Friday, November 21, 2025

My Man (Bab 16)

 


******

Bab 16 :

 

KEGADUHAN di kelas benar-benar terasa menjengkelkan. Basuki beberapa kali menutup telinganya dengan gaya kemayu yang selalu dia tunjukkan. Di setiap sudut, semuanya berisik. Mana semuanya cowok pula! Paling-paling...cuma lima mahasiswi yang ada di kelas itu.

Sudah tahu tak ada dosen, mereka bukannya pulang, malah nongkrong-nongkrong di kelas sambil bercerita. Biasa, cerita anak cowok. Mahasiswa di kelas Talitha banyak yang macho, tetapi nggak jelas semua kelakuannya.

Begitu pula Talitha. Dia cewek, tetapi otaknya kurang waras. Dia sampai terkenal seantero Fakultas Teknik lain. Dekat dengan Talitha dapat menyebabkan perut mual dan mulas.

Ajaib juga anak seperti Talitha bisa masuk Teknik Sipil. Soalnya, itu termasuk jurusan yang membutuhkan otak encer. Yah, walaupun anak-anak Teknik Sipil yang seangkatan Talitha itu sableng semua, mereka punya otak yang encer. Ingat juga bahwa: mereka adalah anak-anak UI.

Biar sableng begitu, Talitha diterima di UI dengan jalur tes kok!

"OI, MANIS MANJAH! KOK BERISIK AMAT, SIH, LO PADA?! PULANG SANA WOI!" teriak Basuki kencang. Suara laki-lakinya hampir saja keluar. Talitha ngakak setengah mati saat semua orang menoleh pada Basuki sambil menyatukan alis.

"Lah, biasanya juga lo yang berisik, Bencong!" teriak Rifsach di ujung ruangan.

"Iya njir. Nih anak kurang asem banget. Mau gue anterin ke Polda nggak, biar lo ditahan sama polisi? Lo agak bahaya soalnya. Kan lo biasanya nangkring di pinggir jalan kalo malem," ujar Tommy. Ucapannya mengundang tawa satu kelas.

Basuki melempar bando yang ia pakai ke arah Tommy. "EH KAMBING!!! MAMPUS LO SANA! YAKALI NANA NANGKRING DI PINGGIR JALAN?! KASIH GUE YANG ELIT DIKITLAH TAI!"

Basuki menatap Talitha, tetapi Talitha terrnyata justru tertawa keras (sangat keras, melebihi teman-teman yang lain). Basuki kontan menjitak Talitha dengan kencang. "Ketawa aja terus lo tai! Ketawa terus sampe mulut lo robek!!"

Talitha memegangi perutnya yang berguncang karena tertawa. "Emang enaaaak?!! Boleh juga, tuh, Bas! Yok, gue anterin ke Polda!" ajak Talitha. Hal itu membuat Basuki spontan memukuli punggung Talitha habis-habisan.

"KURANG AJAAAARRRRR!!!!!!!" teriak Basuki. Muka Basuki kayak nggak nunjukin kalau dia lagi marah, padahal sebenarnya dia sangat marah. Tipe-tipe orang humoris; walaupun lagi serius, orang-orang akan tetap menanggapinya dengan tawa. Apa-apa jadi kelihatan lucu. Hal ini juga terjadi pada Talitha. Talitha, sumber virus tak waras yang menjangkit Basuki.

Karena lelah memukuli Talitha—dan sadar bahwa Talitha malah semakin tertawa—Basuki pun terduduk di samping Talitha dan menghela napas.

"Emang stress kalian nih. Mirip sempak Spider-Man," omel Basuki. "Si Kunyuk satu ini juga stress. Apa guna lo sebagai temen, gue tanya?!!"

Talitha ngakak lagi. "Lah, emangnya lo udah pernah liat sempak Spider-Man? Gimana perasaan lo abis liat itu? Panas-dingin nggak badan lo?" tanya Talitha, membuat semua orang di kelas langsung tertawa, apalagi isi kelas itu kebanyakan cowok. Hancur sudah.

"Emang ngak punya malu nih anak!!!" Basuki menempeleng Talitha. Talitha semakin menjadi-jadi saja begonya.

"DIEM GA LO, NYONG?" ancam Basuki kepada Talitha. Talitha memukul-mukul kursinya sambil tertawa.

"Jual golok, jual golok... Yang kesel, silakan beli golok... Gue jual, nih..." kata Rifsach.

"WOI, KAMBING GULING, DIEM GA LO?!" teriak Basuki kepada Rifsach. Semua orang jadi tertawa. Basuki jadi cemberut.

Satu menit berlalu...hingga akhirnya Talitha berhenti tertawa. Wajah gadis itu memerah; dia nyaris menangis karena terlalu banyak tertawa, padahal sebenarnya, dia baru mendapat masalah. Dua hari yang lalu, dia bermasalah dengan Deon. Namun, dia tak mau memikirkannya lebih dalam karena sesungguhnya, dia sendiri tak terlalu mengerti dengan Deon.

Dia bukan gadis yang mudah terbawa perasaan; dia belum terlalu mengerti apa itu cinta. Dia cuek dan tak ada manis-manisnya. Makanya, dia tak memikirkan itu terlalu dalam meskipun ada rasa sakit hati pada Deon yang marah-marah sampai memukuli Alfa—yang jelas-jelas tak bersalah—waktu itu. Talitha tahu kalau Deon itu posesif bukan main, tetapi...

 

...yah, entahlah.

 

Saat sudah berhenti tertawa, Talitha menatap Basuki yang tiba-tiba mendekatkan dirinya pada Talitha. Mata Basuki mendadak berbinar. "Eh, Ta, gimana kabar Mas Deon Ganteng? Udah lama gue nggak liat Mamas Gantengku itu! Ya Tuhaaaannnnnn!!!"

Basuki mengelus-elus pipinya. Dia kesengsem banget kalau sedang membahas pria tampan, terutama Deon.

Talitha diam. Mendengar pertanyaan itu, Talitha...jadi malas menjawab. Nanti, ujung-ujungnya...pertanyaan Basuki bercabang ke mana-mana. Talitha malas sekali membahas masalah Deon karena jujur saja, Talitha sendiri pusing memikirkannya.

Halah, sudahlah! Kok jadi ruwet begini, sih?

Talitha mengedikkan bahu. "Nggak tau dah gue, Bas."

Talitha malas memedulikan itu. Bukannya apa, dia masih tak habis pikir kapan permainan Deon ini akan berakhir dan kapan Deon berhenti memporak-porandakan hidupnya. Well, sebenarnya, Talitha merasa agak aneh tiap ada di dekat Deon. Kadang jantungnya berdebar, kadang dia ikut sedih melihat Deon, kadang dia kesal dengan Deon...tetapi dia belum bisa menentukan perasaan apa yang sedang dia rasakan.

"Lah?" ujar Basuki dengan mata membulat, tatapannya langsung serius. "Kenapa lo—"

"Pulang, yok," potong Talitha sambil cengar-cengir. "Eh, ntar sore lo ke rumah gue aja, maen. Sambil beli es cendol di depan kompleks. Mau nggak?"

"MANTUL, AYOK-AYOK!!" teriak Basuki. Talitha langsung tertawa sembari menarik Basuki keluar dari kelas.

Akan tetapi, pada akhirnya...mereka tidak pulang bersama-sama karena Basuki tiba-tiba ditelepon ibunya.

 

******

 

"Bro, gue pulang, ya?" ujar Alfa pada keempat temannya. Adlan menoleh pada Alfa dan langsung mengernyitkan dahi.

"Ngapain lo pulang sekarang? Masih ada matkul, 'kan, sejam lagi?" ujar Adlan. Vino berdecak.

"Alfa mah...diem-diem menghanyutkan," celetuk Vino dengan malas. Nathaniel cekikikan.

"Jangan-jangan...lo mau nganterin Ita, yaaaaa?" goda Gilang. Adlan tertawa. Gilang mah kompor abis. Terong-terongan pasar.

Alfa tertawa geli; dia menggeleng tak habis pikir. "Lo kok gitu banget astaga. Jahat banget, sih."

Nathaniel tertawa. Alfa berdecak sambil menahan tawa.

"Nath, please. Jangan ikut ngetawain gue astaga. Lo biasanya nggak sefrontal Gilang, 'kan?" kata Alfa keki.

"Ea ea eaaaa..." Adlan ikut-ikutan meledek Alfa. Alfa jadi menggaruk keningnya karena pusing sendiri. Cowok itu berkacak pinggang, menunduk, dan menghela napas sembari menggeleng geli.

"Awas aja, Fa. Jangan sampe lo dipukulin lagi sama calon suaminya itu. Kalo dia masih mukulin lo, kayaknya kita mesti ikut campur," ujar Nathaniel.

Alfa terdiam. Cowok itu menghela napas samar dan tersenyum.

"Lain kali, kalo ada apa-apa, lo jangan diem aja," kata Adlan. Gilang dan Vino mengangguk setuju. Adlan pun melanjutkan, "dan plis, lawan dia balik, Fa. Lagian, dia juga nggak perlakuin Ita dengan baik, ‘kan?"

Vino mengedikkan bahu. "Kalo menurut gue, lo pantes sama Ita. Jadi, meskipun lo dipukulin gitu…gue nggak bisa nyuruh lo buat nyerah."

Sesungguhnya, sudut bibir dan tulang pipi Alfa masih memar. Itu mengundang pertanyaan semua orang, terutama Alfa adalah Ketua BEM. Wajah memar-memar itu menunjukkan bahwa dia habis berkelahi.

Alfa menghela napas, kemudian dia tersenyum. "Gue nggak tau mau bilang apa, tapi makasih, ya, buat dukungan kalian."

Tiba-tiba, Alfa teringat sesuatu. "Eh, udah dulu, ya, ntar Ita keburu pulang. Gue duluan, ya!" Alfa berlari meninggalkan teman-temannya yang nongkrong di depan kelas. Keempat temannya langsung tertawa.

"ECIEEE! KECEPOSAN, TUH, MAU NGATERIN ITA! WHAHAHA!! YUHUU!” Gilang menyoraki Alfa yang sudah menjauh. Adlan tertawa, sementara Vino hanya menggeleng-geleng geli.

"Tuh anak alim kalo jatuh cinta ternyata jadi so sweet gitu haha," komentar Nathaniel. "Dia sampe tau kapan aja Talitha ga ada matkul atau nggak ada dosen. Boleh juga."

"Alfa mah cakep, ‘kan. Jadinya…aneh juga kalo dia nggak punya pacar nantinya," ujar Adlan, membuat mereka semua tertawa.

By the way, entah sejak kapan Nathaniel—penggemar bakso urat itu—jadi suka meledek Alfa.

Di sisi lain, Alfa kini sudah sampai ke depan gerbang kampus. Tidak jauh dari sana, Alfa melihat Talitha yang baru saja berpisah dengan Basuki sembari tertawa riang. Alfa tersenyum dan langsung menghampiri Talitha.

"Ita," panggil Alfa ketika ia sudah sampai di dekat Talitha. Cowok itu tersenyum manis meskipun sudut bibirnya masih luka. Talitha mengerjap begitu sadar bahwa ada orang yang memanggilnya dari belakang.

Suaranya…seperti suara Alfa.

Talitha menoleh ke belakang dan matanya sedikit membulat. Ternyata, itu memang Alfa. Namun, astaga. Sekarang, saat melihat wajah Alfa yang luka-luka, rasanya Talitha malu sekali. Dia jelas ingat kalau Alfa luka-luka karena dipukuli Deon dengan alasan: jalan berdua dengan Talitha. Talitha benar-benar merasa bersalah.

Akan tetapi, untuk mencairkan suasana…Talitha pun berusaha nyengir.

"Oh, Kak Alfa toh. Udah baikan, Kak?" tanya Talitha. Talitha menghindari perkataan maaf lagi karena ia tahu kalau itu akan membuat Alfa mengingat kembali kejadian waktu itu. Masalahnya, Talitha kemarin sudah berkali-kali meminta maaf kepada Alfa dan suasana berubah jadi tidak enak. Alfa juga melarang Talitha untuk meminta maaf karena semua itu bukan salah Talitha.

Alfa tersenyum manis. "Ya...lumayanlah, Ta. Ita mau pulang? Nggak ada dosen, ya?"

Entah mengapa, Talitha jadi ngakak. "Iya. Kok Kakak tau, sih? Hahahah!"

Alfa tertawa kecil. "Iya. Si Tommy, temen kamu itu, kan nge-chat Kakak, katanya dia nggak bisa hadir rapat BEM jam empat sore nanti. Terus ya lanjut cerita, dia bilang kalo sekarang dia pulang karena nggak ada dosen."

Talitha mengangguk, mulutnya membentuk 'o'. "Oo…gitu."

"Pulang sama Kakak aja, yuk?" ajak Alfa. Talitha jadi mengernyitkan dahi. Rasanya agak...bagaimana...gitu, kalau pulang dengan Alfa. Soalnya, meskipun Talitha tak tahu Deon serius atau tidak saat mengatakan 'Aku mencintaimu' padanya, entah mengapa…Talitha tak ingin Deon berpikir bahwa dia berkhianat. Dia tak mau Deon memfitnahnya lagi, apalagi Talitha juga masih merasa bersalah pada Alfa.

Talitha menggaruk kepalanya dan cengar-cengir tak jelas. "Ah…hahaha, kayaknya nggak usah, deh, Kak. Hohoho. Ita bisa pulang sendiri kok."

Alfa membulatkan matanya, agak heran. "Lho, kenapa? Bukannya Bang Gavin hari ini nggak bisa jemput, Ta? Ini hari Senin, soalnya."

"Iya, Kak, Bang Gavin nggak jemput. Makanya, Ita pulang sendirian aja, ya, oke? Kakak juga masih luka gitu. Duluan, ya, Kak!" teriak Talitha. Gadis itu langsung berbalik sembari melambaikan tangannya pada Alfa. Ia berlari, tetapi mendadak berhenti tatkala melihat seseorang yang sedang berdiri dua meter di depannya.

Matanya membelalak.

Itu...

 

Deon.

 

Alfa juga tampak kaget saat melihat Deon yang baru saja sampai di sana; Deon berdiri di sana seraya menatap Talitha dengan tajam.

Talitha benar-benar tak mengerti. Mengapa ia merasa seperti ‘ketahuan selingkuh’? Perlakuan Deon ini membuatnya jadi merasa begitu! Lagi pula, mengapa Deon ada di sini?!

Dalam waktu tiga detik, tatapan mata Deon yang tajam itu langsung beralih ke Alfa. Tatapan itu setajam silet.

"Kamu denger itu? Dia nggak mau pulang sama kamu. Berhenti ngedeketin dia atau kamu babak belur lagi kayak waktu itu,” ujar Deon tajam. Alfa mengernyitkan dahi.

Namun, sesaat kemudian, Alfa mengepalkan tangannya.

Deon mulai mendekati Talitha, lalu langsung menarik Talitha untuk ikut bersamanya. Mata Talitha membelalak; tarikan Deon sangat kencang dan terkesan begitu memaksa.

"DEON! NGGAK USAH NARIK-NARIK! DEON!!" teriak Talitha.

Namun, beberapa detik kemudian, tubuh Talitha mematung. Gadis itu sadar bahwa tangannya yang satu lagi ditahan oleh seseorang yang ada di belakangnya. Talitha menoleh ke belakang dan jantungnya seperti mencelus ke perut begitu melihat bahwa itu adalah Alfa.

Alfa menahan tangan Talitha. Wajah seriusnya seolah-olah benar-benar mau menentang Deon.

Deon, yang tadinya ingin membawa Talitha masuk ke mobilnya, tiba-tiba terhenti. Matanya membeliak. Sedetik kemudian, pria itu menutup matanya karena menahan amarah. Dia sudah bisa menebak siapa yang tengah menahan langkah mereka.

Deon membuka matanya; matanya langsung memelotot. Pria itu melihat melalui bahu kirinya, dia menatap Alfa dengan keji.

"Apa maksudmu?" tanya Deon tajam.

Alfa menatap Deon dengan mata menyipit. Alfa memang mostly hanya diam, tetapi bukan berarti selamanya akan seperti itu. Tak selamanya orang yang berhati mulia seperti Alfa mau mengalah, apalagi Alfa tidak salah. Alfa tak ingin Talitha terjebak dengan orang egois seperti Deon. Jujur saja, Deon adalah orang pertama yang membuat Alfa benar-benar marah. Alfa tak menyukai sifat Deon meskipun dia tahu bahwa Deon juga mencintai Talitha.

"Aku yang bakal nganterin dia pulang. Jangan egois," ujar Alfa.

Mata Deon semakin memelotot. Pria itu menggertakkan giginya, lalu satu detik kemudian, dia melepaskan tangan Talitha. Dia langsung mendekati Alfa dengan langkah cepat; dari punggungnya, dia tampak marah besar. Saat sudah sampai di depan Alfa, dia menarik kerah baju Alfa dengan kencang.

Deon memelototi Alfa. "JANGAN MAIN-MAIN KAMU! DIA ITU KEKASIHKU!!"

Alfa melepas tangan Talitha dan balas mencengkeram kemeja kerja Deon. "Orang yang cuma mentingin dirinya sendiri kayak kamu itu sama sekali nggak pantas untuk Ita."

Deon langsung meninju Alfa.

"KAMU BAHKAN CUMA BISA NGEREBUT PUNYA ORANG LAIN! SIALAN!!" teriak Deon. Alfa meninju Deon balik. Banyak orang di sana yang mulai menghampiri mereka. Orang-orang juga tak menyangka bahwa yang berkelahi itu adalah Alfa dan Marco Deon yang entah sejak kapan sudah ada di sana.

"BERHENTI!! KAK ALFA!! DEON!!!" teriak Talitha.

Deon langsung berbalik dan menarik Talitha lagi, sementara Talitha mulai memberontak. Ia sudah sangat kesal. Deon sungguh egois. Saat ini, pria itu tak tahu apa pun selain ‘mempertahankan apa yang sudah menjadi miliknya’. Ia tak memedulikan perasaan orang lain.

Talitha benar-benar ingin menampar Deon—terutama saat ini—karena Deon langsung mengempaskan tubuh Talitha ke dalam mobil. Saat Deon—dengan ekspresi mengerikannya itu— telah duduk di sebelah Talitha dan menyalakan mesin mobil, Talitha pun berteriak.

"AKU UDAH NGGAK MAU LAGI KAYAK GINI, DEON!! LIAT, BENTAR LAGI KAMPUS BAKAL HEBOH. KASIAN KAK ALFA!! DIA ITU ORANG YANG PENTING DI UNIVERSITAS!! APA-APAAN KAMU TADI, HAH?!!!!"

Mobil sudah berjalan dan Talitha masih berteriak, "AKU PUSING TAU NGGAK?! APA LAGI, SIH, INI?!!"

Deon mencengkeram roda kemudi hingga urat-urat di tangannya tercetak jelas. Rahangnya mengetat. Matanya menatap ke depan dengan tajam, pikirannya benar-benar tidak fokus mengemudi; dia lebih fokus kepada Talitha. Talitha benar-benar membuatnya gila.

“DEON!!!”

“DIAM!!”

Mata Talitha membulat. Gadis itu menggeleng, kemudian menggertakkan giginya. Rasa marahnya semakin menjadi-jadi. "KAMU ITU YANG HARUSNYA JAGA SIKAP!!"

"DIA YANG MANCING AKU!!! DIA YANG UDAH BERENCANA UNTUK NGAMBIL APA YANG KUPUNYA!!! KAMU ITU MILIKKU, TALITHA, HANYA MILIKKU!!" teriak Deon. Bersamaan dengan itu, Deon memberhentikan mobilnya di pinggir jalan secara mendadak.

Tubuh Talitha terdorong ke depan dan nyaris menghantam dashboard. Deon benar-benar tak kenal ampun. Mata Talitha membulat; jantungnya hampir berhenti berdegup. Namun, saat ini, dia tak memedulikan semua itu; dia langsung menatap Deon dengan mata nyalang.

"YANG KAMU TAU ITU CUMA KEPEMILIKAN! KALO KAYAK GINI TERUS, KAMU NGGAK AKAN PERNAH BISA DAPETIN ORANG YANG TAHAN NGEHADAPIN KAMU!! KURANGIN SIFAT POSESIF KAMU ITU, DEON, ATAU KAMU AKAN TERUS-MENERUS NGERASA KEHILANGAN!!!!" teriak Talitha. Talitha tahu kalau…tak seharusnya dia mengatakan itu. Soalnya, itu akan membuat Deon sangat marah karena terpukul. Akan tetapi, Talitha terlalu kesal. Kesabarannya habis. Dia marah dan bingung harus melakukan apa lagi. Namun, menurutnya, perkataannya itu benar. Deon tak boleh begini terus. Pria itu harus berubah.

Talitha sudah siap jika Deon mau mengamuk.

Akan tetapi, yang terjadi malah berbeda. Di luar ekspektasi Talitha, Deon kini melepas pegangannya dari roda kemudi, lalu langsung meraih leher Talitha dengan cepat.

Dia mencium Talitha dengan kasar. Dia langsung memasukkan lidahnya ke mulut Talitha dan menarik Talitha untuk semakin mendekat padanya. Talitha memukulinya dan memberontak.

Talitha tak bisa bernapas ataupun bergerak. Deon mengunci tubuhnya; ciuman pria itu sangat menuntut. Sebelah tangan pria itu—yang bebas—mulai memeluk Talitha dengan erat.

Tangan Talitha tertindih saat sedang memukul dada Deon sehingga gadis itu tak dapat memukul Deon lagi. Namun, dia tetap berusaha untuk melepaskan diri.

Saat ciuman itu terlepas, Talitha langsung ingin memukul Deon lagi, tetapi tangannya ditahan oleh Deon. Deon menatap Talitha dengan penuh peringatan.

Beberapa detik kemudian, Deon mulai menarik Talitha ke dalam pelukannya. Deon menunduk... dan mencium leher Talitha.

Mata Talitha membeliak.

Namun, perlahan-lahan, mata gadis itu kembali seperti semula.

"Kamu kenapa, hah?”

"Tolong…tetap bersamaku, Talitha," ujar Deon. "Bantu aku untuk jadi lebih baik…karena aku nggak main-main dengan perasaanku. Aku tau aku jauh dari kata baik; aku tau aku nggak pantes buat kamu, tapi tolong…kasih aku kesempatan untuk ada di sisi kamu.”

Talitha hampir berhenti bernapas.

 

Deon...b—barusan—

 

Saat itulah, Talitha tanpa sadar langsung memeluk Deon dengan erat.

Ke mana semua rasa marah yang tadi Talitha rasakan? Mengapa Deon membuat dunianya jungkir balik seperti ini?

Sudah berkali-kali Deon menciumnya dan memeluknya, tetapi dia baru sadar...bahwa pelukan Deon itu terasa sangat hangat dan nyaman. Dia juga sadar...bahwa Deon bisa membuatnya merasakan perasaan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Deon mampu membuatnya kesal, mampu membuatnya merasa sakit hati, dan mampu membuatnya merasakan kehangatan.

 

******

 

"Halo?" ujar Chintya begitu ia menempelkan ponselnya di telinga. Chintya baru saja menutup pintu mobil; kini, dia mulai berjalan ke pintu masuk butik kenalannya.

"Aku punya info lagi buat kamu, Chintya," ujar seseorang di seberang sana.

"Apa?" tanya Chintya. Chintya merogoh tasnya (untuk mencari dompet) saat sudah hampir sampai di depan pintu kaca butik.

Chintya masuk ke butik itu dan wangi bunga di sana sukses memanjakan penciuman Chintya. Suasana butik yang tenang, musik klasik yang terdengar elegan...langsung menyambutnya. Namun, ia masih mendengarkan informasi dari orang yang bertelepon dengannya saat ini.

Tiba-tiba, ada satu informasi dari orang itu yang membuat Chintya berhenti melangkah. Wajah gadis itu menegang; matanya membelalak.

Mendadak…dia tersenyum miring.

"Gavin Aryadinata, ya...." katanya perlahan. "Selain itu, ada anak magang bernama... Kanya Destianti…yang mendekatinya?"

"Iya, Chintya," jawab orang itu.

Chintya tersenyum penuh kemenangan.

 

Ternyata, ada cara mudah untuk memisahkan Talitha dengan Deon.

 

******

 

Gavin mendengkus saat sampai di depan sebuah diskotik yang tersembunyi di Jakarta. Diskotik yang setahu Gavin sering Revan datangi. Revan membawanya ke sini saat mereka baru saja selesai lembur di kantor dan pulang jam tujuh malam.

"Tsk," decak Gavin. "Lo mau ngapain, sih, ke sini? Kalo cuma mau ngambil jaket lo yang ketinggalan kayak waktu itu, gue tonjok lo."

Revan tertawa terbahak-bahak. "Santai, Nyet. Udah, deh, lo ikut aja. Sekalian refreshing di sini. Capek juga gue, akhir-akhir ini lembur terus."

"Kalo mau refreshing tuh jangan di sini, bego! Ini mah berisik banget; gue makin pusing!" Gavin mulai sewot. Sementara itu, Revan tertawa kencang.

"Halah, bentar doang kok. Gue cuma mau nemuin Bianca di sini," ujar Revan.

Gavin mendelik. "Eh, jangan maen-maen lo, Nyet! Gue bawa dokumen penting, nih! Lagian, siapa lagi tuh Bianca? Cewek macem apa lagi yang lo pacarin?!"

Suara musik di sana—yang sangat berisik itu—nyaris merusak pendengaran Gavin. Lampu yang berwarna-warni seakan-akan menyambut kedatangan mereka. Bau parfum yang menyengat di sana membuat Gavin semakin risi. Sialan, tempat macem apa ini.

Sudah berkali-kali dia dibawa Revan ke tempat seperti ini dan dia masih belum terbiasa.

Gila. Si Playboy Revan memang sudah gila. Gavin nggak mau ambil risiko. Bisa-bisa…Gavin jadi ikut minum, nih. Gavin takut karena nanti…kalau ada apa-apa dengan dokumen yang ia bawa...dia bisa mampus. Dia harus membuat ulang seluruh dokumen itu.

Gavin menatap Revan yang berjalan di depannya dengan jengkel. Dia melihat orang-orang yang sedang menari di dalam sana, menikmati musik seolah-olah dunia milik mereka. Seolah-olah mereka tak peduli lagi dengan hari esok.

Gavin memilih duduk di depan bar counter saat Revan mulai menghampiri seorang perempuan seksi di ujung sana. Perempuan itu sedang duduk di salah satu sofa merah.

Gila tuh anak, komentar Gavin dalam hati. Sebenarnya, banyak sekali cewek baik-baik yang tergila-gila dengan Revan. Namun, Revan? Anak itu otaknya memang agak miring.

Saat duduk di depan bar counter, Gavin mulai merasa lelah. Lehernya pegal-pegal. Punggungnya bagai ditimpa batu berton-ton.

Capek, asli.

"Ada air putih?" tanya Gavin kepada sang bartender. Bartender itu menggeleng.

"Nggak ada, Mas."

Gavin menghela napas. "Ya udah, wine spritzer aja."

 

Paling nggak…yang ringan aja, deh. Gawat kalo mabuk.

 

Saat segelas wine spritzer itu sampai di depannya, Gavin langsung meminumnya sampai habis. Gila, rupanya dia haus juga. Ini…Revan sampai kapan mau berada di diskotik ini?

Gavin menoleh ke samping dan mengernyitkan dahi saat melihat ada seorang perempuan yang tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Perempuan itu menunduk malu dengan wajah yang memerah. Gavin membulatkan mata.

"Lah, Kanya?" ujar Gavin, terkejut. "Kanya, ‘kan? Kamu ngapain di sini?"

Kanya hanya memegangi roknya—rok kerjanya—dengan gugup. Tangannya tampak sedikit gemetar dan Gavin memperhatikan semua itu.

"Duduk dulu," saran Gavin.

Dengan gugup, Kanya pun duduk di sebelah Gavin. Dia hampir jatuh karena terlalu malu. Dia adalah tipe-tipe gadis polos yang sangat pemalu dan juga kaku. Gavin menghela napas.

"Ada apa? Kok kamu bisa ada di sini?" tanya Gavin pelan-pelan, tak mau Kanya jadi takut. Kanya pun…tampak tak terbiasa berada di diskotik ini. Dia terlihat tak nyaman.

Suara musik membuat Gavin sulit mendengar Kanya saat gadis itu membuka suara, "Sa—saya...saya cuma pengin sekali-kali datang ke diskotik, Pak Gavin. Saya—saya...itu.."

"Kenapa?" tanya Gavin. "Nggak seharusnya kamu punya pikiran kayak 'pengin pergi ke diskotik' gitu. Ada apa?”

Namun, Kanya tidak menjawab Gavin. Gavin malah dibuat kaget saat Kanya malah memesan minuman ke bartender. "Mas, kasih saya whisky."

Gavin langsung duduk tegap. "Eh eh eh, tunggu dulu! Kanya, kamu serius? Itu minuman beralkohol, lho! Udah, sekarang, mendingan kamu—"

"Kasih saya, Mas," ujar Kanya. Dia meyakinkan bartender itu (karena bartender itu sempat berhenti saat Gavin protes). Gavin spontan menganga.

 

Wah, apa cewek ini serius? Apa mungkin dia udah sering minum?

 

Minuman itu pun sampai di depan Kanya. Kanya menatap minuman itu dengan tak yakin. Gavin memperhatikan reaksi Kanya itu.

‘Wah, ada yang nggak beres, nih,’ pikir Gavin. Tadinya, ia sempat berprasangka bahwa perempuan yang menyatakan cinta padanya lewat surat itu sudah sering minum minuman beralkohol. Namun, sekarang…ia yakin sekali kalau ada yang tak beres. Gadis itu terlihat memaksakan diri.

Gavin mencegah Kanya saat gadis itu baru mau meminum whisky-nya. Gavin memegang tangan Kanya; sentuhan Gavin yang tiba-tiba itu membuat Kanya bergetar.

Saat melihat Gavin yang menatapnya dengan serius, pipi Kanya pun memerah.

"Udah, kamu boleh cerita sama saya. Jangan dipaksain minum," ujar Gavin. Namun, Gavin lagi-lagi kaget saat Kanya langsung meminum whisky-nya tanpa sempat Gavin cegah. Mata Gavin membulat. Kejadiannya sangat cepat; Gavin bisa melihat Kanya yang mengerang setelah minuman itu masuk ke kerongkongannya.

Saat sudah merasa baikan, Kanya menawarkan Gavin untuk mencicipi whisky-nya. Gavin spontan menolak.

"Nggak, nggak usah. Saya lagi nungguin Pak Revan. Saya nggak mau mabuk," ujar Gavin pelan. Kanya menghela napas dan wajah gadis itu semakin memerah. Tanpa Gavin sangka, Kanya memesan kembali minuman itu. Setelah menghabiskan dua gelas, gadis itu jadi mabuk.

‘Astaga nih anak, yang bener aja?’ pikir Gavin.

Lagi pula, ini sudah dua puluh menit. Ke mana Revan? Sial.

"Pak Gavin..." panggil Kanya tiba-tiba. Suaranya sudah mendayu. Gavin menoleh kepadanya dan menyahut.

"Ya?"

"Ayo minum, Pak..." ajak Kanya dengan nada genit. Sepertinya, itu karena dia sedang mabuk. Gavin menghalangi Kanya dengan tangannya; pria itu menggeleng sembari tersenyum. "Nggak, Kanya."

"Ayo, dong… Ayo!" teriak Kanya. Teriakan gadis itu membuat banyak orang menatap ke arah mereka berdua. Gavin jadi panik; dia kembali menatap Kanya. Pria itu mendengkus dan berdecak frustrasi.

"Oke, oke. Fine. Satu gelas aja. Jangan teriak, plis," ujar Gavin dengan cepat. Mata Kanya berbinar. Gadis itu langsung memesankan segelas whisky untuk Gavin. Setelah minuman itu sampai, Gavin mulai meminumnya beberapa teguk.

"Lagi... Lagi!!" teriak Kanya dengan polosnya. Gavin menganga.

"Kanya—"

"Lagi, Pak… Ayo!" pinta Kanya. Gavin jadi keki sendiri. Gavin tak terbiasa memarahi orang, kecuali Revan. Gavin juga nggak tegaan. Meskipun dia cerewet, sebenarnya…dia terlalu baik. Gavin tak bisa memarahi Kanya, apalagi Kanya itu perempuan. Ditambah lagi, Kanya sedang mabuk. Gavin akhirnya menuruti Kanya dan meminum whisky itu sampai habis.

Setelah menghabiskan minuman itu, Gavin langsung menoleh ke belakang dan mencari keberadaan Revan.

 

Sial, Van…kapan lo selesai?! Gawat juga kalo gini terus!

 

Gavin kembali menoleh kepada Kanya. Gadis itu sedang menumpukan kepalanya di meja. Namun, ada yang aneh.

Tiba-tiba saja, mata Gavin berkunang-kunang.

Pria itu membuka kacamatanya dan mengucek matanya sebanyak dua kali, tetapi hasilnya tetap sama. Tubuhnya terasa panas. Kepalanya sakit.

Jangan bilang…

Tidak, dia tidak mabuk. Dia tidak selemah itu terhadap alkohol.

Ini bukan karena mabuk. []

 














******







Kalo kayak gini keliatan kalem yak wkwk




Van, lo ke mana astagaaaaa






No comments:

Post a Comment

She Was Never Mine (Bab 4: Segalanya Untuknya)

  ****** Bab 4 : Segalanya Untuknya   ******   LANTUNAN lagu di radio terdengar begitu merdu saat Josh baru saja memberhentikan mo...