan main, tetapi...
...yah,
entahlah.
Saat
sudah berhenti tertawa, Talitha menatap Basuki yang tiba-tiba mendekatkan
dirinya pada Talitha. Mata Basuki mendadak berbinar. "Eh, Ta, gimana kabar
Mas Deon Ganteng? Udah lama gue nggak liat Mamas Gantengku
itu! Ya Tuhaaaannnnnn!!!"
Basuki
mengelus-elus pipinya. Dia kesengsem banget kalau sedang membahas
pria tampan, terutama Deon.
Talitha
diam. Mendengar pertanyaan itu, Talitha...jadi malas menjawab. Nanti,
ujung-ujungnya...pertanyaan Basuki bercabang ke mana-mana. Talitha malas sekali
membahas masalah Deon karena jujur saja, Talitha sendiri pusing memikirkannya.
Halah, sudahlah!
Kok jadi ruwet begini, sih?
Talitha
mengedikkan bahu. "Nggak tau dah gue, Bas."
Talitha
malas memedulikan itu. Bukannya apa, dia masih tak habis pikir kapan permainan
Deon ini akan berakhir dan kapan Deon berhenti memporak-porandakan
hidupnya. Well, sebenarnya, Talitha merasa agak aneh tiap
ada di dekat Deon. Kadang jantungnya berdebar, kadang dia ikut sedih melihat
Deon, kadang dia kesal dengan Deon...tetapi dia belum bisa menentukan perasaan
apa yang sedang dia rasakan.
"Lah?"
ujar Basuki dengan mata membulat, tatapannya langsung serius. "Kenapa
lo—"
"Pulang,
yok," potong Talitha sambil cengar-cengir. "Eh, ntar sore lo ke rumah
gue aja, maen. Sambil beli es cendol di depan kompleks. Mau nggak?"
"MANTUL,
AYOK-AYOK!!" teriak Basuki. Talitha langsung tertawa sembari menarik
Basuki keluar dari kelas.
Akan
tetapi, pada akhirnya...mereka tidak pulang bersama-sama karena Basuki
tiba-tiba ditelepon ibunya.
******
"Bro, gue
pulang, ya?" ujar Alfa pada keempat temannya. Adlan menoleh pada Alfa dan
langsung mengernyitkan dahi.
"Ngapain
lo pulang sekarang? Masih ada matkul, 'kan, sejam lagi?" ujar Adlan. Vino
berdecak.
"Alfa
mah...diem-diem menghanyutkan," celetuk Vino dengan malas. Nathaniel
cekikikan.
"Jangan-jangan...lo
mau nganterin Ita, yaaaaa?" goda Gilang. Adlan tertawa. Gilang mah kompor
abis. Terong-terongan pasar.
Alfa
tertawa geli; dia menggeleng tak habis pikir. "Lo kok gitu banget astaga.
Jahat banget, sih."
Nathaniel
tertawa. Alfa berdecak sambil menahan tawa.
"Nath, please. Jangan
ikut ngetawain gue astaga. Lo biasanya nggak sefrontal Gilang, 'kan?" kata
Alfa keki.
"Ea
ea eaaaa..." Adlan ikut-ikutan meledek Alfa. Alfa jadi menggaruk keningnya
karena pusing sendiri. Cowok itu berkacak pinggang, menunduk, dan menghela
napas sembari menggeleng geli.
"Awas
aja, Fa. Jangan sampe lo dipukulin lagi sama calon suaminya itu. Kalo dia masih
mukulin lo, kayaknya kita mesti ikut campur," ujar
Nathaniel.
Alfa
terdiam. Cowok itu menghela napas samar dan tersenyum.
"Lain
kali, kalo ada apa-apa, lo jangan diem aja," kata Adlan. Gilang dan Vino
mengangguk setuju. Adlan pun melanjutkan, "dan plis, lawan
dia balik, Fa. Lagian, dia juga nggak perlakuin Ita dengan baik, ‘kan?"
Vino
mengedikkan bahu. "Kalo menurut gue, lo pantes sama Ita. Jadi, meskipun lo
dipukulin gitu…gue nggak bisa nyuruh lo buat nyerah."
Sesungguhnya,
sudut bibir dan tulang pipi Alfa masih memar. Itu mengundang pertanyaan semua
orang, terutama Alfa adalah Ketua BEM. Wajah memar-memar itu menunjukkan
bahwa dia habis berkelahi.
Alfa
menghela napas, kemudian dia tersenyum. "Gue nggak tau
mau bilang apa, tapi makasih, ya, buat dukungan kalian."
Tiba-tiba,
Alfa teringat sesuatu. "Eh, udah dulu, ya, ntar Ita keburu pulang. Gue
duluan, ya!" Alfa berlari meninggalkan teman-temannya yang nongkrong di
depan kelas. Keempat temannya langsung tertawa.
"ECIEEE! KECEPOSAN,
TUH, MAU NGATERIN ITA! WHAHAHA!! YUHUU!” Gilang menyoraki Alfa yang
sudah menjauh. Adlan tertawa, sementara Vino hanya menggeleng-geleng geli.
"Tuh
anak alim kalo jatuh cinta ternyata jadi so sweet gitu haha," komentar
Nathaniel. "Dia sampe tau kapan aja Talitha ga ada matkul atau nggak ada
dosen. Boleh juga."
"Alfa
mah cakep, ‘kan. Jadinya…aneh juga kalo dia nggak punya
pacar nantinya," ujar Adlan, membuat mereka semua tertawa.
By
the way, entah sejak kapan Nathaniel—penggemar bakso urat itu—jadi
suka meledek Alfa.
Di
sisi lain, Alfa kini sudah sampai ke depan gerbang kampus. Tidak
jauh dari sana, Alfa melihat Talitha yang baru saja berpisah dengan Basuki
sembari tertawa riang. Alfa tersenyum dan langsung menghampiri Talitha.
"Ita," panggil
Alfa ketika ia sudah sampai di dekat Talitha. Cowok itu tersenyum
manis meskipun sudut bibirnya masih luka. Talitha mengerjap begitu sadar bahwa
ada orang yang memanggilnya dari belakang.
Suaranya…seperti
suara Alfa.
Talitha
menoleh ke belakang dan matanya sedikit membulat. Ternyata, itu memang Alfa.
Namun, astaga. Sekarang, saat melihat wajah Alfa yang luka-luka, rasanya
Talitha malu sekali. Dia jelas ingat kalau Alfa luka-luka karena dipukuli Deon
dengan alasan: jalan berdua dengan Talitha. Talitha benar-benar merasa
bersalah.
Akan
tetapi, untuk mencairkan suasana…Talitha pun berusaha nyengir.
"Oh,
Kak Alfa toh. Udah baikan, Kak?" tanya Talitha.
Talitha menghindari perkataan maaf lagi karena ia tahu kalau itu akan membuat
Alfa mengingat kembali kejadian waktu itu. Masalahnya, Talitha kemarin sudah
berkali-kali meminta maaf kepada Alfa dan suasana berubah jadi tidak enak. Alfa
juga melarang Talitha untuk meminta maaf karena semua itu bukan salah Talitha.
Alfa
tersenyum manis. "Ya...lumayanlah, Ta. Ita mau pulang? Nggak ada
dosen, ya?"
Entah
mengapa, Talitha jadi ngakak. "Iya. Kok Kakak tau, sih? Hahahah!"
Alfa
tertawa kecil. "Iya. Si Tommy, temen kamu itu, kan nge-chat Kakak,
katanya dia nggak bisa hadir rapat BEM jam empat sore nanti.
Terus ya lanjut cerita, dia bilang kalo sekarang dia pulang karena nggak ada
dosen."
Talitha
mengangguk, mulutnya membentuk 'o'. "Oo…gitu."
"Pulang
sama Kakak aja, yuk?" ajak Alfa. Talitha jadi mengernyitkan dahi. Rasanya
agak...bagaimana...gitu, kalau pulang dengan Alfa. Soalnya, meskipun Talitha
tak tahu Deon serius atau tidak saat mengatakan 'Aku mencintaimu' padanya,
entah mengapa…Talitha tak ingin Deon berpikir bahwa dia berkhianat. Dia tak mau
Deon memfitnahnya lagi, apalagi Talitha juga masih merasa bersalah pada Alfa.
Talitha
menggaruk kepalanya dan cengar-cengir tak jelas. "Ah…hahaha,
kayaknya nggak usah, deh, Kak. Hohoho. Ita bisa pulang sendiri
kok."
Alfa
membulatkan matanya, agak heran. "Lho, kenapa? Bukannya Bang Gavin hari
ini nggak bisa jemput, Ta? Ini hari Senin, soalnya."
"Iya,
Kak, Bang Gavin nggak jemput. Makanya, Ita pulang sendirian aja, ya, oke? Kakak
juga masih luka gitu. Duluan, ya, Kak!" teriak Talitha. Gadis itu langsung
berbalik sembari melambaikan tangannya pada Alfa. Ia berlari, tetapi mendadak
berhenti tatkala melihat seseorang yang sedang berdiri dua meter di depannya.
Matanya
membelalak.
Itu...
Deon.
Alfa
juga tampak kaget saat melihat Deon yang baru saja sampai di sana; Deon berdiri
di sana seraya menatap Talitha dengan tajam.
Talitha
benar-benar tak mengerti. Mengapa ia merasa seperti ‘ketahuan selingkuh’?
Perlakuan Deon ini membuatnya jadi merasa begitu! Lagi pula, mengapa Deon ada
di sini?!
Dalam
waktu tiga detik, tatapan mata Deon yang tajam itu langsung beralih ke Alfa.
Tatapan itu setajam silet.
"Kamu
denger itu? Dia nggak mau pulang sama kamu. Berhenti ngedeketin
dia atau kamu babak belur lagi kayak waktu itu,” ujar Deon tajam.
Alfa mengernyitkan dahi.
Namun,
sesaat kemudian, Alfa mengepalkan tangannya.
Deon
mulai mendekati Talitha, lalu langsung menarik Talitha untuk ikut bersamanya. Mata
Talitha membelalak; tarikan Deon sangat kencang dan terkesan begitu memaksa.
"DEON! NGGAK
USAH NARIK-NARIK! DEON!!" teriak Talitha.
Namun,
beberapa detik kemudian, tubuh Talitha mematung. Gadis itu sadar bahwa
tangannya yang satu lagi ditahan oleh seseorang yang ada di belakangnya.
Talitha menoleh ke belakang dan jantungnya seperti mencelus ke perut begitu
melihat bahwa itu adalah Alfa.
Alfa
menahan tangan Talitha. Wajah seriusnya seolah-olah benar-benar mau menentang
Deon.
Deon,
yang tadinya ingin membawa Talitha masuk ke mobilnya, tiba-tiba terhenti. Matanya
membeliak. Sedetik kemudian, pria itu menutup matanya karena menahan amarah.
Dia sudah bisa menebak siapa yang tengah menahan langkah mereka.
Deon
membuka matanya; matanya langsung memelotot. Pria itu melihat melalui bahu
kirinya, dia menatap Alfa dengan keji.
"Apa
maksudmu?" tanya Deon tajam.
Alfa
menatap Deon dengan mata menyipit. Alfa memang mostly hanya diam, tetapi
bukan berarti selamanya akan seperti itu. Tak selamanya orang yang berhati
mulia seperti Alfa mau mengalah, apalagi Alfa tidak salah. Alfa tak ingin
Talitha terjebak dengan orang egois seperti Deon. Jujur saja, Deon adalah orang
pertama yang membuat Alfa benar-benar marah. Alfa tak menyukai sifat Deon
meskipun dia tahu bahwa Deon juga mencintai Talitha.
"Aku yang
bakal nganterin dia pulang. Jangan egois," ujar Alfa.
Mata
Deon semakin memelotot. Pria itu menggertakkan giginya, lalu satu detik
kemudian, dia melepaskan tangan Talitha. Dia langsung mendekati Alfa dengan
langkah cepat; dari punggungnya, dia tampak marah besar. Saat sudah sampai di
depan Alfa, dia menarik kerah baju Alfa dengan kencang.
Deon
memelototi Alfa. "JANGAN MAIN-MAIN KAMU! DIA ITU KEKASIHKU!!"
Alfa
melepas tangan Talitha dan balas mencengkeram kemeja kerja Deon. "Orang
yang cuma mentingin dirinya sendiri kayak kamu itu sama sekali nggak pantas
untuk Ita."
Deon
langsung meninju Alfa.
"KAMU
BAHKAN CUMA BISA NGEREBUT PUNYA ORANG LAIN! SIALAN!!" teriak Deon. Alfa meninju
Deon balik. Banyak orang di sana yang mulai menghampiri mereka. Orang-orang
juga tak menyangka bahwa yang berkelahi itu adalah Alfa dan Marco Deon yang
entah sejak kapan sudah ada di sana.
"BERHENTI!!
KAK ALFA!! DEON!!!" teriak Talitha.
Deon
langsung berbalik dan menarik Talitha lagi, sementara Talitha mulai
memberontak. Ia sudah sangat kesal. Deon sungguh egois. Saat ini, pria itu tak
tahu apa pun selain ‘mempertahankan apa yang sudah menjadi miliknya’. Ia tak memedulikan
perasaan orang lain.
Talitha
benar-benar ingin menampar Deon—terutama saat ini—karena Deon langsung mengempaskan
tubuh Talitha ke dalam mobil. Saat Deon—dengan ekspresi mengerikannya itu—
telah duduk di sebelah Talitha dan menyalakan mesin mobil, Talitha pun berteriak.
"AKU
UDAH NGGAK MAU LAGI KAYAK GINI, DEON!! LIAT, BENTAR LAGI KAMPUS BAKAL HEBOH.
KASIAN KAK ALFA!! DIA ITU ORANG YANG PENTING DI UNIVERSITAS!! APA-APAAN KAMU TADI,
HAH?!!!!"
Mobil
sudah berjalan dan Talitha masih berteriak, "AKU PUSING TAU NGGAK?! APA
LAGI, SIH, INI?!!"
Deon
mencengkeram roda kemudi hingga urat-urat di tangannya tercetak jelas.
Rahangnya mengetat. Matanya menatap ke depan dengan tajam, pikirannya
benar-benar tidak fokus mengemudi; dia lebih fokus kepada Talitha. Talitha
benar-benar membuatnya gila.
“DEON!!!”
“DIAM!!”
Mata
Talitha membulat. Gadis itu menggeleng, kemudian menggertakkan giginya. Rasa
marahnya semakin menjadi-jadi. "KAMU ITU YANG HARUSNYA JAGA SIKAP!!"
"DIA
YANG MANCING AKU!!! DIA YANG UDAH BERENCANA UNTUK NGAMBIL APA YANG KUPUNYA!!!
KAMU ITU MILIKKU, TALITHA, HANYA MILIKKU!!" teriak Deon.
Bersamaan dengan itu, Deon memberhentikan mobilnya di pinggir jalan secara
mendadak.
Tubuh
Talitha terdorong ke depan dan nyaris menghantam dashboard. Deon
benar-benar tak kenal ampun. Mata Talitha membulat; jantungnya hampir berhenti
berdegup. Namun, saat ini, dia tak memedulikan semua itu; dia langsung menatap
Deon dengan mata nyalang.
"YANG
KAMU TAU ITU CUMA KEPEMILIKAN! KALO KAYAK GINI TERUS, KAMU NGGAK AKAN PERNAH
BISA DAPETIN ORANG YANG TAHAN NGEHADAPIN KAMU!! KURANGIN SIFAT POSESIF KAMU ITU,
DEON, ATAU KAMU AKAN TERUS-MENERUS NGERASA KEHILANGAN!!!!" teriak Talitha.
Talitha tahu kalau…tak seharusnya dia mengatakan itu. Soalnya, itu akan membuat
Deon sangat marah karena terpukul. Akan tetapi, Talitha terlalu kesal. Kesabarannya
habis. Dia marah dan bingung harus melakukan apa lagi. Namun, menurutnya,
perkataannya itu benar. Deon tak boleh begini terus. Pria itu harus berubah.
Talitha
sudah siap jika Deon mau mengamuk.
Akan
tetapi, yang terjadi malah berbeda. Di luar ekspektasi
Talitha, Deon kini melepas pegangannya dari roda kemudi, lalu langsung meraih
leher Talitha dengan cepat.
Dia
mencium Talitha dengan kasar. Dia langsung memasukkan lidahnya ke mulut Talitha
dan menarik Talitha untuk semakin mendekat padanya. Talitha memukulinya dan
memberontak.
Talitha
tak bisa bernapas ataupun bergerak. Deon mengunci tubuhnya; ciuman pria itu sangat
menuntut. Sebelah tangan pria itu—yang bebas—mulai memeluk Talitha dengan erat.
Tangan
Talitha tertindih saat sedang memukul dada Deon sehingga gadis itu tak dapat
memukul Deon lagi. Namun, dia tetap berusaha untuk melepaskan diri.
Saat
ciuman itu terlepas, Talitha langsung ingin memukul Deon lagi, tetapi tangannya
ditahan oleh Deon. Deon menatap Talitha dengan penuh peringatan.
Beberapa
detik kemudian, Deon mulai menarik Talitha ke dalam pelukannya. Deon menunduk...
dan mencium leher Talitha.
Mata
Talitha membeliak.
Namun,
perlahan-lahan, mata gadis itu kembali seperti semula.
"Kamu
kenapa, hah?”
"Tolong…tetap
bersamaku, Talitha," ujar Deon. "Bantu aku untuk
jadi lebih baik…karena aku nggak main-main dengan perasaanku. Aku tau aku jauh
dari kata baik; aku tau aku nggak pantes buat kamu, tapi tolong…kasih aku
kesempatan untuk ada di sisi kamu.”
Talitha
hampir berhenti bernapas.
Deon...b—barusan—
Saat
itulah, Talitha tanpa sadar langsung memeluk Deon dengan erat.
Ke
mana semua rasa marah yang tadi Talitha rasakan? Mengapa Deon membuat dunianya
jungkir balik seperti ini?
Sudah
berkali-kali Deon menciumnya dan memeluknya, tetapi dia baru sadar...bahwa
pelukan Deon itu terasa sangat hangat dan nyaman. Dia juga sadar...bahwa Deon
bisa membuatnya merasakan perasaan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Deon
mampu membuatnya kesal, mampu membuatnya merasa sakit hati, dan mampu membuatnya
merasakan kehangatan.
******
"Halo?"
ujar Chintya begitu ia menempelkan ponselnya di telinga. Chintya baru saja
menutup pintu mobil; kini, dia mulai berjalan ke pintu masuk butik kenalannya.
"Aku
punya info lagi buat kamu, Chintya," ujar
seseorang di seberang sana.
"Apa?"
tanya Chintya. Chintya merogoh tasnya (untuk mencari dompet) saat sudah hampir sampai
di depan pintu kaca butik.
Chintya
masuk ke butik itu dan wangi bunga di sana sukses memanjakan penciuman Chintya.
Suasana butik yang tenang, musik klasik yang terdengar elegan...langsung
menyambutnya. Namun, ia masih mendengarkan informasi dari orang yang bertelepon
dengannya saat ini.
Tiba-tiba,
ada satu informasi dari orang itu yang membuat Chintya berhenti melangkah.
Wajah gadis itu menegang; matanya membelalak.
Mendadak…dia
tersenyum miring.
"Gavin
Aryadinata, ya...." katanya perlahan. "Selain itu, ada
anak magang bernama... Kanya Destianti…yang mendekatinya?"
"Iya,
Chintya," jawab orang itu.
Chintya
tersenyum penuh kemenangan.
Ternyata,
ada cara mudah untuk memisahkan Talitha dengan Deon.
******
Gavin
mendengkus saat sampai di depan sebuah diskotik yang
tersembunyi di Jakarta. Diskotik yang setahu Gavin sering
Revan datangi. Revan membawanya ke sini saat mereka baru saja selesai lembur di
kantor dan pulang jam tujuh malam.
"Tsk,"
decak Gavin. "Lo mau ngapain, sih, ke sini? Kalo cuma mau
ngambil jaket lo yang ketinggalan kayak waktu itu, gue tonjok lo."
Revan
tertawa terbahak-bahak. "Santai, Nyet. Udah, deh, lo ikut
aja. Sekalian refreshing di sini. Capek juga gue, akhir-akhir ini
lembur terus."
"Kalo
mau refreshing tuh jangan di sini, bego! Ini
mah berisik banget; gue makin pusing!" Gavin mulai sewot. Sementara itu, Revan
tertawa kencang.
"Halah, bentar doang
kok. Gue cuma mau nemuin Bianca di sini," ujar Revan.
Gavin
mendelik. "Eh, jangan maen-maen lo, Nyet! Gue bawa dokumen penting, nih! Lagian,
siapa lagi tuh Bianca? Cewek macem apa lagi yang lo pacarin?!"
Suara
musik di sana—yang sangat berisik itu—nyaris merusak pendengaran Gavin. Lampu
yang berwarna-warni seakan-akan menyambut kedatangan mereka. Bau parfum yang
menyengat di sana membuat Gavin semakin risi. Sialan, tempat macem apa
ini.
Sudah
berkali-kali dia dibawa Revan ke tempat seperti ini dan dia masih belum terbiasa.
Gila.
Si Playboy Revan memang sudah gila. Gavin nggak mau
ambil risiko. Bisa-bisa…Gavin jadi ikut minum, nih. Gavin
takut karena nanti…kalau ada apa-apa dengan dokumen yang ia bawa...dia
bisa mampus. Dia harus membuat ulang seluruh dokumen itu.
Gavin
menatap Revan yang berjalan di depannya dengan jengkel. Dia melihat orang-orang
yang sedang menari di dalam sana, menikmati musik seolah-olah
dunia milik mereka. Seolah-olah mereka tak peduli lagi dengan hari esok.
Gavin
memilih duduk di depan bar counter saat Revan mulai
menghampiri seorang perempuan seksi di ujung sana. Perempuan itu sedang duduk
di salah satu sofa merah.
Gila
tuh anak, komentar Gavin dalam hati. Sebenarnya,
banyak sekali cewek baik-baik yang tergila-gila dengan Revan. Namun,
Revan? Anak itu otaknya memang agak miring.
Saat
duduk di depan bar counter, Gavin mulai merasa lelah. Lehernya
pegal-pegal. Punggungnya bagai ditimpa batu berton-ton.
Capek,
asli.
"Ada
air putih?" tanya Gavin kepada sang bartender. Bartender itu
menggeleng.
"Nggak ada,
Mas."
Gavin
menghela napas. "Ya udah, wine spritzer aja."
Paling
nggak…yang ringan aja, deh. Gawat kalo mabuk.
Saat
segelas wine spritzer itu sampai di depannya, Gavin langsung meminumnya
sampai habis. Gila, rupanya dia haus juga. Ini…Revan sampai kapan mau berada di
diskotik ini?
Gavin
menoleh ke samping dan mengernyitkan dahi saat melihat ada seorang perempuan
yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Perempuan itu menunduk malu dengan
wajah yang memerah. Gavin membulatkan mata.
"Lah,
Kanya?" ujar Gavin, terkejut. "Kanya, ‘kan? Kamu ngapain di
sini?"
Kanya
hanya memegangi roknya—rok kerjanya—dengan gugup. Tangannya tampak sedikit
gemetar dan Gavin memperhatikan semua itu.
"Duduk dulu,"
saran Gavin.
Dengan
gugup, Kanya pun duduk di sebelah Gavin. Dia hampir jatuh karena terlalu malu.
Dia adalah tipe-tipe gadis polos yang sangat pemalu dan juga kaku. Gavin
menghela napas.
"Ada
apa? Kok kamu bisa ada di sini?" tanya Gavin pelan-pelan, tak mau Kanya
jadi takut. Kanya pun…tampak tak terbiasa berada di diskotik ini. Dia
terlihat tak nyaman.
Suara
musik membuat Gavin sulit mendengar Kanya saat gadis itu membuka suara,
"Sa—saya...saya cuma pengin sekali-kali datang ke diskotik, Pak Gavin.
Saya—saya...itu.."
"Kenapa?"
tanya Gavin. "Nggak seharusnya kamu punya pikiran kayak 'pengin pergi ke diskotik' gitu.
Ada apa?”
Namun,
Kanya tidak menjawab Gavin. Gavin malah dibuat kaget saat Kanya malah memesan
minuman ke bartender. "Mas, kasih saya whisky."
Gavin
langsung duduk tegap. "Eh eh eh, tunggu dulu! Kanya, kamu
serius? Itu minuman beralkohol, lho! Udah, sekarang, mendingan
kamu—"
"Kasih
saya, Mas," ujar Kanya. Dia meyakinkan bartender itu
(karena bartender itu sempat berhenti saat Gavin protes).
Gavin spontan menganga.
Wah,
apa cewek ini serius? Apa mungkin dia udah sering minum?
Minuman
itu pun sampai di depan Kanya. Kanya menatap minuman itu dengan tak yakin.
Gavin memperhatikan reaksi Kanya itu.
‘Wah,
ada yang nggak beres, nih,’ pikir Gavin. Tadinya, ia
sempat berprasangka bahwa perempuan yang menyatakan cinta padanya lewat surat
itu sudah sering minum minuman beralkohol. Namun, sekarang…ia yakin sekali
kalau ada yang tak beres. Gadis itu terlihat memaksakan
diri.
Gavin
mencegah Kanya saat gadis itu baru mau meminum whisky-nya. Gavin
memegang tangan Kanya; sentuhan Gavin yang tiba-tiba itu membuat Kanya
bergetar.
Saat
melihat Gavin yang menatapnya dengan serius, pipi Kanya pun memerah.
"Udah,
kamu boleh cerita sama saya. Jangan dipaksain minum," ujar
Gavin. Namun, Gavin lagi-lagi kaget saat Kanya langsung meminum whisky-nya
tanpa sempat Gavin cegah. Mata Gavin membulat. Kejadiannya sangat cepat; Gavin
bisa melihat Kanya yang mengerang setelah minuman itu masuk ke kerongkongannya.
Saat
sudah merasa baikan, Kanya menawarkan Gavin untuk mencicipi whisky-nya. Gavin
spontan menolak.
"Nggak,
nggak usah. Saya lagi nungguin Pak Revan. Saya nggak mau mabuk," ujar
Gavin pelan. Kanya menghela napas dan wajah gadis itu semakin memerah. Tanpa
Gavin sangka, Kanya memesan kembali minuman itu. Setelah menghabiskan dua
gelas, gadis itu jadi mabuk.
‘Astaga
nih anak, yang bener aja?’ pikir Gavin.
Lagi
pula, ini sudah dua puluh menit. Ke mana Revan? Sial.
"Pak
Gavin..." panggil Kanya tiba-tiba. Suaranya sudah
mendayu. Gavin menoleh kepadanya dan menyahut.
"Ya?"
"Ayo
minum, Pak..." ajak Kanya dengan nada genit. Sepertinya, itu karena dia
sedang mabuk. Gavin menghalangi Kanya dengan tangannya; pria itu menggeleng
sembari tersenyum. "Nggak, Kanya."
"Ayo,
dong… Ayo!" teriak Kanya. Teriakan gadis itu membuat banyak
orang menatap ke arah mereka berdua. Gavin jadi panik; dia kembali menatap
Kanya. Pria itu mendengkus dan berdecak frustrasi.
"Oke,
oke. Fine. Satu gelas aja. Jangan teriak, plis," ujar
Gavin dengan cepat. Mata Kanya berbinar. Gadis itu langsung memesankan segelas whisky
untuk Gavin. Setelah minuman itu sampai, Gavin mulai meminumnya beberapa
teguk.
"Lagi...
Lagi!!" teriak Kanya dengan polosnya. Gavin menganga.
"Kanya—"
"Lagi,
Pak… Ayo!" pinta Kanya. Gavin jadi keki sendiri. Gavin tak terbiasa
memarahi orang, kecuali Revan. Gavin juga nggak tegaan. Meskipun
dia cerewet, sebenarnya…dia terlalu baik. Gavin tak bisa memarahi Kanya,
apalagi Kanya itu perempuan. Ditambah lagi, Kanya sedang mabuk. Gavin akhirnya menuruti
Kanya dan meminum whisky itu sampai habis.
Setelah
menghabiskan minuman itu, Gavin langsung menoleh ke belakang dan mencari
keberadaan Revan.
Sial,
Van…kapan lo selesai?! Gawat juga kalo gini terus!
Gavin
kembali menoleh kepada Kanya. Gadis itu sedang menumpukan kepalanya di meja.
Namun, ada yang aneh.
Tiba-tiba
saja, mata Gavin berkunang-kunang.
Pria
itu membuka kacamatanya dan mengucek matanya sebanyak dua
kali, tetapi hasilnya tetap sama. Tubuhnya terasa panas. Kepalanya sakit.
Jangan
bilang…
Tidak,
dia tidak mabuk. Dia tidak selemah itu terhadap alkohol.
Ini
bukan karena mabuk. []






Kalo kayak gini keliatan kalem yak wkwk

Van, lo ke mana astagaaaaa

No comments:
Post a Comment