Chapter
1 :
A
God on a Mountain
******
DESA
SHINREI tidak pernah dilanda hujan lebat berbadai.
Catat
kenyataan itu.
Soalnya,
itu seratus persen benar. Cuaca di desa itu selalu bagus, tidak panas hingga
kemarau dan tidak juga hujan lebat terus menerus, apalagi sampai dilanda badai.
Para petani selalu melakukan panen yang melimpah dengan hasil panen yang bagus,
begitu juga peternak dan nelayan. Desa tersebut memiliki tanah yang subur,
sumber daya alam yang melimpah, dan penduduknya selalu hidup rukun. Mereka
saling membantu satu sama lain. Lingkungannya bersih, penduduknya amat rajin
melakukan gotong royong untuk membersihkan lingkungan desa. Jika kau bersepeda
di sore hari dengan langit yang berwarna oranye lalu kau melewati sawah,
pepohonan, ataupun sungai di desa itu, percayalah, pemandangannya mampu
membuatmu seolah terhipnotis.
Namun,
Desa Shinrei tidak sendirian. Ia sering disebut “Desa Kembar”.
Kembar
yang dimaksud mungkin tidak begitu memiliki arti secara harfiah. Begini
maksudnya: di sebuah pulau yang bernama Pulau Tennmei, terdapat dua buah
desa yang berdampingan. Desa Shinra dan Desa Shinrei namanya. Karena mereka
berdampingan di sebuah pulau dan memiliki nama yang nyaris sama, mereka lantas
disebut “Desa Kembar” walau sebenarnya kebudayaan mereka sedikit berbeda.
Di
antara kedua desa yang bernama Shinra dan Shinrei tersebut, terdapat sebuah
gunung yang bernama Gunung Kouzu. Nah, jika kau kurang percaya soal Desa
Shinrei yang tidak pernah dilanda cuaca buruk, kau mungkin akan lebih tidak
percaya lagi dengan apa yang tinggal di gunung tersebut.
Konon
di gunung tersebut tinggallah seorang dewa yang masih hidup hingga saat ini. Dewa
tersebut adalah Dewa Kemakmuran yang biasa diagungkan oleh penduduk Shinra dan
Shinrei. Dewa itu adalah tempat para penduduk desa meminta pertolongan; ia
menjadi kunci kemakmuran banyak orang bahkan di luar Pulau Tennmei. Seiring
waktu, dewa tersebut jadi memiliki banyak panggilan. Kadang ia disebut dengan
“Dewa Kemakmuran”, “Dewa Keberuntungan”, bahkan terkadang ada yang berkata
bahwa dia itu adalah “Dewa Perang”.
Kembali
lagi pada pembahasan utama: Desa Shinrei tidak pernah dilanda hujan
lebat berbadai.
Namun,
selama beberapa hari ini—satu minggu, tepatnya—Desa Shinrei selalu dilanda
hujan lebat, angin kencang, dan juga petir besar. Keadaan tersebut berlangsung
tanpa henti. Dahsyatnya cuaca buruk itu membuat warga enggan keluar rumah,
bahkan ada yang takut karena petir yang menggelegar seakan bersahut-sahutan.
Semua lahan kini digenangi air; sungai meluap hingga menyebabkan banjir.
Anehnya, semua ini hanya terjadi di Desa Shinrei. Desa Shinra tidak
mengalaminya sama sekali, cuaca mereka aman-aman saja, mereka bekerja
seperti biasa dan hari-harinya tidak mengalami kendala sama sekali, padahal
Shinra dan Shinrei berdekatan. Itu seharusnya mustahil karena mereka berada di dalam satu pulau yang tidak begitu luas!
Hal
inilah yang menyebabkan penduduk desa curiga. Apa kita punya salah, ya, pada
Dewa Kemakmuran?
Habisnya,
ini baru pertama kalinya selama ribuan tahun. Mereka semua tahu itu karena di
Desa Shinra dan Shinrei terdapat juru kunci yang mengetahui sejarah Pulau
Tennmei.
“Habislah
kita semua, Dewa sepertinya sedang mengutuk kita!”
batin seluruh penduduk Desa Shinrei. Mereka semua ketakutan, terutama ketika
seminggu sudah berlalu.
Namun,
hari ini agak berbeda. Ini hari kedelapan sejak huru-hara soal badai melanda.
Hari ini hujan mulai berhenti, tetapi masih gerimis. Petir masih ada, tetapi bukan
petir menggelegar, melainkan hanya gemuruh kecil yang disertai dengan kilat.
Mungkin
inilah sebabnya pagi ini Hiyori mendengar samar-samar suara warga desa di depan
rumahnya. Suara mereka lama kelamaan semakin besar seolah mereka sedang
mendekat. Agaknya, mereka beramai-ramai pergi ke rumah Hiyori, entah apa
alasannya. Hiyori yang saat itu sedang menarik selimut karena kedinginan,
mendadak mengernyitkan dahi karena mendengar suara berisik warga di depan rumahnya.
Setelah itu, Hiyori mendengar pintu rumah terbuka, lalu ayahnya berbicara,
“Semuanya, ada apa kemari?”
Hiyori
akhirnya terbangun karena ia mulai merasa ada yang tidak beres. Ia mengedipkan
mata beberapa kali—menyesuaikan pandangan matanya karena baru saja
terbangun—dan langsung bangkit dari tempat tidurnya. Ia melakukan peregangan
sebentar, lalu langsung berdiri dan berlari ke dekat pintu, berusaha untuk menguping
pembicaraan di depan rumahnya berhubung kamarnya tidak begitu jauh dari pintu
utama rumahnya. Rumah itu adalah rumah panggung.
Hiyori
meneguk ludah. Ada apa ini?
Tiba-tiba pintu kamar Hiyori terbuka. Hiyori terperanjat bukan main hingga ia hampir
melompat ke belakang. Di sana Hiyori melihat ayahnya yang sedang menatap ke arahnya
dan langsung menarik tangan kanannya seraya berkata, “Ikut Ayah sebentar.”
Sesampainya
di depan pintu, Hiyori disuguhkan dengan pemandangan di mana di depan rumahnya
terdapat sekitar enam orang pria (Hiyori kenal mereka) yang sedang berdiri di atas
rakit. Di luar masih banjir, tentu saja. Di dekat Hiyori ada ayahnya serta ibu
dan adik kecilnya yang bernama Mamoru.
“Katakan
langsung saja pada Anakku,” ucap ayah Hiyori tiba-tiba, membuat Hiyori
keheranan setengah mati. Alisnya menyatu, lalu ia berkata, “Ayah, ada apa ini?!”
Ayahnya
Hiyori, Shizu Teshiro, menatap anak sulungnya itu dan tersenyum lembut.
Tatapannya membuat siapa pun yang menatapnya akan merasa damai. “Dengarkan saja
dulu, Nak, mereka ingin meminta tolong kepadamu.”
Hiyori
langsung menatap ke arah para pria yang ada di depan rumahnya tersebut. Tidak
butuh waktu lama, salah satu dari mereka pun mulai membuka suara, “Jadi, Hiyori, kami
ke sini karena ingin meminta tolong kepadamu. Maaf kalau ini terkesan seperti
kami sedang melakukan unjuk rasa ke rumahmu—karena kami tidak bermaksud seperti
itu—dan mungkin ini membuat keluarga Shizu terganggu.”
Hiyori
diam. Ia menggigit kecil bibir bawahnya dengan canggung, lalu mengangguk.
Pria
itu—dia adalah tetangga Hiyori, ayahnya Jouji—kembali berbicara, “Kami sudah
memberitahu ayah dan ibumu. Kami ke sini sebagai perwakilan dari penduduk desa.
Ini perihal badai yang sudah satu minggu ini melanda desa kita.”
“Ada
apa, Pak?” tanya Hiyori, memastikan apa yang sedang mereka inginkan.
Pria
itu terdiam. Mereka berenam kemudian saling bertatapan, mengangguk, hingga
akhirnya ayahnya Jouji kembali menatap ke arah Hiyori. Raut wajahnya kini
tampak semakin serius.
“Hiyori,
tolong pergilah temui Dewa Kemakmuran kita. Selama satu minggu ini beberapa
dari kami sudah mencoba untuk memberikan persembahan seperti biasa kepada Dewa,
tetapi tidak ada yang berhasil karena dahsyatnya badai. Seakan-akan kita semua
memang tidak diizinkan untuk naik ke sana dan memberinya persembahan. Dewa
mungkin marah pada kita, jadi kita dikutuk seperti ini. Kami sudah memastikan
kepada orang yang mengantarkan persembahan delapan hari yang lalu—sehari sebelum
semua bencana ini terjadi—dan ia berkata bahwa ia tidak melakukan kesalahan.
Jadi, semua orang bingung di mana kesalahan desa kita. Tidak ada orang yang
melakukan hal yang tidak baik juga.”
Hiyori
mendengarkan semuanya, tetapi ia justru jadi mengernyitkan dahinya keheranan. Sebentar,
ada yang aneh.
“Mengapa
harus aku?” Akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulut Hiyori.
Pria
yang lain kemudian berbicara, “Hiyori. Tetua Desa, Raiden-sama, pernah
menyuruhmu untuk mengantarkan persembahan kepada Dewa Kemakmuran kita, ‘kan, sembilan
hari yang lalu?”
Hiyori
mengangguk. Saat itu Hiyori sedang dalam perjalanan pulang selepas disuruh
ibunya untuk berbelanja sayuran di tempat Ibu Satomi. Seperti biasa, ia selalu
melewati rumah kayu berwarna coklat kemerahan milik Raiden-sama ketika pulang
dari berbelanja sayuran. Saat itulah Raiden-sama berbicara kepadanya. Ia kira
hari itu ia dan pria tua yang sudah bungkuk itu hanya akan mengobrol sekilas,
tetapi rupanya ia salah. Raiden-sama mendadak meminta tolong kepadanya
untuk mengantarkan persembahan kepada Dewa di Gunung Kouzu. Hiyori memang
keheranan dengan permintaan itu sebab biasanya orang yang naik ke gunung untuk
mengantarkan persembahan adalah orang-orang dewasa yang luhur dan terpercaya.
“Hari
ini gilirannya Otoya, tetapi dia sedang sakit, Hiyori. Orang-orang selain Otoya
hari ini sedang pergi ke Desa Shinra untuk bersilaturahmi. Aku tidak bisa naik
ke sana karena tubuhku yang sudah tua ini,” kata
Raiden-sama seraya tertawa dengan ramah saat itu. “Kau sudah mulai dewasa
dan kau anak yang baik. Ketika kubayangkan kau naik ke sana, aku tidak
punya firasat yang buruk sama sekali. Dewa akan menyukaimu.”
Begitulah
bunyi perkataannya.
Mau
tidak mau, karena Raiden-sama adalah Tetua Desa sekaligus orang yang sangat
baik serta sangat dihormati di sana, Hiyori langsung menyetujuinya setelah
mengantarkan sayuran yang ia beli tadi ke rumahnya. Itu pertama kalinya Hiyori
ditugaskan untuk mengantarkan persembahan pada Dewa.
“Orang
yang datang untuk memberikan persembahan kepada Dewa satu hari setelah
kau mengantarnya—dengan kata lain delapan hari yang lalu, sehari sebelum
bencana ini terjadi—itu sempat berkata bahwa Dewa tampak tidak senang saat
melihatnya mengantarkan persembahan, padahal isi persembahan itu selalu sama
dan disiapkan oleh Tetua Desa,” ujar salah satu pria bernama Naoto.
“Aku
masih tidak mengerti, sangkut pautnya denganku apa, Naoto-san?” tanya
Hiyori sekali lagi.
“Hiyori,”
ujar ayahnya Jouji—Jinzo namanya—seraya menghela napas. “Sebenarnya apa
yang terjadi saat kau mengantarkan persembahan itu kepada Dewa?”
Mata
Hiyori terbelalak.
Setelah itu, Jinzo melanjutkan, “Tetua Desa bilang, Dewa ingin kaulah yang mengantarkan
persembahan itu ke kuilnya, Hiyori, atau bencana di Desa Shinrei tidak akan
pernah berakhir.” []
******
Note : kata "Kami-sama" (神様) dalam bahasa Jepang berarti "Tuhan" atau "dewa". Kata "Kami" (神) berarti "Tuhan" atau "dewa", sedangkan "sama" (様) merupakan bentuk panggilan atau honorific untuk menunjukkan superioritas, kemuliaan, atau keagungan.
Ini sebenarnya aku ada mau ngasih tau sedikit. Kedepannya mungkin aku bakal taruh foto-foto Hiyori atau Dewa Hymen yang kucari secara random di internet. Aku biasanya cari yang kira-kira mirip dengan mereka. Jadi, jangan heran kalo tiba-tiba kalian liat foto itu ternyata karakter yang kalian kenal. Soalnya emang sebagian aku ada dapat foto yang ternyata karakter game Genshin Impact lah, karakter novel Renegade Immortal lah, karakter anime Nagi no Asukara lah, karakter 3D, karakter AI, dll...wkwk. Ya pokoknya kalo mirip yaa kuambil aja :D Susah soalnya nyarinya.
Intinya rambut Dewa Hymen itu putih keabuan gitu. Kalo Hiyori rambutnya ungu. Jadi, kalo aku pasang foto yang rambutnya putih keabuan atau ungu, itu pasti foto mereka.
No comments:
Post a Comment