Friday, December 5, 2025

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 18: What Do You Want?)


******

Chapter 18 :

What Do You Want?

 

******

 

Author:

PAGI INI, Violette dan Justin mengantar Nathan pulang. Nathan duduk di jok penumpang depan, sementara Violette duduk di belakang.

Setelah sampai di rumah Nathan, Violette memegang lengan Nathan dengan erat. Dibawanya Nathan masuk ke kamar. Saat melewati ruang tamu…hingga ke kamar, Nathan dan Violette sadar kalau sekarang di setiap sudut rumah itu sudah ada CCTV. Di sisi kiri halaman juga sudah ada sebuah pos; ada penjaga di dalam pos itu. Rumah ini jadi memiliki keamanan yang maksimal. Violette menatap Nathan dengan sendu; dia harus berterima kasih banyak kepada Justin serta Paman dan Bibi Locardo.

Nathan kini sudah duduk di tepi ranjang dan Violette berlutut di depannya. Justin berdiri di belakang Violette. Violette meraih tangan Nathan dan meremasnya dengan lembut. Violette menahan air matanya agar tidak tumpah. "Jaga dirimu, ya, Paman."

Nathan mengacak rambut Violette. "Baiklah. Maafkan aku karena sudah membuatmu khawatir, ya. Kau juga harus menjaga dirimu. Kau seperti anak kecil, soalnya."

"Kalau sampai terjadi sesuatu lagi padamu, aku akan mengomelimu dua hari dua malam. Kau dengar itu?!" ancam Violette (dengan bercanda).

Nathan tertawa kecil.

Justin tersenyum. "Please take care, Uncle."

Nathan langsung menoleh kepada Justin. Pria paruh baya itu ikut tersenyum.

"Ternyata, kau benar-benar tumbuh jadi sangat memesona,” puji Nathan. "Terakhir kali…saat Violette menunjukkan fotomu padaku, kau terlihat masih muda. Mungkin…itu foto lama saat kalian masih berada di Red Lion."

Violette menunduk, diam-diam dia cekikikan sendiri.

"Um...apa yang harus kujawab?" tanya Justin, dahinya berkerut samar. Dia sungguhan tak tahu harus merespons bagaimana. Melihat reaksi Justin itu, Nathan langsung tertawa terbahak-bahak. Violette kaget tatkala mendapati ekspresi Justin yang sangat menggemaskan saat itu. Astaga, dia mengerti soal bisnis berskala gigantic-nya, soal ‘kegiatan’ dan ‘strategi’ Red Lion, tetapi dia tak paham bagaimana cara menjawab pujian Nathan?

Ada-ada saja.

"Hahaha! Mengapa kau jadi bingung? Jawab sebisamu saja. Kau sudah kuanggap sebagai menantuku. Yah…kau tahu kalau orangtua Violette sudah tiada," ujar Nathan.

Violette tersenyum.

"Ya. Aku juga menganggapmu sebagai mertuaku. Kau luar biasa." Justin tersenyum.

Nathan mengangguk, lalu kembali menatap Violette. Dia mengusap pundak gadis itu.

"Pulanglah. Kalian harus beristirahat."

Violette menghela napas. Ia pun tersenyum lembut kepada Nathan.

"Selalu berhati-hati, ya, Paman. Aku pulang dulu… Aku akan sering-sering melihatmu ke sini." Violette mencium punggung tangan Nathan, lalu ia berdiri. Sekarang, gantian Justin yang mencium punggung tangan Nathan. Nathan menepuk pundak Justin dan Justin tersenyum kepadanya.

Akhirnya, Justin dan Violette pulang ke mansion mereka.

 

******

 

Justin naik ke permukaan kolam, memunculkan kepala hingga dadanya dengan santai. Dia lalu mengusap rambutnya ke belakang.

Setelah mengusap rambutnya, Justin mengusap wajah…dan dada bidangnya. Ia menghela napas pelan.

Berat baginya untuk menerima kenyataan bahwa ia masih bisa membunuh seseorang.

Namun, tidak ada jalan lain. Nathan dan Violette terancam. Dia juga murka pada Elika dan Welton.

Mungkin, berendam sebentar akan sedikit menenangkan pikirannya.

Justin mendongak. Tetesan air jatuh melewati rahangnya…lalu meluncur ke lehernya. Ia memejamkan mata, sampai akhirnya ia sadar satu hal.

Ada sepasang mata berwarna biru di ujung sana yang tengah memperhatikannya.

Justin menoleh. Matanya langsung menyipit tatkala menatap Violette.

Istrinya itu sudah memakai pakaian yang lebih nyaman. Dia agak kaget ketika Justin memergokinya, tetapi di sisi lain, dia tahu kalau mungkin saja, Justin berendam untuk mendinginkan kepalanya.

"Sampai kapan kau akan berdiri di sana dan memandangiku?" tanya Justin seraya mengangkat sebelah alisnya. Violette tersentak; ia tampak kebingungan. Tak tahu harus marah atau pengertian pada Justin.

"Kemari," perintah Justin. Violette diam sebentar dan meneguk ludahnya. Setelah itu, dia langsung berjalan mendekati Justin.

Kini, ia sudah berdiri di belakang Justin yang sedang bersandar di pinggir kolam.

Sesaat kemudian, Violette membuka pembicaraan, "Kau baik-baik saja? Kepala dan lenganmu masih sakit?"

Justin menghela napas pelan. "Aku sudah membuka perbannya."

Violette mengangguk meskipun ia tahu Justin tak bisa melihatnya. "Umm…Just—"

"Kau yakin akan terus berbicara di sana? Apa kau tak ingin masuk ke sini dan berbicara di dekatku?"

Violette terperanjat. Tidak! Justin terlihat seksi sekali dan Violette tak mau ambil risiko.

"Tidak usah, Justin," jawab Violette. Dia mulai berjalan pelan ke dekat Justin dan berdiri di pinggiran kolam (tetapi tidak masuk). "Aku tidak memakai pakaian yang nyaman untuk berenang."

Namun, satu detik kemudian, Violette terkesiap. Matanya membeliak…dan jantungnya nyaris berhenti berdegup ketika Justin tiba-tiba menariknya ke kolam.

Argh, sial.

Violette baru saja mengganti pakaiannya setelah pulang dari mengantar Nathan tadi. Mulut Violette membulat—membentuk 'O'—dan matanya masih membeliak, sementara tangan Justin memeluk pinggulnya.

Violette menggertakkan giginya. "AKU BARU GANTI BAJU, JUSTIN!!!"

Justin hanya memiringkan kepalanya. "Lalu?"

Violette menganga. What?! Respon macam apa itu?!

"Dasar gila!" teriak Violette.

Justin hanya diam.

Yah, melelahkan sekali kalau kau bersikap cerewet pada orang seperti Justin.

"Kau baik-baik saja?" tanya Violette. Dia boleh ngambek, tetapi mulutnya tetap saja tak bisa diam. Dia tak tahan kalau berada dalam suasana yang canggung dan hening seperti itu.

"Hm." Justin berdeham singkat.

Violette memutar bola matanya, kesal dengan jawaban singkat Justin. Namun, sesaat kemudian, Justin membuka suara lagi.

 

"Elika meninggal."

 

Saat itu juga, mata Violette membulat. Elika meninggal? Kapan?

Wajah Violette menegang. "Justin—"

"Tadi pagi, aku diberitahu oleh kepolisian yang menjaga Elika di rumah sakit. Well, polisi tidak tahu sama sekali tentang Red Lion karena Welton dan Elika memang tidak pernah dan belum sempat memberitahu mereka. Alasannya adalah…karena tidak mau kita berdua—terutama kau—terbunuh lebih dahulu di tangan para polisi itu. Sebelum mobilnya kuambil alih, Elika sempat mau menelepon polisi untuk memberitahukannya, tetapi aku sempat mencegahnya."

Violette masih menyimak Justin dengan fokus.

Justin pun melanjutkan, "Aku memilih Sher untuk menggantikan posisi Elika sebagai manajer R&D. Assistant-ku berkurang satu dan…bisa saja pekerjaanmu sebagai executive assistant...jadi lebih banyak. Aku tak akan membiarkanmu mengisi posisi manajer, sebab kau terlalu bodoh."

 

WHAT? APA DIA BILANG?!

 

Oke, oke. Cukup dengan semua itu. Violette langsung memutar bola matanya.

Menyebalkan sekali jika berbicara dengan orang jenius, ya?

Justin lalu melanjutkan, "Lagi pula, kau harus mengatur jadwalku dan memberikan pelayanan pribadiku di dalam ruangan, ‘kan?"

Tunggu.

‘Pelayanan pribadi’?!!

OH, ASTAGA!!

Violette shock; pipinya memerah. Dia langsung memelototi Justin. "DASAR MESUM!!"

"Bagaimanapun juga, kau itu istriku."

"YA DAN SEPERTINYA AKU HARUS MENYESALINYA," teriak Violette. Violette berdecak.

Justin mendadak menatap Violette dengan mata menyipit tajam. "Apa?"

Ups.

Mati.

Violette langsung meneguk ludahnya. Dia langsung pura-pura nyengir di depan Justin.

Justin menatap ke depan, menggeleng pelan, dan menghela napas. "Aku tak menerima penolakan. Kau harus tetap seruangan denganku."

Ya ya ya. Entahlah.

Protes pada Justin sama saja seperti protes pada kambing. Tidak ada gunanya. Ini sebenarnya Justin yang susah diajak kompromi atau Violette yang terlampau idiot?

Violette menggeleng. Namun, satu detik kemudian, ia teringat sesuatu.

Ia langsung memanggil Justin, "Justin."

Justin menoleh. Mata berwarna emas milik pria itu langsung memenjarakan Violette. Hati Violette seolah-olah jadi meleleh; lututnya melemas. Kalau kita berbicara soal anggota tubuh, bagian yang paling Violette sukai dari Justin adalah matanya. Mata berwarna lelehan emas yang sangat indah itu.

Well, tubuh dan wajahnya juga, sih.

Ekhem.

Ia benar-benar sudah jatuh cinta kepada Justin.

Violette menggeleng agar pikirannya kembali fokus. "Aku mau bertanya banyak hal."

Justin hanya diam. Dia menatap Violette dengan saksama.

"Pertama, mansion ini. Kau membeli…atau membangunnya dari nol? Kedua, mengapa kau memilih lantai dua belas dan tiga belas untuk penempatan ruanganmu beserta ruangan para direktur dan manager? Soalnya, gedung perusahaanmu tinggi sekali, ‘kan? Ketiga, mengapa kau suka membagi tugas? Waktu itu, tugasku pernah terbagi dengan Sher yang merupakan assistant-mu."

Justin menghela napas samar, kemudian menjawab Violette, "Rumah ini kubangun dari nol, beberapa tahun yang lalu. Aku mengurus dan membiayai pembangunannya saat masih berada di Red Lion, tetapi belum pernah kutempati karena saat aku ke sini, aku tinggal dengan Pamanku. Rumah ini selesai dibangun ketika aku sudah tinggal bersama Pamanku. Kalau alasan mengenai ruanganku yang ada di lantai tiga belas itu…tidak ada. Hanya tak mau berada di lantai yang terlalu tinggi.”

"Banyak ruangan lain yang lebih pantas berada di lantai atas. Kalau alasan membagi tugas itu hanya satu, yaitu agar lebih cepat dan maksimal."

Violette malah terkikik sendiri.

Justin mengernyitkan dahi; dia memiringkan kepalanya. "Apa yang begitu lucu hingga membuatmu tertawa?"

"Kedengarannya, kau begitu bijaksana. Namun, mengapa waktu pertama kali bekerja denganmu, aku sudah nyaris dipecat dua puluh kali? Lambat satu detik saja mau kau pecat." Violette tertawa kencang. Dia mau menjaili dan mempermalukan Justin.

"Karena aku disiplin," jawab Justin dingin.

Tawa Violette semakin kuat; ia sampai memegangi perutnya karena tidak tahan. Ia berusaha untuk menatap Justin dan berbicara meskipun nyatanya ia terengah-engah. "Hahaha—aduh—ada-ada saja. Kadang-kadang, aku berpikir: bagaimana kalau semua karyawan Alexander Enterprises tahu kalau kau se-‘disiplin’ itu sampai hampir memecatku berkali-kali? Apakah mereka masih akan mengagungkanmu? Semua orang menganggapmu CEO yang sempurna!"

Tak lama kemudian, Violette mulai berhenti tertawa.

Well, dia baru saja mengejek Justin habis-habisan, sih, tetapi setidaknya dia ingin memberitahu hal-hal sering dia dengar di kantor selama ini.

Akhirnya, dia dan Justin bertatapan. Mata Justin menatap Violette dalam. Cukup lama mereka saling menatap—tanpa mengatakan apa pun—hingga akhirnya Justin membuka suara.

 

"Jadi, apa kau juga menganggapku seperti itu?"

 

Wait.

Huh?

AAAAAARGGGHHH, MAMPUS!

Astaga, harus jawab bagaimana?!! Senjata makan tuan!

"TIDAK!!! AKU TIDAK MENGANGGAPMU SEPERTI ITU!! SUDAH KUBILANG ITU KATA ORANG LAIN!" teriak Violette, membela dirinya sendiri.

"Kau bilang ‘semua orang’. Berarti, itu termasuk kau," ujar Justin seraya menaikkan sebelah alisnya.

 

Tsk. Please stop right there, you detail-oriented demon.

 

"Kau kok mendadak narsis sekali, sih? Serius, Justin, kurasa kau perlu diberi botox."

"Apa kau bahkan tahu apa itu botox?" balas Justin. Ucapan itu spontan Violette mencak-mencak seperti monyet liar. Ia makan hati jika terus membalas perkataan Justin.

Justin tersenyum miring.

Sial. Violette kalah.

Akhirnya, Violette memilih untuk diam dan mengalihkan pandangannya dari Justin.

"Kau benar-benar lupa?" tanya Justin beberapa detik kemudian. Violette masih belum menghadap kepada Justin. Ia takut terjebak kata-kata Justin lagi; ia takut kalah lagi.

"Lupa apa." Pertanyaan Violette bahkan jadi terdengar seperti pernyataan karena gengsinya. Dia mau menunjukkan kalau dia ‘masih marah’.

"Kau benar-benar tidak peka," komentar Justin. Pria itu menenggelamkan kepalanya sejenak ke dalam air, kemudian muncul lagi di atas permukaan air sembari mengusap wajahnya. Pria itu bernapas sejenak, lalu melanjutkan, "…dan tidak seksi."

Oh, damn it.

Cukup. CUKUP!

Violette langsung mendengkus; tanpa menunggu apa pun lagi, dia naik—keluar dari kolam—secepat mungkin. Dia harus pergi dari hadapan Justin sekarang juga.

Setelah berhasil naik, dia berjalan dengan langkah lebar—sambil mengentakkan kakinya—dan masuk ke rumah. Dia tak menoleh ke belakang lagi.

Haruskah Justin mengejeknya terus-menerus begitu? Violette tahu kalau dia tidak seksi! Berapa kali Justin harus menghinanya? Kenapa tidak sekalian saja Justin bilang Violette tidak menarik, tidak perawan, atau bahkan tidak waras?!!!!

Violette langsung masuk ke kamar dan membanting pintu kamar itu. Dia juga menguncinya. Setelah itu, dia berjalan ke depan lemari pakaian—sambil mengentakkan kakinya—lalu mengganti pakaiannya. Setelah beres, dia pun langsung mengempaskan dirinya ke kasur. Ia tengkurap, meraih bantal guling, dan langsung mencengkeram bantal guling itu. Jika itu adalah Justin, dia ingin mencabik-cabiknya sekarang juga.

Justin kerap kali mengatakan, 'Bagaimanapun juga, aku ini suamimu' atau 'Bagaimanapun juga, kau itu istriku', tetapi apa tujuannya mengatakan semua itu? Penghinaan inikah? Segitu buruknyakah Violette di matanya? Apakah dia tidak berpikir kalau penghinaan seperti itu akan terasa lebih menyakitkan saat sudah menikah? Jika status mereka hanyalah teman dan sering mengejek satu sama lain, itu sudah biasa. Namun, kalau sudah jadi suami istri? Itu lain cerita. Sakit hati sekali dihina seperti itu! Violette jadi tak percaya diri; dia jadi merasa tak pantas bersanding dengan Justin. Kalau Justin yang suaminya saja bisa mengejeknya begitu, bagaimana orang lain?

Kalau begitu, siapa yang harus ia jadikan sebagai pegangan dan pelindung? Masih Nathan? Apa gunanya dia menikah?!! Jadi, apakah pernikahannya dengan Justin hanyalah mimpi?

Oh, sial. Violette yakin ia bisa membedakan mana mimpi dan mana kenyataan.

Air mata Violette berlinang. Namun, beberapa saat kemudian, dia mendengar ketukan di pintu kamar. Tiga kali.

Violette diam. Dia mengeraskan rahang karena tahu itu siapa.

 

"Violette."

"Apa yang kau lakukan di dalam sana?"

 

Violette memejamkan mata dan mengepalkan tangannya. "Jangan masuk!! Aku lelah; aku mau istirahat. Kau bisa melakukan apa pun di luar sana, tetapi jangan ganggu aku.”

Violette masih marah. Ia geram sekali pada Justin.

"Mengapa kau mengunci pintunya? Aku ingin masuk." Suara Justin terdengar begitu rendah, tetapi jelas.

Ada sisi di dalam diri Violette yang ingin membuka pintu itu karena mendengar suara Justin. Suara itu selalu berhasil melelehkannya. Namun, ujung-ujungnya, dia tetap keras kepala. Dia hanya berpikir: jangan sampai Justin terus berhasil meruntuhkan hatinya.

"Bisakah kau berada di luar sebentar? Aku malas mendengarmu menghinaku lagi. Kalau kau ingin menghinaku lagi, kusarankan kau untuk pergi ke luar dan mencari perempuan yang seksi,” ujar Violette sarkastis. Ia menahan air matanya agar tidak tumpah. "Aku ingin sendirian saja. Jangan masuk.”

Violette mulai berbaring menyamping. Air matanya jatuh dengan pelan.

 

"Aku mengkhawatirkanmu..."

 

Suara Justin terdengar begitu dalam. Rendah…dan mampu melelehkan hati. Violette memejamkan matanya. Mengapa Justin ingin meruntuhkan pertahanannya di saat seperti ini? Sampai kapan Justin akan berdiri di sana? Lagi pula, apa yang sebenarnya Justin inginkan sampai harus menghina Violette dan membuat perasaan Violette campur aduk seperti ini?

Violette terus berada dalam posisi itu…sampai akhirnya dia tertidur.

 

******

 

Violette meregangkan otot-ototnya dan mengerang. Jam berapa ini? Apakah dia tertidur? Lho, sejak kapan?

Violette melihat jam dinding dan ternyata sekarang sudah jam tujuh malam. Dia menoleh ke pintu kamar; pintu itu masih tertutup. Justin masih di luar; pria itu tak bisa masuk.

Wait, dia di luar sampai malam? Apa yang dia lakukan di luar?

Violette tersentak saat ingat kalau ini sudah jam tujuh malam. Ia melompat turun dari ranjang, mengambil handuknya, dan langsung masuk ke kamar mandi.

Violette sudah selesai mengatur suhu air di dalam bathtube (sudah banyak busanya juga). Dia berencana untuk berendam sebentar. Lagi pula, kepalanya seperti ditimpa batu besar; rasanya berat sekali. Matanya agak bengkak. Mungkin, itu terjadi karena ia habis menangis tadi siang.

Violette melepas seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya, lalu meletakkan bajunya di tumpukan baju kotor. Omong-omong, Justin mandi di mana? Apakah Justin mandi di kamar mandi yang ada di dalam kamar-kamar lain?

Aduh, rasanya…meskipun Violette marah kepada Justin, pikirannya tetap berkelana. Sampai-sampai memikirkan tentang: 'Mandi di mana dia?'

 

Sial.

 

Violette mencelupkan ujung kakinya ke dalam air, merasakan suhu air itu sekali lagi. Setelah yakin, ia pun naik ke bathtub itu dan mulai berendam. Oh, rasanya rileks sekali. Pegal di lehernya seolah-olah menghilang. Matanya terpejam.

Dua menit kemudian, Violette membuka matanya. Dia memainkan busa…mengambil air…lalu membasuh wajahnya. Dia memiringkan kepalanya—ke kiri dan ke kanan—dan sendi lehernya berbunyi. Ketegangan di tubuhnya jadi hilang. Dia benar-benar rileks.

Saat Violette baru saja ingin kembali memejamkan matanya, dia dibuat kaget setengah mampus saat tiba-tiba pintu kamar mandi itu diketuk dari luar. Violette mendadak mundur—hingga punggungnya menabrak ujung bathtub—seraya memeluk tubuhnya karena ketakutan. "S—Siapa itu?!!"

Tidak ada jawaban.

Violette bergidik ngeri. "Siapa di luar?!!!!"

Tidak mungkin Justin, 'kan? Pintu kamar sedang dikunci! Kamar mandi ini ada di dalam kamar mereka!!

Saat Violette baru saja mau berteriak lagi, mendadak matanya memelotot. Dia terkesiap saat melihat pintu kamar mandi perlahan-lahan terbuka. Tubuhnya jadi tegang; wajahnya mulai pucat. Dia takut minta ampun. Suhu di sekelilingnya jadi dingin.

Betapa terkejutnya dia saat mendapati bahwa:

…yang membuka pintu itu adalah Justin.

Justin berdiri di ambang pintu kamar mandi, lalu masuk tanpa repot-repot menutup pintu itu kembali. Violette terperanjat dan langsung berteriak, "JUSTIN!!! Serius—keluar!! KELUAR!!"

Justin hanya mengangkat alis. Di matanya terkandung segelintir jenaka. "Aku mau masuk."

Violette menganga; dia semakin memeluk dirinya sendiri erat-erat, menutupi tubuhnya. "Justin, serius!! Keluar sekarang!! Aku tidak main-main!! Keluar sekarang atau kau benar-benar akan membuatku marah!!!!"

"Well, karena itulah aku ingin berada di sini dan mandi bersamamu," jawab Justin tak peduli. Justin mulai memegang kancing bajunya dan mata Violette spontan membulat. "JANGAN mandi di sini!! Kumohon, Justin, keluarlah!!"

Violette menutup mata dengan kedua tangannya. Namun, Justin justru menyeringai.

"Sayang sekali, Nona. Ini adalah rumahku juga.”

Mata Violette lagi-lagi membeliak…meskipun kedua tangannya menutupi itu.

 

Sial—sial, sial, sial!!!!!!!

 

"KAU—!!" Violette melepaskan tangannya, dia ingin membentak Justin habis-habisan. Namun, saat melihat ke arah Justin, dia dibuat kaget lagi. Soalnya, ternyata…Justin sudah membuka tiga kancing kemejanya. Violette langsung menunjuk Justin dengan geram (tetapi sebelah tangannya langsung menutup matanya lagi). "JUSTIN, PLEASE!! Keluarlah! Kumohon! Kau boleh melakukan apa pun yang kau mau setelah ini, tetapi jangan masuk! Aku tidak memakai apa pun di dalam sini! Lagi pula, bagaimana kau bisa masuk?!!"

Justin mengedikkan bahu. "Kupikir kau ingat bahwa akulah yang membangun rumah ini. Tentu saja, aku memegang semua kuncinya…dan ada cadangannya."

Violette menganga. Kalau begitu, mengapa Justin tidak langsung masuk tadi siang (saat dia mengetuk pintu kamar)? Mengapa dia baru masuk sekarang? Gila. Benar-benar gila! Tidak bisa dimengerti!

Violette berhenti menunjuk Justin; dia memilih untuk menggunakan kedua tangannya untuk menutup seluruh wajahnya. "Oke. Sekarang keluarlah. Aku sedang mandi, Justin."

"Aku juga mau mandi, love."

Wait.

…’Love’?

No, Violette! FOKUS!

"Justin, ini tidak lucu." Violette menggeleng. "Aku yakin kau sudah mandi."

Namun, pelan-pelan, Violette mengintip. Dilihatnya Justin justru sudah bertelanjang dada; pria itu bergerak mengacak rambutnya. Rambut berwarna cokelat terangnya sudah berantakan sekarang.

 

Ya ampun, apa ini?!

 

"Justin, aku sedang telanjang di sini; apa kau berniat untuk membuatku sakit jantung?!!" teriak Violette. Pipinya mulai memerah.

Violette akhirnya benar-benar membuka mata. Dia memasang ekspresi frustrasi di depan Justin. Dilihatnya Justin mulai menaruh kemeja pria itu di keranjang baju kotor, tempat yang sama dengan baju kotor Violette. Sembari menaruh kemeja itu, Justin menjawab dengan nada datar, "Mengapa kau harus sakit jantung? Aku ini suamimu, seberapa kesalnya pun kau padaku."

Justin berbalik. Pria itu mendekati bathtub; membuat mata Violette spontan membulat lagi. Karena panik dan malu, Violette pun terus mundur, padahal dia sudah berada di ujung bathtub. Gadis itu terdiam saat wangi parfum yang melekat di tubuh maskulin Justin masuk ke indra penciumannya.

Justin memegang tepi bathtub. Dia lalu mendekatkan wajahnya dengan wajah Violette…dan tersenyum miring. "Well, kedengarannya menarik mengetahui kau sedang tidak memakai apa pun."

T—Tunggu.

Apa—apa katanya?!!

Violette spontan menganga. "JUSTIN!!!!!!!!!!!!!"

 

******

 

Violette menghela napas lega. Sekarang, gadis itu sudah berpakaian. Sudah selesai mandi.

Justin tidak mandi bersamanya. Dia terus menyuruh Justin keluar sampai akhirnya…entah ada angin apa, Justin mengalah. Pria itu keluar dalam keadaan shirtless. Anehnya, semua yang Justin lakukan tadi sukses membuat Violette lupa kalau ia sedang marah pada Justin.

Well, pintar sekali Justin mengalihkan keadaan; seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Apakah Justin bahkan tahu kalau Violette tadi marah padanya karena dia bilang Violette tidak seksi?

Jangan-jangan...tidak? Oh, sial. Menyebalkan sekali.

Justin sering berkata seenaknya saja, membuat Violette jengkel setengah mati. Namun, saat berhadapan dengan pria itu, tiba-tiba saja Violette lupa kalau dirinya sedang marah.

Violette menggeleng, ia sudah memakai piamanya dan sudah wangi. Rambutnya sudah tersisir rapi. Ia berjalan mendekati ranjang, lalu duduk di tepinya.

Justin sepertinya ada di luar, di lantai bawah. Kamar mereka ada di lantai dua. Mansion itu besar sekali; warnanya dominan hitam dan abu-abu. Di luar ada lapangan tenis; jarak antara mansion dengan gerbang terluar berukuran hampir satu kilometer. Itu sebabnya ada jalan aspal tersendiri yang menghubungkan rumah mereka dengan gerbang di ujung sana. Mansion itu berdiri sendiri dan terpisah dari pemukiman orang-orang. Ada berbagai arena olahraga, kebun, dan lain-lain. Violette tak menyangka Justin benar-benar membangun rumah seperti itu. Ia tak tahu harus berbicara apa waktu pertama kali melihat rumah itu dan seluruh lingkungannya.

Tiba-tiba, ponsel Violette berbunyi. Ia langsung meraih ponsel yang terletak di atas nakas, lalu melihat nama Bibi Locardo tertera di layar ponsel itu.

Violette menerima panggilan itu. Suara gembira Bibi Locardo langsung terdengar.

"Halo, Sayang!"

Mata Violette melebar, agak penasaran. "Iya, Bibi. Ada apa?"

"Ke mana Justin?"

"Justin sepertinya ada di lantai bawah, Bibi..."

"Sepertinya?" Bibi Locardo terdengar heran.

Violette tersentak; cepat-cepat ia meralat ucapannya, "Ah—ya, Bibi, dia ada di lantai bawah, mungkin menonton televisi. Aku baru selesai mandi, Bibi."

"Oh, begitu,” jawab Bibi Locardo, terdengar kembali riang. “Sekarang, kau ada di mana, Sayang?"

"Aku sedang berada di kamar, Bibi."

"Apa kau mandi bersama Justin?" tanya Bibi Locardo.

Pipi Violette sontak merona.

"Tidak, Bibi, tidak." Suara Violette tanpa sadar meninggi karena gugup.

"Hahaha! Seharusnya kau mencobanya, Sayang. Dia itu suamimu. Omong-omong..."

Masih dengan pipi yang merona, Violette pun mengernyitkan dahi. "Apa, Bibi?"

"Omong-omong, apakah kalian sudah ‘melakukannya’?"

 

Wait. Melakukan apa?!!!!

 

"Melakukan 'itu'," ujar Bibi Locardo. Wanita paruh baya itu seolah-olah bisa membaca pikiran Violette. Pipi Violette semakin merona. Wajahnya memanas.

"Belum, Bibi, belu—"

"Malam ini, kalian harus melakukannya, oke? Aku tak sabar mau menimang cucu. Oh, aku benar-benar gila kalau membayangkan bagaimana anakmu dan Justin nanti. Pasti lucu sekali. Oh, aku akan menghukummu jika kau tak melakukannya malam ini."

Mata Violette spontan memelotot. "Bibi, aku belum si—"

"Aku percaya padamu. Justin bukan orang yang to the point. Mengertilah jika dia memberikan ‘kode’ bahwa dia menginginkannya. Aku yakin kau sudah paham dengan sifatnya. Jadi, selamat malam! Love you, Vio Sayang."

Bibi Locardo pun memutuskan panggilan itu bahkan sebelum Violette sempat memprotes.

Aduh. Bagaimana ini?! Bagaimana?! Ya Tuhan!

Untuk membuka pakaiannya di depan Justin saja, Violette malu setengah mati! Tidak lucu jika ia harus melakukannya dengan Justin malam ini juga.

Violette menggigit bibirnya; dia kebingungan. Namun, mendadak…ia teringat sesuatu.

 

Megan.

 

Tanpa basa-basi lagi, Violette mencari kontak Megan dan menelepon gadis itu. Setelah empat deringan, akhirnya Megan mengangkat panggilan telepon itu.

"Halo, Meg," sapa Violette cepat.

"Halo, Vio!!! Aku senang mendengar Nathan sudah pulang!! Bagaimana kabarmu, Vio? Hahahaha! Aduh, aku rindu sekali padamu!!"

Violette menggigit bibirnya. "Umm…ya, aku baik-baik saja. Meg, aku boleh…bertanya sesuatu?"

Megan mendadak terdengar antusias."Ya, tentu!! Bertanya soal pria tampan juga boleh!!"

Violette memutar bola matanya. "Aku serius, Meg."

Megan tertawa kencang. "Oke, oke. Kau mau bertanya soal apa?"

Mendadak, jantung Violette berdegup kencang. Pipi gadis itu merona. "Ah—tidak, tidak jadi, aku bisa—"

"Oh, ayolah, Vio. Sudah berapa lama, sih, kita bersahabat?" potong Megan.

Skakmat.

Well, mau tidak mau, Violette harus mengatakannya. Lagi pula, jika dia tidak bertanya sekarang (dan malah mematikan panggilan telepon itu), dengan siapa lagi dia akan bertanya? Hanya kepada Meganlah dia bisa terbuka. Hanya kepada Meganlah dia bisa berbicara masalah pribadi perempuan seperti ini karena Megan adalah satu-satunya perempuan yang dekat dengannya. Megan sudah seperti saudaranya.

Violette mengangguk pelan. Gadis itu akhirnya menghela napas.

"Meg…aku baru saja ditelepon oleh Bibi Locardo. Dia menyuruhku untuk melakukannya dengan Justin…malam ini." Violette meneguk ludahnya.

Megan terdiam. Sejujurnya, di seberang sana, Megan shock minta ampun.

Violette pun melanjutkan, "Demi Tuhan, Meg…aku belum siap. Aku bahkan masih sering malu-malu saat berada di dekat Justin. Aku pun ragu apakah Justin mau melakukannya denganku atau tidak. Dia bahkan mengejekku tidak seksi, tadi siang." Violette menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku ingin meminta bantuanmu…atau saranmu. Apa yang harus…kulakukan? Dia ada di luar, sepertinya sedang menonton TV."

Namun, sialnya, Megan malah tertawa terbahak-bahak.

Tawa Megan terdengar puas dan kencang sekali; Violette sampai menyumpahi gadis itu berkali-kali. Tawanya itu semakin membuat Violette frustrasi; Violette jadi menjambak rambutnya sendiri.

"Tertawa saja sesukamu, ya?!!" bentak Violette sarkastis.

"Duh-duh, Kak Violette..." Megan masih tertawa.

Mata Violette memelotot. "Mengapa kau jadi ikut-ikut Evan? Hentikan 'Kak'-mu itu! Menjijikkan sekali jika kau yang menyebutnya, tahu!”

"Kak Violette cerewet sekali, deh..." ledek Megan. Violette jadi ingin menelan sandal saat itu juga.

Akan tetapi, beberapa saat kemudian, Megan pun berhenti tertawa. Dia mulai menormalkan suaranya.

"Begini,” katanya. “Kau jalani saja malammu seperti biasa…tanpa terpengaruh dengan apa yang Bibi Locardo perintahkan padamu. Lakukan saja apa yang ada di dalam hatimu, yang kau inginkan. Nanti aku akan membantumu."

Violette mengernyitkan dahi. "…Membantu dengan apa?"

"Sudahlah, kau tak perlu banyak bertanya. Aku kenal kau, jadi aku tahu bagaimana cara membantumu. Jalani saja malam ini dengan baik, oke? Selamat malam, Violette! Buat Justin jatuh cinta dengan—ekhem—dirimu, ya? Hahaha!"

Sialan.

‘Jatuh cinta dengan dirimu’? Oh, Tuhan, apa-apaan itu?! Genit sekali!!!

Dengan tawa gilanya itu, Megan pun mematikan panggilan telepon mereka.

Violette menghela napas pasrah. Memangnya apa yang bisa ia lakukan?

Sudahlah, rasanya pusing sekali memikirkan semua itu. Megan malah membuat Violette tambah pusing. Jika biasanya Violette akan ikut ‘menggila’ bersama Megan, kali ini dia tak bisa melakukan itu. Kasusnya berbeda.

Violette menaruh ponselnya di atas nakas dan langsung berbaring telentang di ranjang. Lampu kristal kamar tiba-tiba terlihat begitu menyilaukan.

Dia memutuskan untuk percaya pada Megan. Ya, jalani saja malam ini seperti biasa.

Tak lama kemudian, dia mendengar ketukan di pintu kamarnya dan dia terkesiap. Justin masuk dalam keadaan masih shirtless, tetapi dengan celana yang berbeda (pintu kamar sudah tidak terkunci, by the way). Justin baru saja mau menutup pintu kamar itu ketika tiba-tiba Violette membuka suara.

"Aku masih marah padamu," katanya. "Kau tidur di luar saja."

Justin mengernyitkan dahi

"Ada apa?" tanya Justin. Violette menggigit bibirnya.

"Tidak ada. Aku sedang tak ingin melihatmu. Kumohon keluarlah. Biarkan aku tidur sendiri di sini."

Justin menatap Violette dengan mata yang menyipit.

"Sayangnya, sewaktu di kamar mandi tadi, kau bilang aku boleh melakukan apa pun." Nada bicara Justin terdengar begitu…dingin. Beku. Mencekam. Dia memenjarakan Violette dengan tatapannya.

Namun, Violette berusaha keras untuk menghindari tatapan mata Justin. Itu semata-mata agar dia bisa berbicara—atau bahkan berteriak—dengan benar.

Suara Justin kembali terdengar.

 

"Aku menginginkan sesuatu..."

 

Namun, sayangnya, saat ini Violette hanya peduli dengan ‘apa yang dia rasakan’, bukan apa yang Justin katakan.

"Bisa tidak, sih, kau keluar saja?! Aku tak mau tidur sekamar denganmu!!!!!" teriak Violette. Sebenarnya, saat ini…ia lebih merasa malu daripada marah.

Setelah meneriakkan itu, situasi berubah jadi sangat hening. Violette langsung mengarahkan tatapannya kepada Justin. Akan tetapi, saat melihat Justin…matanya membeliak. Ia cukup terkejut.

Di depan sana, kedua mata Justin masih menatap Violette dengan intens. Namun, terkandung sebuah…kekecewaan di mata itu. Ada juga rasa bingung yang seolah-olah ingin dia coba untuk mengerti sendiri.

Tanpa berkata apa pun, Justin pun berbalik. Dia membuka pintu kamar itu dan keluar.

Violette menunduk.

 

******

 

Ini sudah jam sebelas malam, tetapi Violette belum bisa tidur.

Gadis itu masih terjaga; dia memikirkan betapa berlebihannya reaksinya kepada Justin. Ia menyumpahi dirinya sendiri. Mulutnya—yang tak sengaja berteriak seperti itu kepada Justin—sungguh menyebalkan, padahal Justin tidak berniat apa-apa.

Violette sudah mematikan lampu kamar. Sepertinya, lampu di luar kamar juga sudah mati. Mungkin, Justinlah yang mematikannya.

Malam ini…hujan tiba-tiba turun. Sejak satu jam yang lalu, sih. Suasananya terasa…sedikit mencekam; ranjangnya jadi dingin meskipun dia berusaha untuk mengurung seluruh tubuhnya di dalam selimut. Selain itu, kamarnya gelap.

Sunyi... Hanya suara hujanlah yang bisa ia dengar.

Samar-samar, ia mendengar bunyi ponselnya yang terletak di atas meja nakas. Pertanda bahwa ada sebuah pesan masuk.

 

Pesan itu dari Megan.

 

Violette pun membukanya.

 

From: Megan

Ketika hujan turun, kau mendengar sebuah ketukan di kamarmu.

Kau menutup dirimu dengan selimut, berharap kalau itu bukanlah apa-apa.

Namun, karena merasa terganggu, akhirnya…kau mencoba untuk membuka matamu.

Terlihatlah sosok itu di depan sana. Sosok mengerikan…yang tengah menyeringai padamu. Ternyata, sosok itu sudah ada di sana sedari tadi, di dekat jendelamu.

Ternyata, dia mengetuk jendelamu dari dalam, bukan dari luar...

 

BANGSAT.

 

Violette kontan membuka selimutnya. Dia berlari terbirit-birit keluar kamar dengan jantung yang berdegup kencang. Dia lalu menuruni tangga dan pergi ke ruang tengah, tempat menonton TV. Violette langsung meraba-raba keberadaan Justin (karena gelap) dan menemukan pria itu sedang tertidur di sofa.

Dengan jantung yang serasa ingin meledak itu—seperti dikejar-kejar seseorang—Violette pun berlutut di samping Justin dan mengguncang pelan lengan pria itu. Tangan Violette bergetar. Gadis itu berkali-kali meneguk ludahnya.

"Justin, bangun... Justin..."

"Justin...bangun..."

"Justin...aku takut..."

"Justin..."

Saat merasakan sedikit pergerakan dari tubuh Justin, Violette langsung menghela napas lega. Dia memandangi Justin dengan penuh harap. Dia juga ingin meminta maaf kepada Justin.

Perlahan-lahan, Justin menoleh kepadanya.

Violette menunduk. Tangannya mulai mencengkeram lengan Justin.

"Justin, aku... Aku minta maaf..." ujar Violette penuh sesal. Akan tetapi, gadis itu masih bergetar ketakutan akibat SMS Megan.

"Aku tidak bermaksud untuk membentakmu seperti itu... Temani aku, Justin... Maaf, ya..."

"Dasar Nona keras kepala," jawab Justin lirih. Suaranya rendah dan serak, pertanda bahwa ia baru saja dibangunkan dari tidurnya. "Kemarilah."

Tanpa bantahan apa pun, Violette langsung naik ke sofa dan mencoba untuk ikut berbaring di sebelah Justin. Justin membantunya naik dengan memegang tangannya.

Kini, ia sudah berbaring di dalam pelukan Justin. Justin masih belum memakai baju, padahal cuacanya dingin. Oh, di sini juga tidak ada selimut. Lagi-lagi…Violette merasa bersalah pada Justin.

Violette semakin merapatkan dirinya pada Justin; kali ini, dia benar-benar mencium dada bidang Justin. Wanginya memabukkan. Bahu pria itu tampak lebar...dan mengagumkan. Otot-otot lengan Justin menekan tubuh Violette. Baru kali inilah Violette benar-benar merasakan otot-otot itu secara langsung tanpa ada halangan apa pun.

Napas Justin terdengar teratur. Apa Justin sudah tertidur lagi?

Rasanya hangat sekali. Berada di dalam dekapan Justin selalu terasa nyaman dan hangat. Akan tetapi, meskipun sekarang pipi Violette mulai merona, dia masih merasa bersalah.

Akhirnya, dia putuskan untuk bertanya.

"Justin..." panggilnya pelan. Hampir seperti bisikan.

 

"Hm."

 

Mata Violette membulat. Oh, Justin masih menjawab. Syukurlah, pria itu belum kembali tertidur.

Violette menempelkan kepalanya di dada Justin, lalu menghirup wangi tubuh pria itu. Violette malu, tetapi…ia suka wangi Justin.

"Tadi, kau bilang…kau menginginkan sesuatu. Sebenarnya, kau mau apa? Di kolam renang tadi, kau juga sempat bilang kalau aku melupakan sesuatu,” ujar Violette.

Justin diam. Hanya napas pria itulah yang terdengar pelan, membuat Violette merasa aman di tengah ketakutannya. Di tengah hujan deras malam ini.

"Justin...katakan padaku. Aku ingin mendengarkannya. Apakah itu satu hal yang sama? Kau menginginkan...apa?" tanya Violette sekali lagi.

Satu detik kemudian, Justin melepaskan pelukannya. Hal ini membuat Violette sedikit melebarkan mata. Kini, pria itu menunduk…agar bisa menatap mata Violette.

Meskipun saat itu suasananya gelap, Violette tahu jelas bahwa mata Justin mulai menatapnya begitu…dalam. Intens. Seakan-akan menatap hingga ke dalam jiwa Violette.

Hal itu membuat Violette jadi lemas. Tak bisa bergerak. Meskipun gelap, Violette sadar bahwa…sorot mata emas Justin berbeda malam ini.

Mata itu bak berkabut…menerawang...menyesatkan...dan melumpuhkan Violette.

 

"I want you..." bisik Justin. "on my bed... now." []

 














******










Hayoloh mbak vio, mau di-unboxing tuh...wkwk






No comments:

Post a Comment

My Cold CEO, My Perfect Seducer (Chapter 18: What Do You Want?)

****** Chapter 18 : What Do You Want?   ******   Author: PAGI INI, Violette dan Justin mengantar Nathan pulang. Nathan duduk di...