Chapter
1 :
Statue
******
ZOYA
tersentak
dari tidurnya saat bus tiba-tiba mengerem. Kepalanya terdorong ke belakang dan matanya
langsung melebar.
Cuaca
mendung hari ini agaknya membuat pandangan mata sopir bus sedikit mengabur, atau
mungkin sopir bus yang tengah mereka sewa untuk berkemah sehari setelah mereka
wisuda ini mendadak mengantuk karena angin yang sejuk—dan mungkin agak dingin—serta
cuaca yang mendung. Langit siang ini terlihat sedikit gelap.
Singkatnya,
untuk
memperingati hari wisuda mereka, Zoya bersama kesepuluh temannya berencana
untuk pergi ke sebuah hutan yang disebut dengan Sage Forest untuk berkemah
selama tiga hari dua malam. Ini terdengar seperti Zoya juga ikut serta dalam
merencanakan perkemahan tersebut, tetapi sebenarnya tidak. Zoya sebenarnya
tidak ingin ikut serta.
Ini
terjadi karena sejak awal Zoya tahu bahwa teman-teman seangkatannya ini pasti
akan mengajak Elias, mantan kekasihnya.
Bukan,
bukan karena mereka sengaja ingin menjaili Zoya, tetapi karena Elias adalah
bintang di angkatan mereka. Elias adalah sosok pemuda dengan rupa yang
diberkati oleh Tuhan. Dia tampan dan tubuhnya atletis. Jika kau memberi
pertanyaan kepada seluruh mahasiswa—maupun dosen—berupa: “Apakah menurutmu
Elias adalah mahasiswa universitas kita yang paling tampan?” maka semua orang akan
mengiyakannya tanpa berpikir dua kali.
Dari
sekian banyaknya mahasiswa dan mahasiswi di angkatan mereka, yang diajak hanyalah
sepuluh orang. Zoya terseret ikut karena Inez, teman baiknya, berteman juga
dengan July, perempuan yang mengadakan acara kemah ini.
Inez
berkali-kali memohon kepada Zoya untuk ikut serta sebab Zoya adalah temannya
yang paling akrab. Ia sangat ingin mengikuti acara kemah ini dan semuanya akan
menjadi pointless kalau Zoya tidak ikut. Ia menghabiskan waktu
sekurang-kurangnya tiga hari untuk membujuk Zoya karena Zoya awalnya sangat
kukuh tidak mau ikut serta. Singkat saja, Zoya tak mau ikut karena ia tahu
bahwa pasti akan ada Elias Archer di sana.
Semua
kalimat permohonan dari Inez tidak ada yang mempan, tidak ada yang bisa
menembus pertahanan Zoya, hingga akhirnya ada satu kalimat yang mempan. Satu
kalimat yang berhasil membuat jantung Zoya serasa tertusuk panah yang sangat
tajam.
“Zoyaaa,”
rengek Inez saat itu. “Ayolah. Aku sudah bilang pada July bahwa aku akan
mengajakmu dan July sudah setuju. Kalau kau tidak ikut, bukankah semua orang
jadi berpikir bahwa kau sengaja menghindari Elias? Bukankah kau akan malu jika
semua orang menganggapmu gagal move on?”
Sialan.
Kira-kira
kalimat itulah yang berhasil mengubah pikiran Zoya. Akhirnya, mau tidak mau, suka
tidak suka, dia memaksakan dirinya untuk ikut. Dia memaksakan tubuhnya untuk menahan
semua rasa enggannya. Dia memaksakan diri untuk bersikap biasa saja meski
rasanya ia ingin menghilang ditelan bumi. Dia pun mem-packing barang-barangnya
walaupun sambil menggerutu.
Mereka
sepakat untuk berkumpul di depan rumah July karena bus yang mereka sewa itu
diarahkan untuk menunggu di depan rumah July. Pembayaran sewa bus itu dibagi
sepuluh (karena ada sepuluh orang yang ikut), tetapi yang menyewa ke agennya
adalah July. Sebelum naik ke bus—saat masih menunggu keberangkatan—Zoya sempat
melihat Elias berdiri di depan sana, sedang mengobrol bersama teman-temannya
yang lain. Kaus v-neck hitam yang ia pakai tampak begitu cocok di tubuh
atletisnya. Dia memakai luaran berupa jaket jeans yang berwarna denim.
Lengan jaketnya digulung ke atas hingga nyaris mencapai siku dan ia memakai jam
tangan. Bentuk tubuhnya, lengan berotot dan beruratnya, hari ini semuanya terlihat
jelas. Rambut kecoklatannya terlihat begitu keren seperti biasa dan hari ini ia
juga memakai sebuah kalung yang mungil dan tipis. Kalung itu benar-benar memperlihatkan
keindahan leher serta jakunnya. Rahangnya yang tegas itu juga membuatnya
terlihat maskulin. Style Elias memang selalu macho, tetapi hari
ini dia terlihat lebih hot. Apa jangan-jangan dia mau pamer bahwa dia
sudah single sekarang?
Sesekali
pemuda itu tersenyum tipis tatkala merespons obrolan teman-temannya. Dia
dikerumuni; dia adalah tipikal anak yang paling populer di kampus dan hampir
selalu terlihat tidak pernah sendirian. Jika para perempuan tidak
mengerumuninya maka ia akan terlihat bersama teman baiknya, Hayes Jensen. Sebenarnya,
dia adalah tipe pemuda yang cukup pendiam (dia bicara seperlunya), tetapi dia
tetap disenangi oleh orang-orang karena dia tidak angkuh. Dia juga suka
berolahraga sehingga banyak laki-laki yang berteman dengannya. Dia tidak
pilih-pilih saat mengobrol dengan orang lain dan tetap menjawab pertanyaan
mereka dengan baik meskipun hanya seperlunya.
Akan tetapi, teman yang paling dekat
dengannya hanyalah Hayes.
Saat
itu, Elias sempat menatap balik ke arah Zoya. Cepat-cepat Zoya menundukkan
kepala dan berpura-pura melihat ke ponselnya; Zoya berpura-pura biasa saja,
padahal aslinya dia panik bukan main. Hal yang bolak-balik ia scroll di
ponselnya adalah menu Pengaturan. Soalnya, kan, ia hanya pura-pura.
Saat
mereka akhirnya masuk ke dalam bus, Zoya langsung mencari tempat duduk di
tengah-tengah dan bagian kiri dekat jendela. Ia langsung menarik Inez untuk
duduk di sebelahnya. Dia tak ingin melihat Elias lagi. Tadi Zoya sudah hampir
tergoda untuk terus menatap penampilan Elias yang sungguh terlihat bersinar
hari ini.
Kembali
lagi ke masa kini saat bus tiba-tiba mengerem. Ketika Zoya
menengadah, memperhatikan apa yang ada di depan sana hingga membuat sopir bus
menekan rem dadakan, rupanya di sana ada beberapa pengendara motor yang ingin
melaju ke arah yang berlawanan. Ada sekitar tiga motor dan enam orang pria yang
menaikinya, yang jika diperhatikan, pakaian serta aksesoris yang mereka kenakan
semuanya sama. Mereka tidak memakai baju di bagian dalam (hanya memakai jas
hitam berbulu), memakai kalung panjang (hingga ke dada) yang pendant-nya…tidak
kelihatan bentuknya apa, dan memakai celana panjang berwarna hitam juga.
Mereka
semua tampak seperti baru pulang dari…pertunjukan? Atau sejenisnya.
Setelah
itu, keenam pria tersebut mengangguk dan tersenyum kepada sopir bus. Mungkin mereka
ingin meminta maaf secara implisit. Keenam pria itu meminggirkan motor mereka,
lalu bus pun berjalan kembali. Saat bus melewati keenam pria itu—tepatnya saat
mereka berada di samping jendela tempat di mana Zoya duduk—Zoya melihat bahwa
mereka semua masih tersenyum ramah.
Zoya
pun mengedipkan matanya satu kali, menghadap ke depan, lalu bersandar kembali
di kursinya.
This
is going to be a long day.
******
Saat kesepuluh penumpang bus itu
turun (lima laki-laki dan lima perempuan), bus itu pun mulai berbalik untuk pulang
setelah beberapa saat sopirnya berbicara dengan July selaku penyewa. Bus itu
akan kembali menjemput mereka setelah tiga hari dua malam.
Zoya menatap sekelilingnya; dia
sedikit mendongak agar dapat melebarkan jangkauan pandangannya hingga ke atas.
Dia sudah mencari informasi tentang Sage Forest di internet dan infonya, Sage
Forest memang sering dikunjungi oleh masyarakat lokal dan memang ada beberapa
manusia yang hidup di dalamnya. Hutan itu cukup aman dari binatang liar. Di
internet, dari foto-fotonya, Sage Forest memang terlihat seperti hutan kering yang
terawat dan tidak terlalu rimbun. Banyak sekali pohon-pohon yang tinggi, tetapi
tidak banyak semak-semak.
“Let’s go,” ajak Inez
tiba-tiba, gadis itu menepuk pelan lengan Zoya dan berjalan ke depan. Ternyata
hampir seluruh teman-teman mereka sudah mulai berjalan. Zoya kemudian merundukkan
kepala, mengeratkan pegangannya pada tas yang sedang ia jinjing, lalu menatap
ke depan dan mengikuti langkah teman-temannya.
Saat sudah berjalan masuk ke dalam
hutan, ada seorang pria paruh baya yang menjemput mereka. Pria itu adalah pemimpin
dari beberapa penduduk yang tinggal di dalam hutan itu, ia biasa menjadi tour
guide untuk orang-orang luar yang berkunjung. Pria itu tersenyum manis
kepada mereka, memperkenalkan dirinya sebagai Parker Dawson, dan mulai memimpin
jalan; pria itu memberitahu mereka banyak hal dengan nada yang bersahabat.
Tatkala mereka sampai di daerah yang
cukup luas (spasi berbentuk lingkaran di antara pohon-pohon), Mr. Parker pun
berhenti dan mulai memberitahu mereka bahwa mereka sudah sampai. Zoya memperhatikan
sekeliling. Tidak jauh dari sana ada danau dan danau itu ada di sisi kiri
daerah tersebut. Zoya bernapas lega saat mengetahui ada air di dekat mereka.
Setidaknya ia bisa mencuci ini-itu. Kalau untuk minum…mereka membawa banyak
stok air mineral.
Daerah
ini akan menjadi tempat mereka membangun tenda, begitu kata Mr. Parker. Mr.
Parker sempat memperingatkan mereka untuk tidak bermain terlalu jauh karena
takut terjadi sesuatu. Jika mereka tidak bermain terlalu jauh, Mr. Parker juga
dapat dengan mudah mengawasi mereka. Setelah Mr. Parker berpamitan, mereka
semua mulai membangun beberapa tenda yang masing-masing tendanya dapat memuat
tiga sampai empat orang.
******
Zoya berjalan sedikit menjauh dari
perkemahan mereka untuk mencuci tangan di dekat sebuah pohon; mereka bersepuluh
baru saja selesai makan siang. Sedikit terlambat, memang, tetapi masih
lebih baik daripada harus menahan lapar hingga malam tiba. Untungnya, mereka
sudah merencanakan acara kemah ini dengan baik. Jadi, seluruh alat masak, alat
makan, dan persediaan makanan, semuanya sudah tersedia dan tertata rapi di
dalam tenda khusus logistik.
Saat Zoya sedang mencuci tangan, ada
seekor kucing berwarna hitam yang mendadak mendekatinya. Zoya menatap kucing
itu sebentar dan lanjut mencuci tangan, tetapi tiba-tiba Zoya mendengar ada sesuatu
terjatuh di dekatnya.
Ya ampun. Kalung mutiara hitamnya
terjatuh ke tanah.
Baru saja Zoya ingin mengambil
kalung tersebut, Zoya mendadak terperanjat—hampir terjungkal ke
belakang—tatkala tiba-tiba kucing hitam yang tadi dilihatnya itu berlari
menghampirinya dan menggigit kalung tersebut, kemudian berlari kencang menjauhi
Zoya.
Zoya menganga. Mengerang frustrasi,
Zoya pun akhirnya berdiri dan berlari mengejar kucing tersebut, tetapi semakin
dikejar, kucing itu justru berlari semakin cepat karena merasa terancam.
“Hei, tunggu!!” teriak Zoya.
“Tunggu!!!”
Aduh, itu adalah kalung peninggalan
almarhum ibunya. Dia tidak bisa membiarkan kalung itu hilang!
Zoya kemudian berlari semakin
kencang hingga terengah-engah. Napasnya memburu, suaranya nyaris habis karena
terus-terusan berteriak. Namun, ternyata ia masih beruntung. Kucing itu
mendadak melepaskan kalungnya di tanah, lalu berlari menjauh.
Sesampainya Zoya di tempat di mana
kucing itu menjatuhkan kalungnya, Zoya pun langsung membungkuk dan memegang lututnya
untuk mengatur napas. Ia benar-benar terengah-engah; jantungnya berdetak tak keruan.
Rasanya sesak sekali.
Setelah napasnya mulai normal, Zoya
pun berdiri dan mencari keberadaan kalungnya. Ia sempat menyingkirkan rambut
panjangnya yang terurai itu ke belakang telinga tatkala mencari kalungnya di
tanah. Saat berhasil menemukan kalungnya itu, Zoya pun bernapas lega. Ia berjongkok
dan berencana untuk mengambil kalung itu, tetapi kemudian tangan Zoya terhenti.
…karena
tiba-tiba saja ada orang lain yang juga sedang berjongkok di depannya
dan mengulurkan tangan untuk membantunya mengambil kalung tersebut.
Napas
Zoya tertahan; ia langsung menatap orang tersebut dengan mata yang melebar. Akan
tetapi, ternyata itu bukanlah orang asing.
Itu adalah Elias.
“Zoe,” panggilnya
pelan.
Meskipun merasa kaget, ada sebuah percikan
yang tidak asing di dadanya saat akhirnya ia melihat Elias lagi di
hadapannya. Percikan kecil yang perlahan menyebar luas dan menggelitik dadanya.
Memori tentang mereka jelas belum menghilang, tetapi memori itu sudah dipaksa
untuk menguar kembali ke permukaan.
Akan tetapi, Zoya berhasil menguasai dirinya
sendiri. Untuk yang kesekian kalinya, ia kembali mengingatkan dirinya bahwa tiga
minggu yang lalu ia dan Elias tidak putus secara baik-baik. Pemuda ini
bersalah padanya.
Zoya
lalu menghela napas, mulai berdiri seraya bertanya, “Apa yang kau lakukan di
sini?” Tanpa sadar, nada bicara Zoya terdengar sedikit kasar.
Elias pun berdiri perlahan.
Menghadap lurus ke arah Zoya dalam jarak yang dekat. Setelah itu, pandangan
matanya melembut; ia tersenyum tipis kepada Zoya.
“It’s
been a long time, Zoe.”
Jantung
Zoya seakan berhenti berdegup. Napasnya tertahan.
Elias
masih memanggilnya Zoe. Panggilan khusus darinya untuk Zoya selama
mereka menjadi sepasang kekasih.
Zoya
berdeham, masih mencoba sekuat tenaga untuk tidak luruh atau kalah di
hadapan Elias. Ia tidak ingin terlihat lemah ataupun terlihat masih menyukai
keberadaan Elias. “Belum lama. Kita berpisah sekitar tiga minggu yang lalu.”
Elias
mengangguk pelan. Seraya tersenyum, suara rendahnya terdengar di telinga Zoya. “Yes.
It’s been quite long, for me.”
Zoya sedikit membuang muka, tidak
ingin menatap Elias. Ia tidak ingin melihat ke dalam mata indah milik Elias
yang kemarin-kemarin selalu bisa menjebaknya, selalu bisa menenggelamkannya.
Saat memandang mata Elias, dunia sekitarnya serasa mengabur dan ia seolah terhipnotis;
ia dibuat masuk secara sukarela ke dalam dunia Elias.
“Bagaimana kabarmu, Zoe?”
tanya Elias pelan.
“Bukan urusanmu,” tegas Zoya. “Sudah,
ya. Aku sudah menemukan kalungku. Aku mau kembali ke perkemahan.”
Tidak disangka-sangka, saat Zoya
baru saja ingin melangkah pergi, mendadak Elias menoleh ke samping. Pemuda itu terlihat
sedikit takjub, lalu berkata, “—tapi…ini sedikit mengejutkan. Ada
patung yang cukup besar di sini.”
Zoya mengernyitkan dahinya keheranan,
lalu gadis itu ikut menatap ke samping.
What
the hell?
Sejak tadi ada patung di sini! Mengapa
Zoya tidak menyadarinya?
Zoya menganga. Bisa-bisanya dia
tidak sadar bahwa dia berdiri di dekat patung sebesar ini sejak tadi!
Patung itu tingginya sekitar sepuluh
kaki. Berwarna putih dan memiliki sayap yang lebar. Zoya dapat melihat sayapnya
dengan jelas karena patung itu membelakangi mereka. Posisi patung itu terlihat
seperti orang yang sedang start jongkok sebelum berlari. Agaknya, kepala
patung itu sedikit tertunduk di depan sana, soalnya Zoya tidak dapat melihat
kepala patung itu.
Tanpa sadar, Zoya pun mengomentari
patung itu, “Mengapa bisa ada patung di sini? Ini di dalam hutan.”
“Ini kelihatannya sudah lama.
Mungkin bukan dibangun oleh penduduk yang tinggal di hutan ini, melainkan
peninggalan dari zaman dahulu,” jawab Elias, pemuda itu menilik patung
tersebut.
Zoya mengernyitkan dahi. Akan
tetapi, Zoya memutuskan untuk tidak memperpanjang pembicaraan tersebut. Ia tak
ingin berlama-lama membicarakan patung itu karena ia masih merasa tidak nyaman
berada di dekat Elias. “Ya sudah. Aku mau kembali ke perkemahan.”
Elias lalu menatap Zoya seraya
tersenyum dan mengangguk pelan. “Let’s go back together, Zoe.”
Zoya langsung berjalan dengan cepat demi
menghindari Elias. Dia kini memunggungi Elias. “Aku tak mau mereka melihatku
kembali ke sana bersamamu. Also, stop calling me that. We’re already over.”
Elias terkekeh
pelan. Zoya menahan diri untuk tidak menoleh ke belakang, ke wajah rupawan
Elias yang sedang terkekeh. Rasa marah dan sakit hati yang luar biasa ternyata
mampu membuat Zoya menahan dirinya.
“Zoe. Sudah tiga minggu ini aku tidak
bisa menghubungimu,” ujar Elias dengan suara rendahnya. Suaranya itu terdengar
pelan dan berat. “Apakah kau memblokir nomorku?”
Zoya terdiam. Zoya memang memblokir
nomor serta seluruh sosial media Elias. Ia benar-benar marah pada Elias saat
mereka putus tiga minggu yang lalu.
Ada jeda yang tercipta sejenak karena
Zoya tidak kunjung menjawab pertanyaan Elias. Hingga akhirnya suara maskulin Elias
terdengar kembali.
“Buka, ya. Ada banyak hal yang ingin
kukatakan kepadamu,” bujuk Elias pelan. “For me, as a matter of fact, you’re
still my Zoe.” []
******
Zoya
No comments:
Post a Comment