Chapter 18 :
What
Do You Want?
******
Author:
PAGI
INI, Violette dan
Justin mengantar Nathan pulang. Nathan duduk di jok penumpang depan, sementara Violette
duduk di belakang.
Setelah sampai di rumah Nathan, Violette
memegang lengan Nathan dengan erat. Dibawanya Nathan masuk ke kamar. Saat
melewati ruang tamu…hingga ke kamar, Nathan dan Violette sadar kalau sekarang
di setiap sudut rumah itu sudah ada CCTV. Di sisi kiri halaman juga sudah ada
sebuah pos; ada penjaga di dalam pos itu. Rumah ini jadi memiliki keamanan yang
maksimal. Violette menatap Nathan dengan sendu; dia harus berterima kasih
banyak kepada Justin serta Paman dan Bibi Locardo.
Nathan kini sudah duduk di tepi
ranjang dan Violette berlutut di depannya. Justin berdiri di belakang Violette.
Violette meraih tangan Nathan dan meremasnya dengan lembut. Violette menahan
air matanya agar tidak tumpah. "Jaga dirimu, ya, Paman."
Nathan mengacak rambut Violette.
"Baiklah. Maafkan aku karena sudah membuatmu khawatir, ya. Kau juga harus
menjaga dirimu. Kau seperti anak kecil, soalnya."
"Kalau sampai terjadi sesuatu
lagi padamu, aku akan mengomelimu dua hari dua malam. Kau dengar itu?!" ancam
Violette (dengan bercanda).
Nathan tertawa kecil.
Justin tersenyum. "Please
take care, Uncle."
Nathan langsung menoleh kepada
Justin. Pria paruh baya itu ikut tersenyum.
"Ternyata, kau benar-benar
tumbuh jadi sangat memesona,” puji Nathan. "Terakhir kali…saat Violette
menunjukkan fotomu padaku, kau terlihat masih muda. Mungkin…itu foto lama saat
kalian masih berada di Red Lion."
Violette menunduk, diam-diam dia
cekikikan sendiri.
"Um...apa yang harus
kujawab?" tanya Justin, dahinya berkerut samar. Dia sungguhan tak
tahu harus merespons bagaimana. Melihat reaksi Justin itu, Nathan langsung
tertawa terbahak-bahak. Violette kaget tatkala mendapati ekspresi Justin yang sangat
menggemaskan saat itu. Astaga, dia mengerti soal bisnis berskala gigantic-nya,
soal ‘kegiatan’ dan ‘strategi’ Red Lion, tetapi dia tak paham bagaimana cara
menjawab pujian Nathan?
Ada-ada saja.
"Hahaha! Mengapa kau jadi
bingung? Jawab sebisamu saja. Kau sudah kuanggap sebagai menantuku. Yah…kau
tahu kalau orangtua Violette sudah tiada," ujar Nathan.
Violette tersenyum.
"Ya. Aku juga menganggapmu
sebagai mertuaku. Kau luar biasa." Justin tersenyum.
Nathan mengangguk, lalu kembali
menatap Violette. Dia mengusap pundak gadis itu.
"Pulanglah. Kalian harus
beristirahat."
Violette menghela napas. Ia pun
tersenyum lembut kepada Nathan.
"Selalu berhati-hati, ya,
Paman. Aku pulang dulu… Aku akan sering-sering melihatmu ke sini."
Violette mencium punggung tangan Nathan, lalu ia berdiri. Sekarang, gantian
Justin yang mencium punggung tangan Nathan. Nathan menepuk pundak Justin dan
Justin tersenyum kepadanya.
Akhirnya, Justin dan Violette pulang
ke mansion mereka.
******
Justin naik ke permukaan kolam, memunculkan
kepala hingga dadanya dengan santai. Dia lalu mengusap rambutnya ke belakang.
Setelah mengusap rambutnya, Justin mengusap
wajah…dan dada bidangnya. Ia menghela napas pelan.
Berat baginya untuk menerima kenyataan
bahwa ia masih bisa membunuh seseorang.
Namun, tidak ada jalan lain. Nathan
dan Violette terancam. Dia juga murka pada Elika dan Welton.
Mungkin, berendam sebentar akan
sedikit menenangkan pikirannya.
Justin mendongak. Tetesan air jatuh
melewati rahangnya…lalu meluncur ke lehernya. Ia memejamkan mata, sampai
akhirnya ia sadar satu hal.
Ada sepasang mata berwarna biru di
ujung sana yang tengah memperhatikannya.
Justin menoleh. Matanya langsung menyipit
tatkala menatap Violette.
Istrinya itu sudah memakai pakaian
yang lebih nyaman. Dia agak kaget ketika Justin memergokinya, tetapi di
sisi lain, dia tahu kalau mungkin saja, Justin berendam untuk mendinginkan
kepalanya.
"Sampai kapan kau akan berdiri
di sana dan memandangiku?" tanya Justin seraya mengangkat sebelah alisnya.
Violette tersentak; ia tampak kebingungan. Tak tahu harus marah atau pengertian
pada Justin.
"Kemari," perintah
Justin. Violette diam sebentar dan meneguk ludahnya. Setelah itu, dia langsung
berjalan mendekati Justin.
Kini, ia sudah berdiri di belakang
Justin yang sedang bersandar di pinggir kolam.
Sesaat kemudian, Violette membuka
pembicaraan, "Kau baik-baik saja? Kepala dan lenganmu masih sakit?"
Justin menghela napas pelan.
"Aku sudah membuka perbannya."
Violette mengangguk meskipun ia
tahu Justin tak bisa melihatnya. "Umm…Just—"
"Kau yakin akan terus
berbicara di sana? Apa kau tak ingin masuk ke sini dan berbicara di
dekatku?"
Violette terperanjat. Tidak! Justin
terlihat seksi sekali dan Violette tak mau ambil risiko.
"Tidak usah, Justin,"
jawab Violette. Dia mulai berjalan pelan ke dekat Justin dan berdiri di
pinggiran kolam (tetapi tidak masuk). "Aku tidak memakai pakaian yang
nyaman untuk berenang."
Namun, satu detik kemudian,
Violette terkesiap. Matanya membeliak…dan jantungnya nyaris berhenti berdegup ketika
Justin tiba-tiba menariknya ke kolam.
Argh, sial.
Violette baru saja mengganti
pakaiannya setelah pulang dari mengantar Nathan tadi. Mulut Violette membulat—membentuk
'O'—dan matanya masih membeliak, sementara tangan Justin memeluk pinggulnya.
Violette menggertakkan giginya.
"AKU BARU GANTI BAJU, JUSTIN!!!"
Justin hanya memiringkan kepalanya. "Lalu?"
Violette menganga. What?! Respon
macam apa itu?!
"Dasar gila!" teriak
Violette.
Justin hanya diam.
Yah, melelahkan sekali kalau kau bersikap
cerewet pada orang seperti Justin.
"Kau baik-baik saja?" tanya
Violette. Dia boleh ngambek, tetapi mulutnya tetap saja tak bisa diam.
Dia tak tahan kalau berada dalam suasana yang canggung dan hening seperti itu.
"Hm." Justin berdeham
singkat.
Violette memutar bola matanya,
kesal dengan jawaban singkat Justin. Namun, sesaat kemudian, Justin membuka
suara lagi.
"Elika meninggal."
Saat itu juga, mata Violette
membulat. Elika meninggal? Kapan?
Wajah Violette menegang.
"Justin—"
"Tadi pagi, aku diberitahu
oleh kepolisian yang menjaga Elika di rumah sakit. Well, polisi tidak
tahu sama sekali tentang Red Lion karena Welton dan Elika memang tidak pernah dan
belum sempat memberitahu mereka. Alasannya adalah…karena tidak mau kita berdua—terutama
kau—terbunuh lebih dahulu di tangan para polisi itu. Sebelum mobilnya kuambil
alih, Elika sempat mau menelepon polisi untuk memberitahukannya, tetapi aku
sempat mencegahnya."
Violette masih menyimak Justin
dengan fokus.
Justin pun melanjutkan, "Aku
memilih Sher untuk menggantikan posisi Elika sebagai manajer R&D. Assistant-ku
berkurang satu dan…bisa saja pekerjaanmu sebagai executive assistant...jadi
lebih banyak. Aku tak akan membiarkanmu mengisi posisi manajer, sebab kau
terlalu bodoh."
WHAT? APA DIA BILANG?!
Oke, oke. Cukup dengan semua itu.
Violette langsung memutar bola matanya.
Menyebalkan sekali jika berbicara
dengan orang jenius, ya?
Justin lalu melanjutkan, "Lagi
pula, kau harus mengatur jadwalku dan memberikan pelayanan pribadiku di dalam
ruangan, ‘kan?"
Tunggu.
‘Pelayanan pribadi’?!!
OH, ASTAGA!!
Violette shock; pipinya
memerah. Dia langsung memelototi Justin. "DASAR MESUM!!"
"Bagaimanapun juga, kau itu
istriku."
"YA DAN SEPERTINYA AKU HARUS
MENYESALINYA," teriak Violette. Violette berdecak.
Justin mendadak menatap Violette
dengan mata menyipit tajam. "Apa?"
Ups.
Mati.
Violette langsung meneguk ludahnya.
Dia langsung pura-pura nyengir di depan Justin.
Justin menatap ke depan, menggeleng
pelan, dan menghela napas. "Aku tak menerima penolakan. Kau harus tetap
seruangan denganku."
Ya ya ya. Entahlah.
Protes pada Justin sama saja
seperti protes pada kambing. Tidak ada gunanya. Ini sebenarnya Justin yang
susah diajak kompromi atau Violette yang terlampau idiot?
Violette menggeleng. Namun, satu
detik kemudian, ia teringat sesuatu.
Ia langsung memanggil Justin,
"Justin."
Justin menoleh. Mata berwarna emas milik
pria itu langsung memenjarakan Violette. Hati Violette seolah-olah jadi
meleleh; lututnya melemas. Kalau kita berbicara soal anggota tubuh, bagian yang
paling Violette sukai dari Justin adalah matanya. Mata berwarna lelehan emas
yang sangat indah itu.
Well, tubuh dan wajahnya juga, sih.
Ekhem.
Ia benar-benar sudah jatuh cinta
kepada Justin.
Violette menggeleng agar pikirannya
kembali fokus. "Aku mau bertanya banyak hal."
Justin hanya diam. Dia menatap
Violette dengan saksama.
"Pertama, mansion ini.
Kau membeli…atau membangunnya dari nol? Kedua, mengapa kau memilih lantai dua
belas dan tiga belas untuk penempatan ruanganmu beserta ruangan para direktur
dan manager? Soalnya, gedung perusahaanmu tinggi sekali, ‘kan? Ketiga, mengapa
kau suka membagi tugas? Waktu itu, tugasku pernah terbagi dengan Sher yang merupakan assistant-mu."
Justin menghela napas samar,
kemudian menjawab Violette, "Rumah ini kubangun dari nol, beberapa tahun
yang lalu. Aku mengurus dan membiayai pembangunannya saat masih berada di Red
Lion, tetapi belum pernah kutempati karena saat aku ke sini, aku tinggal dengan
Pamanku. Rumah ini selesai dibangun ketika aku sudah tinggal bersama Pamanku.
Kalau alasan mengenai ruanganku yang ada di lantai tiga belas itu…tidak ada.
Hanya tak mau berada di lantai yang terlalu tinggi.”
"Banyak ruangan lain yang
lebih pantas berada di lantai atas. Kalau alasan membagi tugas itu hanya satu,
yaitu agar lebih cepat dan maksimal."
Violette malah terkikik sendiri.
Justin mengernyitkan dahi; dia
memiringkan kepalanya. "Apa yang begitu lucu hingga membuatmu
tertawa?"
"Kedengarannya, kau begitu
bijaksana. Namun, mengapa waktu pertama kali bekerja denganmu, aku sudah nyaris
dipecat dua puluh kali? Lambat satu detik saja mau kau pecat." Violette tertawa
kencang. Dia mau menjaili dan mempermalukan Justin.
"Karena aku disiplin," jawab
Justin dingin.
Tawa Violette semakin kuat; ia
sampai memegangi perutnya karena tidak tahan. Ia berusaha untuk menatap Justin
dan berbicara meskipun nyatanya ia terengah-engah. "Hahaha—aduh—ada-ada
saja. Kadang-kadang, aku berpikir: bagaimana kalau semua karyawan Alexander
Enterprises tahu kalau kau se-‘disiplin’ itu sampai hampir memecatku
berkali-kali? Apakah mereka masih akan mengagungkanmu? Semua orang menganggapmu
CEO yang sempurna!"
Tak lama kemudian, Violette mulai berhenti
tertawa.
Well, dia baru saja mengejek Justin
habis-habisan, sih, tetapi setidaknya dia ingin memberitahu hal-hal sering dia
dengar di kantor selama ini.
Akhirnya, dia dan Justin bertatapan.
Mata Justin menatap Violette dalam. Cukup lama mereka saling menatap—tanpa
mengatakan apa pun—hingga akhirnya Justin membuka suara.
"Jadi, apa kau juga menganggapku
seperti itu?"
Wait.
Huh?
AAAAAARGGGHHH, MAMPUS!
Astaga, harus jawab bagaimana?!! Senjata
makan tuan!
"TIDAK!!! AKU TIDAK
MENGANGGAPMU SEPERTI ITU!! SUDAH KUBILANG ITU KATA ORANG LAIN!" teriak
Violette, membela dirinya sendiri.
"Kau bilang ‘semua orang’.
Berarti, itu termasuk kau," ujar Justin seraya menaikkan sebelah
alisnya.
Tsk. Please stop right there, you
detail-oriented demon.
"Kau kok mendadak narsis
sekali, sih? Serius, Justin, kurasa kau perlu diberi botox."
"Apa kau bahkan tahu apa
itu botox?" balas Justin. Ucapan itu spontan Violette
mencak-mencak seperti monyet liar. Ia makan hati jika terus membalas perkataan
Justin.
Justin tersenyum miring.
Sial. Violette kalah.
Akhirnya, Violette memilih untuk
diam dan mengalihkan pandangannya dari Justin.
"Kau benar-benar lupa?"
tanya Justin beberapa detik kemudian. Violette masih belum menghadap kepada
Justin. Ia takut terjebak kata-kata Justin lagi; ia takut kalah lagi.
"Lupa apa." Pertanyaan
Violette bahkan jadi terdengar seperti pernyataan karena gengsinya. Dia mau
menunjukkan kalau dia ‘masih marah’.
"Kau benar-benar tidak
peka," komentar Justin. Pria itu menenggelamkan kepalanya sejenak ke dalam
air, kemudian muncul lagi di atas permukaan air sembari mengusap wajahnya. Pria
itu bernapas sejenak, lalu melanjutkan, "…dan tidak seksi."
Oh, damn it.
Cukup. CUKUP!
Violette langsung mendengkus; tanpa
menunggu apa pun lagi, dia naik—keluar dari kolam—secepat mungkin. Dia harus
pergi dari hadapan Justin sekarang juga.
Setelah berhasil naik, dia berjalan
dengan langkah lebar—sambil mengentakkan kakinya—dan masuk ke rumah. Dia tak
menoleh ke belakang lagi.
Haruskah Justin mengejeknya
terus-menerus begitu? Violette tahu kalau dia tidak seksi! Berapa kali Justin
harus menghinanya? Kenapa tidak sekalian saja Justin bilang Violette tidak
menarik, tidak perawan, atau bahkan tidak waras?!!!!
Violette langsung masuk ke kamar
dan membanting pintu kamar itu. Dia juga menguncinya. Setelah itu, dia berjalan
ke depan lemari pakaian—sambil mengentakkan kakinya—lalu mengganti pakaiannya.
Setelah beres, dia pun langsung mengempaskan dirinya ke kasur. Ia tengkurap,
meraih bantal guling, dan langsung mencengkeram bantal guling itu. Jika itu adalah
Justin, dia ingin mencabik-cabiknya sekarang juga.
Justin kerap kali mengatakan,
'Bagaimanapun juga, aku ini suamimu' atau 'Bagaimanapun juga, kau itu istriku',
tetapi apa tujuannya mengatakan semua itu? Penghinaan inikah? Segitu
buruknyakah Violette di matanya? Apakah dia tidak berpikir kalau penghinaan
seperti itu akan terasa lebih menyakitkan saat sudah menikah? Jika status mereka
hanyalah teman dan sering mengejek satu sama lain, itu sudah biasa. Namun, kalau
sudah jadi suami istri? Itu lain cerita. Sakit hati sekali dihina seperti itu!
Violette jadi tak percaya diri; dia jadi merasa tak pantas bersanding dengan
Justin. Kalau Justin yang suaminya saja bisa mengejeknya begitu, bagaimana
orang lain?
Kalau begitu, siapa yang harus ia
jadikan sebagai pegangan dan pelindung? Masih Nathan? Apa gunanya dia menikah?!!
Jadi, apakah pernikahannya dengan Justin hanyalah mimpi?
Oh, sial. Violette yakin ia bisa
membedakan mana mimpi dan mana kenyataan.
Air mata Violette berlinang. Namun,
beberapa saat kemudian, dia mendengar ketukan di pintu kamar. Tiga kali.
Violette diam. Dia mengeraskan
rahang karena tahu itu siapa.
"Violette."
"Apa yang kau lakukan di dalam
sana?"
Violette memejamkan mata dan
mengepalkan tangannya. "Jangan masuk!! Aku lelah; aku mau istirahat. Kau
bisa melakukan apa pun di luar sana, tetapi jangan ganggu aku.”
Violette masih marah. Ia geram
sekali pada Justin.
"Mengapa kau mengunci
pintunya? Aku ingin masuk." Suara
Justin terdengar begitu rendah, tetapi jelas.
Ada sisi di dalam diri Violette
yang ingin membuka pintu itu karena mendengar suara Justin. Suara itu selalu
berhasil melelehkannya. Namun, ujung-ujungnya, dia tetap keras kepala. Dia
hanya berpikir: jangan sampai Justin terus berhasil meruntuhkan hatinya.
"Bisakah kau berada di luar
sebentar? Aku malas mendengarmu menghinaku lagi. Kalau kau ingin menghinaku
lagi, kusarankan kau untuk pergi ke luar dan mencari perempuan yang seksi,”
ujar Violette sarkastis. Ia menahan air matanya agar tidak tumpah. "Aku
ingin sendirian saja. Jangan masuk.”
Violette mulai berbaring menyamping.
Air matanya jatuh dengan pelan.
"Aku
mengkhawatirkanmu..."
Suara Justin terdengar begitu dalam.
Rendah…dan mampu melelehkan hati. Violette memejamkan matanya. Mengapa Justin
ingin meruntuhkan pertahanannya di saat seperti ini? Sampai kapan Justin akan
berdiri di sana? Lagi pula, apa yang sebenarnya Justin inginkan sampai harus
menghina Violette dan membuat perasaan Violette campur aduk seperti ini?
Violette terus berada dalam posisi
itu…sampai akhirnya dia tertidur.
******
Violette meregangkan otot-ototnya
dan mengerang. Jam berapa ini? Apakah dia tertidur? Lho, sejak kapan?
Violette melihat jam dinding dan ternyata
sekarang sudah jam tujuh malam. Dia menoleh ke pintu kamar; pintu itu masih
tertutup. Justin masih di luar; pria itu tak bisa masuk.
Wait, dia di luar sampai
malam? Apa
yang dia lakukan di luar?
Violette tersentak saat ingat kalau
ini sudah jam tujuh malam. Ia melompat turun dari ranjang, mengambil handuknya,
dan langsung masuk ke kamar mandi.
Violette sudah selesai mengatur suhu
air di dalam bathtube (sudah banyak busanya juga). Dia
berencana untuk berendam sebentar. Lagi pula, kepalanya seperti ditimpa batu besar;
rasanya berat sekali. Matanya agak bengkak. Mungkin, itu terjadi karena ia
habis menangis tadi siang.
Violette melepas seluruh pakaian
yang melekat di tubuhnya, lalu meletakkan bajunya di tumpukan baju kotor. Omong-omong, Justin
mandi di mana? Apakah Justin mandi di kamar mandi yang ada di dalam kamar-kamar
lain?
Aduh, rasanya…meskipun Violette
marah kepada Justin, pikirannya tetap berkelana. Sampai-sampai memikirkan
tentang: 'Mandi di mana dia?'
Sial.
Violette mencelupkan ujung kakinya
ke dalam air, merasakan suhu air itu sekali lagi. Setelah yakin, ia pun naik ke
bathtub itu dan mulai berendam. Oh, rasanya rileks sekali. Pegal di
lehernya seolah-olah menghilang. Matanya terpejam.
Dua menit kemudian, Violette
membuka matanya. Dia memainkan busa…mengambil air…lalu membasuh wajahnya. Dia
memiringkan kepalanya—ke kiri dan ke kanan—dan sendi lehernya berbunyi. Ketegangan
di tubuhnya jadi hilang. Dia benar-benar rileks.
Saat Violette baru saja ingin
kembali memejamkan matanya, dia dibuat kaget setengah mampus saat tiba-tiba
pintu kamar mandi itu diketuk dari luar. Violette mendadak mundur—hingga
punggungnya menabrak ujung bathtub—seraya memeluk tubuhnya karena ketakutan.
"S—Siapa itu?!!"
Tidak ada jawaban.
Violette bergidik ngeri.
"Siapa di luar?!!!!"
Tidak mungkin Justin, 'kan? Pintu
kamar sedang dikunci! Kamar mandi ini ada di dalam kamar mereka!!
Saat Violette baru saja mau
berteriak lagi, mendadak matanya memelotot. Dia terkesiap saat melihat pintu
kamar mandi perlahan-lahan terbuka. Tubuhnya jadi tegang; wajahnya mulai pucat.
Dia takut minta ampun. Suhu di sekelilingnya jadi dingin.
Betapa terkejutnya dia saat
mendapati bahwa:
…yang membuka pintu itu adalah Justin.
Justin berdiri di ambang pintu
kamar mandi, lalu masuk tanpa repot-repot menutup pintu itu kembali. Violette terperanjat
dan langsung berteriak, "JUSTIN!!! Serius—keluar!! KELUAR!!"
Justin hanya mengangkat alis. Di
matanya terkandung segelintir jenaka. "Aku mau masuk."
Violette menganga; dia semakin
memeluk dirinya sendiri erat-erat, menutupi tubuhnya. "Justin, serius!!
Keluar sekarang!! Aku tidak main-main!! Keluar sekarang atau kau benar-benar akan
membuatku marah!!!!"
"Well, karena itulah aku
ingin berada di sini dan mandi bersamamu," jawab Justin tak peduli. Justin
mulai memegang kancing bajunya dan mata Violette spontan membulat. "JANGAN
mandi di sini!! Kumohon, Justin, keluarlah!!"
Violette menutup mata dengan kedua
tangannya. Namun, Justin justru menyeringai.
"Sayang sekali, Nona. Ini
adalah rumahku juga.”
Mata Violette lagi-lagi
membeliak…meskipun kedua tangannya menutupi itu.
Sial—sial, sial, sial!!!!!!!
"KAU—!!" Violette melepaskan
tangannya, dia ingin membentak Justin habis-habisan. Namun, saat melihat ke
arah Justin, dia dibuat kaget lagi. Soalnya, ternyata…Justin sudah membuka tiga
kancing kemejanya. Violette langsung menunjuk Justin dengan geram (tetapi
sebelah tangannya langsung menutup matanya lagi). "JUSTIN, PLEASE!! Keluarlah!
Kumohon! Kau boleh melakukan apa pun yang kau mau setelah ini, tetapi jangan
masuk! Aku tidak memakai apa pun di dalam sini! Lagi pula, bagaimana kau bisa
masuk?!!"
Justin mengedikkan bahu.
"Kupikir kau ingat bahwa akulah yang membangun rumah ini. Tentu saja, aku
memegang semua kuncinya…dan ada cadangannya."
Violette menganga. Kalau begitu,
mengapa Justin tidak langsung masuk tadi siang (saat dia mengetuk pintu kamar)?
Mengapa dia baru masuk sekarang? Gila. Benar-benar gila! Tidak bisa dimengerti!
Violette berhenti menunjuk Justin;
dia memilih untuk menggunakan kedua tangannya untuk menutup seluruh wajahnya.
"Oke. Sekarang keluarlah. Aku sedang mandi, Justin."
"Aku juga mau mandi, love."
Wait.
…’Love’?
No, Violette! FOKUS!
"Justin, ini tidak lucu."
Violette menggeleng. "Aku yakin kau sudah mandi."
Namun, pelan-pelan, Violette
mengintip. Dilihatnya Justin justru sudah bertelanjang dada; pria itu bergerak
mengacak rambutnya. Rambut berwarna cokelat terangnya sudah berantakan
sekarang.
Ya ampun, apa ini?!
"Justin, aku sedang telanjang di
sini; apa kau berniat untuk membuatku sakit jantung?!!" teriak Violette.
Pipinya mulai memerah.
Violette akhirnya benar-benar membuka
mata. Dia memasang ekspresi frustrasi di depan Justin. Dilihatnya Justin mulai
menaruh kemeja pria itu di keranjang baju kotor, tempat yang sama dengan baju
kotor Violette. Sembari menaruh kemeja itu, Justin menjawab dengan nada datar,
"Mengapa kau harus sakit jantung? Aku ini suamimu, seberapa kesalnya pun
kau padaku."
Justin berbalik. Pria itu mendekati bathtub; membuat
mata Violette spontan membulat lagi. Karena panik dan malu, Violette pun terus
mundur, padahal dia sudah berada di ujung bathtub. Gadis itu terdiam saat
wangi parfum yang melekat di tubuh maskulin Justin masuk ke indra penciumannya.
Justin memegang tepi bathtub.
Dia lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah Violette…dan tersenyum miring. "Well, kedengarannya
menarik mengetahui kau sedang tidak memakai apa pun."
T—Tunggu.
Apa—apa katanya?!!
Violette spontan menganga.
"JUSTIN!!!!!!!!!!!!!"
******
Violette menghela napas lega.
Sekarang, gadis itu sudah berpakaian. Sudah selesai mandi.
Justin tidak mandi bersamanya. Dia
terus menyuruh Justin keluar sampai akhirnya…entah ada angin apa, Justin
mengalah. Pria itu keluar dalam keadaan shirtless. Anehnya,
semua yang Justin lakukan tadi sukses membuat Violette lupa kalau ia
sedang marah pada Justin.
Well, pintar sekali Justin mengalihkan keadaan;
seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Apakah Justin bahkan tahu kalau Violette
tadi marah padanya karena dia bilang Violette tidak seksi?
Jangan-jangan...tidak? Oh, sial.
Menyebalkan sekali.
Justin sering berkata seenaknya
saja, membuat Violette jengkel setengah mati. Namun, saat berhadapan dengan
pria itu, tiba-tiba saja Violette lupa kalau dirinya sedang marah.
Violette menggeleng, ia sudah memakai
piamanya dan sudah wangi. Rambutnya sudah tersisir rapi. Ia berjalan mendekati
ranjang, lalu duduk di tepinya.
Justin sepertinya ada di luar, di
lantai bawah. Kamar mereka ada di lantai dua. Mansion itu besar sekali;
warnanya dominan hitam dan abu-abu. Di luar ada lapangan tenis; jarak antara mansion
dengan gerbang terluar berukuran hampir satu kilometer. Itu sebabnya ada
jalan aspal tersendiri yang menghubungkan rumah mereka dengan gerbang di ujung
sana. Mansion itu berdiri sendiri dan terpisah dari pemukiman
orang-orang. Ada berbagai arena olahraga, kebun, dan lain-lain. Violette tak
menyangka Justin benar-benar membangun rumah seperti itu. Ia tak tahu harus
berbicara apa waktu pertama kali melihat rumah itu dan seluruh lingkungannya.
Tiba-tiba, ponsel Violette
berbunyi. Ia langsung meraih ponsel yang terletak di atas nakas, lalu melihat
nama Bibi Locardo tertera di layar ponsel itu.
Violette menerima panggilan itu. Suara
gembira Bibi Locardo langsung terdengar.
"Halo, Sayang!"
Mata Violette melebar, agak
penasaran. "Iya, Bibi. Ada apa?"
"Ke mana Justin?"
"Justin sepertinya ada di lantai
bawah, Bibi..."
"Sepertinya?" Bibi Locardo terdengar heran.
Violette tersentak; cepat-cepat ia
meralat ucapannya, "Ah—ya, Bibi, dia ada di lantai bawah, mungkin menonton
televisi. Aku baru selesai mandi, Bibi."
"Oh, begitu,” jawab Bibi Locardo, terdengar
kembali riang. “Sekarang, kau ada di mana, Sayang?"
"Aku sedang berada di kamar,
Bibi."
"Apa kau mandi bersama
Justin?" tanya
Bibi Locardo.
Pipi Violette sontak merona.
"Tidak, Bibi, tidak." Suara
Violette tanpa sadar meninggi karena gugup.
"Hahaha! Seharusnya kau
mencobanya, Sayang. Dia itu suamimu. Omong-omong..."
Masih dengan pipi yang merona,
Violette pun mengernyitkan dahi. "Apa, Bibi?"
"Omong-omong, apakah kalian
sudah ‘melakukannya’?"
Wait. Melakukan apa?!!!!
"Melakukan 'itu'," ujar Bibi Locardo. Wanita paruh
baya itu seolah-olah bisa membaca pikiran Violette. Pipi Violette semakin
merona. Wajahnya memanas.
"Belum, Bibi, belu—"
"Malam ini, kalian harus
melakukannya, oke? Aku tak sabar mau menimang cucu. Oh, aku benar-benar gila kalau
membayangkan bagaimana anakmu dan Justin nanti. Pasti lucu sekali. Oh, aku akan
menghukummu jika kau tak melakukannya malam ini."
Mata Violette spontan memelotot.
"Bibi, aku belum si—"
"Aku percaya padamu. Justin
bukan orang yang to the point. Mengertilah jika dia memberikan ‘kode’ bahwa dia
menginginkannya. Aku yakin kau sudah paham dengan sifatnya. Jadi, selamat
malam! Love you, Vio Sayang."
Bibi Locardo pun memutuskan
panggilan itu bahkan sebelum Violette sempat memprotes.
Aduh. Bagaimana ini?! Bagaimana?! Ya Tuhan!
Untuk membuka pakaiannya di depan
Justin saja, Violette malu setengah mati! Tidak lucu jika ia harus melakukannya
dengan Justin malam ini juga.
Violette menggigit bibirnya; dia
kebingungan. Namun, mendadak…ia teringat sesuatu.
Megan.
Tanpa basa-basi lagi, Violette mencari
kontak Megan dan menelepon gadis itu. Setelah empat deringan, akhirnya Megan
mengangkat panggilan telepon itu.
"Halo, Meg," sapa
Violette cepat.
"Halo, Vio!!! Aku senang mendengar
Nathan sudah pulang!! Bagaimana kabarmu, Vio? Hahahaha! Aduh, aku rindu
sekali padamu!!"
Violette menggigit bibirnya. "Umm…ya,
aku baik-baik saja. Meg, aku boleh…bertanya sesuatu?"
Megan mendadak terdengar antusias."Ya,
tentu!! Bertanya soal pria tampan juga boleh!!"
Violette memutar bola matanya.
"Aku serius, Meg."
Megan tertawa kencang. "Oke,
oke. Kau mau bertanya soal apa?"
Mendadak, jantung Violette berdegup
kencang. Pipi gadis itu merona. "Ah—tidak, tidak jadi, aku bisa—"
"Oh, ayolah, Vio. Sudah berapa
lama, sih, kita bersahabat?" potong
Megan.
Skakmat.
Well, mau tidak mau, Violette harus
mengatakannya. Lagi pula, jika dia tidak bertanya sekarang (dan malah mematikan
panggilan telepon itu), dengan siapa lagi dia akan bertanya? Hanya kepada Meganlah
dia bisa terbuka. Hanya kepada Meganlah dia bisa berbicara masalah pribadi
perempuan seperti ini karena Megan adalah satu-satunya perempuan yang dekat
dengannya. Megan sudah seperti saudaranya.
Violette mengangguk pelan. Gadis
itu akhirnya menghela napas.
"Meg…aku baru saja ditelepon
oleh Bibi Locardo. Dia menyuruhku untuk melakukannya dengan Justin…malam
ini." Violette meneguk ludahnya.
Megan terdiam. Sejujurnya, di
seberang sana, Megan shock minta ampun.
Violette pun melanjutkan,
"Demi Tuhan, Meg…aku belum siap. Aku bahkan masih sering malu-malu saat
berada di dekat Justin. Aku pun ragu apakah Justin mau melakukannya denganku
atau tidak. Dia bahkan mengejekku tidak seksi, tadi siang." Violette
menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku ingin meminta bantuanmu…atau
saranmu. Apa yang harus…kulakukan? Dia ada di luar, sepertinya sedang menonton
TV."
Namun, sialnya, Megan
malah tertawa terbahak-bahak.
Tawa Megan terdengar puas dan
kencang sekali; Violette sampai menyumpahi gadis itu berkali-kali. Tawanya itu
semakin membuat Violette frustrasi; Violette jadi menjambak rambutnya sendiri.
"Tertawa saja sesukamu,
ya?!!" bentak Violette sarkastis.
"Duh-duh, Kak
Violette..." Megan
masih tertawa.
Mata Violette memelotot.
"Mengapa kau jadi ikut-ikut Evan? Hentikan 'Kak'-mu itu! Menjijikkan
sekali jika kau yang menyebutnya, tahu!”
"Kak Violette cerewet sekali,
deh..." ledek
Megan. Violette jadi ingin menelan sandal saat itu juga.
Akan tetapi, beberapa saat
kemudian, Megan pun berhenti tertawa. Dia mulai menormalkan suaranya.
"Begini,” katanya. “Kau jalani saja
malammu seperti biasa…tanpa terpengaruh dengan apa yang Bibi Locardo perintahkan
padamu. Lakukan saja apa yang ada di dalam hatimu, yang kau inginkan. Nanti aku
akan membantumu."
Violette mengernyitkan dahi. "…Membantu
dengan apa?"
"Sudahlah, kau tak perlu
banyak bertanya. Aku kenal kau, jadi aku tahu bagaimana cara membantumu. Jalani
saja malam ini dengan baik, oke? Selamat malam, Violette! Buat Justin jatuh
cinta dengan—ekhem—dirimu, ya? Hahaha!"
Sialan.
‘Jatuh cinta dengan dirimu’? Oh, Tuhan, apa-apaan itu?! Genit
sekali!!!
Dengan tawa gilanya itu, Megan pun
mematikan panggilan telepon mereka.
Violette menghela napas pasrah.
Memangnya apa yang bisa ia lakukan?
Sudahlah, rasanya pusing sekali
memikirkan semua itu. Megan malah membuat Violette tambah pusing. Jika biasanya
Violette akan ikut ‘menggila’ bersama Megan, kali ini dia tak bisa melakukan
itu. Kasusnya berbeda.
Violette menaruh ponselnya di atas nakas
dan langsung berbaring telentang di ranjang. Lampu kristal kamar tiba-tiba terlihat
begitu menyilaukan.
Dia memutuskan untuk percaya pada
Megan. Ya, jalani saja malam ini seperti biasa.
Tak lama kemudian, dia mendengar
ketukan di pintu kamarnya dan dia terkesiap. Justin masuk dalam keadaan
masih shirtless, tetapi dengan celana yang berbeda (pintu
kamar sudah tidak terkunci, by the way). Justin baru saja mau menutup
pintu kamar itu ketika tiba-tiba Violette membuka suara.
"Aku masih marah padamu,"
katanya. "Kau tidur di luar saja."
Justin mengernyitkan dahi
"Ada apa?" tanya Justin. Violette
menggigit bibirnya.
"Tidak ada. Aku sedang tak
ingin melihatmu. Kumohon keluarlah. Biarkan aku tidur sendiri di sini."
Justin menatap Violette dengan mata
yang menyipit.
"Sayangnya, sewaktu di kamar
mandi tadi, kau bilang aku boleh melakukan apa pun." Nada
bicara Justin terdengar begitu…dingin. Beku. Mencekam. Dia memenjarakan
Violette dengan tatapannya.
Namun, Violette berusaha keras
untuk menghindari tatapan mata Justin. Itu semata-mata agar dia bisa berbicara—atau
bahkan berteriak—dengan benar.
Suara Justin kembali terdengar.
"Aku menginginkan sesuatu..."
Namun, sayangnya, saat ini Violette
hanya peduli dengan ‘apa yang dia rasakan’, bukan apa yang Justin katakan.
"Bisa tidak, sih, kau keluar
saja?! Aku tak mau tidur sekamar denganmu!!!!!" teriak
Violette. Sebenarnya, saat ini…ia lebih merasa malu daripada marah.
Setelah meneriakkan itu, situasi
berubah jadi sangat hening. Violette langsung mengarahkan tatapannya kepada
Justin. Akan tetapi, saat melihat Justin…matanya membeliak. Ia cukup terkejut.
Di depan sana, kedua mata Justin
masih menatap Violette dengan intens. Namun, terkandung sebuah…kekecewaan di
mata itu. Ada juga rasa bingung yang seolah-olah ingin dia coba untuk mengerti
sendiri.
Tanpa berkata apa pun, Justin pun berbalik.
Dia membuka pintu kamar itu dan keluar.
Violette menunduk.
******
Ini sudah jam sebelas malam, tetapi
Violette belum bisa tidur.
Gadis itu masih terjaga; dia
memikirkan betapa berlebihannya reaksinya kepada Justin. Ia menyumpahi dirinya
sendiri. Mulutnya—yang tak sengaja berteriak seperti itu kepada Justin—sungguh
menyebalkan, padahal Justin tidak berniat apa-apa.
Violette sudah mematikan lampu
kamar. Sepertinya, lampu di luar kamar juga sudah mati. Mungkin, Justinlah yang
mematikannya.
Malam ini…hujan tiba-tiba turun. Sejak
satu jam yang lalu, sih. Suasananya terasa…sedikit mencekam; ranjangnya
jadi dingin meskipun dia berusaha untuk mengurung seluruh
tubuhnya di dalam selimut. Selain itu, kamarnya gelap.
Sunyi... Hanya suara hujanlah yang bisa ia
dengar.
Samar-samar, ia mendengar bunyi
ponselnya yang terletak di atas meja nakas. Pertanda bahwa ada sebuah pesan
masuk.
Pesan itu dari Megan.
Violette pun membukanya.
From: Megan
Ketika hujan turun, kau mendengar
sebuah ketukan di kamarmu.
Kau menutup dirimu dengan selimut,
berharap kalau itu bukanlah apa-apa.
Namun, karena merasa terganggu,
akhirnya…kau mencoba untuk membuka matamu.
Terlihatlah sosok itu di depan
sana. Sosok mengerikan…yang tengah menyeringai padamu. Ternyata, sosok itu
sudah ada di sana sedari tadi, di dekat jendelamu.
Ternyata, dia mengetuk jendelamu
dari dalam, bukan dari luar...
BANGSAT.
Violette kontan membuka
selimutnya. Dia berlari terbirit-birit keluar kamar dengan jantung yang berdegup
kencang. Dia lalu menuruni tangga dan pergi ke ruang tengah, tempat menonton TV.
Violette langsung meraba-raba keberadaan Justin (karena gelap) dan menemukan
pria itu sedang tertidur di sofa.
Dengan jantung yang serasa ingin
meledak itu—seperti dikejar-kejar seseorang—Violette pun berlutut di samping
Justin dan mengguncang pelan lengan pria itu. Tangan Violette bergetar. Gadis
itu berkali-kali meneguk ludahnya.
"Justin, bangun... Justin..."
"Justin...bangun..."
"Justin...aku
takut..."
"Justin..."
Saat merasakan sedikit pergerakan
dari tubuh Justin, Violette langsung menghela napas lega. Dia memandangi Justin
dengan penuh harap. Dia juga ingin meminta maaf kepada Justin.
Perlahan-lahan, Justin menoleh
kepadanya.
Violette menunduk. Tangannya mulai mencengkeram
lengan Justin.
"Justin, aku... Aku minta
maaf..." ujar Violette penuh sesal. Akan tetapi, gadis itu masih
bergetar ketakutan akibat SMS Megan.
"Aku tidak bermaksud untuk
membentakmu seperti itu... Temani aku, Justin... Maaf, ya..."
"Dasar Nona keras
kepala," jawab Justin lirih. Suaranya rendah dan serak, pertanda
bahwa ia baru saja dibangunkan dari tidurnya. "Kemarilah."
Tanpa bantahan apa pun, Violette
langsung naik ke sofa dan mencoba untuk ikut berbaring di sebelah Justin.
Justin membantunya naik dengan memegang tangannya.
Kini, ia sudah berbaring di dalam pelukan
Justin. Justin masih belum memakai baju, padahal cuacanya dingin. Oh, di sini
juga tidak ada selimut. Lagi-lagi…Violette merasa bersalah pada Justin.
Violette semakin merapatkan dirinya
pada Justin; kali ini, dia benar-benar mencium dada bidang Justin. Wanginya
memabukkan. Bahu pria itu tampak lebar...dan mengagumkan. Otot-otot lengan
Justin menekan tubuh Violette. Baru kali inilah Violette benar-benar merasakan
otot-otot itu secara langsung tanpa ada halangan apa pun.
Napas Justin terdengar teratur. Apa
Justin sudah tertidur lagi?
Rasanya hangat sekali. Berada
di dalam dekapan Justin selalu terasa nyaman dan hangat. Akan tetapi, meskipun
sekarang pipi Violette mulai merona, dia masih merasa bersalah.
Akhirnya, dia putuskan untuk
bertanya.
"Justin..." panggilnya pelan. Hampir seperti
bisikan.
"Hm."
Mata Violette membulat. Oh, Justin
masih menjawab. Syukurlah, pria itu belum kembali tertidur.
Violette menempelkan kepalanya di
dada Justin, lalu menghirup wangi tubuh pria itu. Violette malu, tetapi…ia suka
wangi Justin.
"Tadi, kau bilang…kau
menginginkan sesuatu. Sebenarnya, kau mau apa? Di kolam renang tadi, kau juga sempat
bilang kalau aku melupakan sesuatu,” ujar Violette.
Justin diam. Hanya napas pria itulah
yang terdengar pelan, membuat Violette merasa aman di tengah ketakutannya. Di tengah
hujan deras malam ini.
"Justin...katakan padaku. Aku
ingin mendengarkannya. Apakah itu satu hal yang sama? Kau
menginginkan...apa?" tanya Violette sekali lagi.
Satu detik kemudian, Justin
melepaskan pelukannya. Hal ini membuat Violette sedikit melebarkan mata. Kini,
pria itu menunduk…agar bisa menatap mata Violette.
Meskipun saat itu suasananya gelap,
Violette tahu jelas bahwa mata Justin mulai menatapnya begitu…dalam. Intens.
Seakan-akan menatap hingga ke dalam jiwa Violette.
Hal itu membuat Violette jadi lemas.
Tak bisa bergerak. Meskipun gelap, Violette sadar bahwa…sorot mata emas Justin berbeda
malam ini.
Mata itu bak berkabut…menerawang...menyesatkan...dan
melumpuhkan Violette.
"I want you..." bisik Justin. "on my
bed... now." []










No comments:
Post a Comment