Chapter
2 :
Macrobian
******
SUARA
dedaunan
kering yang ada di permukaan tanah hutan tersebut terdengar mengeluarkan bunyi
gemerusuk tatkala Zoya berjalan di atasnya dengan sedikit terburu-buru. Bibir
Zoya terkatup rapat, dahinya berkerut, dan kedua alisnya menyatu. Ia mendengkus.
Di belakangnya ada Elias yang tengah berjalan mengikutinya tanpa mengatakan apa
pun.
Zoya
benar-benar merasa kacau. Ia heran, kesal, kecewa, dan tak habis pikir. Iya,
dia memang masih memiliki perasaan pada Elias, perasaan yang sejujurnya tak mau
ia akui. Dia juga masih menyimpan memori tentang Elias di dalam otaknya, tentu
saja, soalnya mereka belum lama putus. Akan tetapi, mendengar Elias
berbicara seperti itu padanya membuat pikirannya jadi semakin kalut. Mereka
putus karena bertengkar, Goddammit! Kalau memang mereka harus bertemu
karena kebetulan atau karena tidak punya pilihan lain, Zoya lebih memilih untuk
bertengkar saja dengannya daripada tiba-tiba mendapatkan pengakuan cinta
seperti ini. Ini seolah-olah Elias tak pernah menganggap kalau mereka sudah
putus. Sial. Kalau Elias seperti ini, Zoya takut dia akan lupa permasalahan di
antara mereka, lalu lengah dan akhirnya memaafkan Elias begitu saja. Lebih baik
mereka bertengkar saja untuk memperjelas masalah di antara mereka, supaya
hubungan mereka tidak ambigu. Soal bisa berbaikan lagi (sebagai teman) atau
tidaknya itu ya…urusan belakangan.
“Zoe,”
panggil
Elias dari belakang. Zoya tak menggubris panggilan itu dan masih berjalan
dengan cepat, berusaha untuk meninggalkan Elias. Ia tak mau berjalan
berdampingan dengan Elias. Ia takut hatinya akan goyah, padahal ia masih belum
memaafkan Elias.
Akhirnya,
langkah kaki Zoya mengantarkannya kembali ke area camp. Ia kembali
bersama dengan—atau lebih tepatnya diikuti oleh—Elias. Sesampainya di sana,
mereka berdua jelas langsung jadi bahan tontonan teman-teman mereka yang lain,
yang rupanya kini tengah bersama-sama mempersiapkan alat-alat serta bahan-bahan
untuk barbecue. July dan teman-temannya tengah mempersiapkan barbecue,
sementara ada juga dua orang laki-laki yang tengah mempersiapkan
kayu bakar untuk membuat api unggun nanti malam. Mereka semua jadi terdiam
sebentar tatkala mereka menoleh dan mendapati bahwa Elias dan Zoya tampak
kembali dari suatu tempat bersama-sama. Mereka lalu berpikir, ‘Ah, exes
talk.’
Ya
siapa, sih, yang tidak tahu kalau Elias dan Zoya itu berpacaran? Elias itu
populer di kampus dan hal itu jelas membuat Zoya jadi ikut-ikutan dikenal. Salah
satu dari teman mereka yang menyiapkan api unggun itu mendadak berpikir, ‘Sebentar,
jangan bilang camping ini jadi ajang bagi mereka berdua untuk berbaikan dan
kembali bersama?’
Namun,
sebagian dari mereka memilih untuk mengedikkan bahu, tak memedulikan hal itu
dan kembali fokus ke kegiatan masing-masing, kecuali para gadis. Agaknya, mata
mereka tetap memperhatikan Elias dan Zoya selama beberapa waktu, terutama July.
Ada rasa ketidaksukaan yang tersirat dari pandangan mata mereka.
Oh,
come on. Zoya itu cantik, tetapi terlalu plain. Bagi mereka,
banyak gadis yang lebih cantik dan lebih menarik daripada Zoya di kampus. Mereka
sebenarnya lebih senang kalau Elias itu single, biar bisa didekati dengan
bebas tanpa harus ada pertengkaran. Ya…walau sebenarnya Zoya tak pernah
mengajak mereka bertengkar. Gadis itu terlalu tertutup untuk bisa melakukan
itu.
Elias
memperhatikan Zoya yang kini langsung belok ke kanan; Zoya pergi ke arah tendanya
di mana ada Inez di sana yang juga sudah mulai berdiri dan berjalan
menghampirinya. Elias spontan melebarkan mata, dia langsung mencoba untuk
menghentikan Zoya.
“Zoe—”
“Elias!!”
panggil
July tiba-tiba, membuat Elias kontan menoleh ke arah gadis itu yang terlihat sedang
mempersiapkan alat-alat serta bahan-bahan barbecue di ujung sana. Selain
itu, ada beberapa gadis lain di sana yang juga tengah melambai pada Elias,
memanggil Elias dengan ramah dan antusias. “Ayo, sini! Kita mau barbecue-an,
nih!”
“A—ah,”
kata Elias, dia terdengar agak ragu sejenak. Matanya melirik Zoya yang sekarang
sudah sampai di depan Inez, lalu ia pun menghela napas. Akhirnya, Elias pun
menatap kembali ke arah teman-teman yang tadi sedang memanggilnya itu, lalu
melanjutkan, “okay. On my way!”
Elias
mulai berlari menghampiri teman-teman mereka yang ada di ujung sana dan ia
disambut dengan ramah dan tawa. Akhirnya, Elias jadi ikut membantu persiapan barbecue
itu.
Sementara
itu, Zoya melihat semua pemandangan itu dengan tatapan sendu. Ia hanya mematung
di sana dan menyaksikan semuanya dalam diam sampai akhirnya Inez memukul
pundaknya.
“Hei!”
panggil Inez, sontak membuat Zoya tersadar dan menoleh ke arah gadis berbando
putih itu. Inez lalu menghela napas. “Aku tadi melihatmu tiba-tiba berlari dan
berteriak. Aku mau mengejarmu, tetapi ternyata Elias sudah bergerak lebih dulu
untuk mengejarmu dan dia berkata padaku bahwa dialah yang akan menyusulmu. Ada
apa, sih, sebenarnya?”
Menatap
Inez yang membeberkan hal itu, Zoya pun membuang napasnya lewat mulut dengan
kuat seolah sedang lelah dan pusing. Lelah yang tak tahu tepatnya disebabkan
oleh apa, entah karena berlari atau karena permasalahannya dengan Elias.
Akhirnya,
Zoya pun mulai membuka suara.
“Waktu
aku mencuci tangan tadi, kalungku tiba-tiba putus dan jatuh ke tanah. Setelah
itu, ada seekor kucing yang menggigitnya dan membawanya kabur. Itulah yang
membuatku berlari; aku mengejar kucing itu sambil berteriak,” ujar Zoya.
“Ketika kucing itu sudah melepaskan kalungku, aku langsung berjongkok dan
berencana untuk mengambilnya, tetapi ternyata sudah ada Elias di depanku. Dia
juga mau mengambil kalung itu.”
Mendengar
itu, Inez pun mengangguk-angguk mengerti. Akan tetapi, kemudian Inez melebarkan
matanya. “Terus bagaimana? Apakah kalian berdua sempat mengobrol soal ‘kalian’?”
Zoya
mengernyitkan dahi. Soal kalian?
Ah.
Soal hubungan mereka.
Zoya
mendengkus. Ia hanya mengedikkan bahu dan mengalihkan tatapannya ke tanah.
Inez
yang menyadari bahwa Zoya menolak untuk bercerita itu akhirnya hanya menghela
napas. Inez kenal dengan Zoya, gadis itu memang sulit untuk langsung terbuka soal
apa yang sedang ia rasakan. Akhirnya, Inez hanya mengusap punggung Zoya dan
tersenyum lembut. “Ya sudah. Ingatlah bahwa aku akan selalu mendukung apa pun
keputusanmu jika itu adalah yang terbaik bagimu.”
Zoya
pun mengangkat kepalanya. Ia menatap Inez dengan tatapan sendu, lalu
menganggukkan kepalanya. Ia bersyukur memiliki sahabat seperti Inez yang mau
mengerti dirinya.
******
22 HARI YANG LALU
“Zoe,
wait!! Babe!” teriak Elias, mereka tengah berada di parkiran kampus dan
Zoya baru saja melepas genggaman tangan Elias secara paksa. Gadis itu tampak
berjalan dengan cepat, berencana untuk meninggalkan Elias tanpa mau mendengar
penjelasan apa pun. Akan tetapi, begitu mendengar panggilan Elias kali ini,
tiba-tiba Zoya berhenti melangkah. Elias lantas ikut berhenti.
Gadis
itu pun berbalik. Dia lantas menatap Elias dengan tajam. “Jangan panggil aku
seperti itu. Sudah kubilang aku ingin kita putus.”
Elias
mengusap rambutnya ke belakang, mencengkeramnya karena merasa frustrasi. “For
God’s sake, Zoe, aku tak mau putus denganmu! Mengapa kau melakukan ini?”
“Kaulah
yang terus curiga padaku!!” teriak Zoe. Untung saja tidak ada orang lain di
parkiran tersebut sehingga Zoe tidak harus menahan amarahnya. “Beberapa hari
belakangan ini, kau selalu membahas soal Jeremy dan terus mencurigaiku
seolah-olah aku berselingkuh dengannya!! Apa kau gila? Kami hanyalah teman satu
jurusan!”
“Sayang,”
panggil Elias. Pemuda itu mendekat, lalu memegang kedua pipi Zoe. Akan tetapi,
Zoe langsung melepaskan tangan pemuda itu. Elias lantas menghela napas dan
melanjutkan, “laki-laki tidak akan mendekatimu dan mengajakmu berbicara terus
menerus, terutama kalau tidak ada urusan. Laki-laki tidak akan terus
mendekatimu tanpa alasan, kecuali kalau dia menyukaimu.”
“Dia
melakukan itu karena kami adalah teman, Elias!” Zoe masih bersikeras.
Elias
menegapkan tubuhnya. Sebelah alis Elias terangkat. “Kalian tidak sedekat itu
sebelumnya.”
Zoya
berdecak. Ia menatap mata Elias dengan penuh amarah.
“Tetap
saja kami adalah teman satu kelas; kami sering berada di dalam kelas
yang sama!” bantah Zoya.
Elias
kembali menghela napas. Elias tahu bahwa kekasihnya ini keras kepala. Kekasihnya
ini bukan orang yang terlalu terbuka, tetapi keras kepalanya minta ampun. “Zoe,
Sayang, kita juga dulunya berawal dari teman. Bahkan, kita dulu hanyalah
sebatas kenalan.”
Zoya
tertunduk. Alisnya masih bertaut, tetapi ia mulai menggigit bibirnya. Kata-kata
Elias memang masuk akal, tetapi…tetapi tetap saja Elias bersikap berlebihan
kalau cemburu pada Jeremy! Zoya dan Jeremy jelas tidak punya hubungan apa-apa.
Percakapan yang mereka lakukan juga hanyalah tentang kaset-kaset jadul, buku horror,
teori konspirasi, dan lain-lain. Mereka juga tidak melakukan percakapan itu
sepanjang saat kok. Saat bercakap-cakap pun, tubuh mereka tidak bersentuhan.
Mereka tidak saling menempel satu sama lain hingga bisa membuat orang-orang
berpikir kalau mereka itu ‘dekat’. Jadi, rasanya sangat aneh kalau Elias
cemburu pada Jeremy. Untuk apa dia cemburu?
Lagi
pula, Zoya merasa tersinggung sekali kalau dicurigai seperti ini. Dia berasa
seperti perempuan murahan saja, dicurigai terus seperti ini. Seakan-akan dia
bukanlah wanita baik-baik yang dapat dipercaya.
Dengan
lembut, Elias mengangkat dagu Zoya menggunakan jemarinya. Membuat tatapan mata
Zoya langsung berserobok dengan tatapan mata Elias. Pandangan mereka terkunci;
Zoya dapat melihat dengan jelas kedua bola mata Elias yang indah, yang tengah
menatapnya dengan penuh permohonan. Ada rasa kesal yang masih tertinggal di
sana. Ada juga rasa cemburu, rasa sedih…tetapi semuanya diselimuti dengan kasih
sayang.
Elias
pun mulai berbicara dengan lirih, “Aku tak suka melihatmu dekat dengannya atau
dekat dengan laki-laki lain. Jangan dekat dengan laki-laki lain, Zoe.
Aku tak mau kehilanganmu. Kau itu kekasihku.”
Namun,
kata-kata Elias justru kembali menyulut amarah Zoya. Baginya, kata-kata Elias
barusan itu terdengar seperti tuduhan. Elias menuduh Zoya mendekati laki-laki
lain dan itu jelas membuat Zoya kembali tersinggung.
Tak
ayal, Zoya pun langsung menarik tangan Elias—yang tengah memegangi dagunya
itu—lalu gadis itu mengempaskan tangan Elias dengan kencang. Matanya menatap
Elias dengan nyalang, penuh dengan amarah.
“We’re
over,” tegas Zoya dengan suara yang terdengar begitu dingin.
“Aku tak mau berhubungan dengan orang yang menuduhku seenaknya seperti ini. Jangan
mengikutiku atau aku akan tambah membencimu. Aku tak mau melihatmu.”
Zoya
langsung berbalik dan berjalan meninggalkan Elias. Matanya mulai mengeluarkan
air mata. Sementara itu, Elias ada di belakang sana, mematung…dan kedua mata
pemuda itu tampak melebar tak percaya. Mulutnya terbuka, wajahnya blank. Otaknya
bahkan tak mampu mencerna apa yang baru saja Zoya katakan kepadanya. Dia
sungguh…tak habis pikir. Kakinya jadi kaku, tak bisa bergerak, padahal
ia sangat ingin mengejar Zoya dan menarik tangan gadis itu, memeluknya
serta menahannya agar hubungan mereka tidak berakhir seperti ini.
Akan
tetapi, mendengar Zoya berkata bahwa gadis itu akan membencinya…membuat
tubuhnya mematung.
******
Setelah
beberapa lama kesepuluh orang itu barbecue-an, satu per satu dari mereka
mulai bergerak untuk membersihkan diri. Mandi. Langit mulai menampilkan warna
oranye yang mirip seperti ikan salmon, tetapi lebih pucat karena sekarang belum
benar-benar senja.
Tadi
Zoya dan Inez akhirnya ikut membantu mempersiapkan api unggun dan juga membantu
mempersiapkan alat-alat serta bahan-bahan untuk barbecue. Mereka semua mengadakan
pesta barbecue itu dengan gembira. Tawa mereka menghiasi pesta itu dan
Elias jelas dikerumuni oleh semua orang, kecuali Inez dan Zoya. Para lelaki
mengajaknya mengobrol dan tertawa; para perempuan juga melakukan hal yang sama.
Sesekali para perempuan itu menempel pada tubuh Elias, memegang paha atau
memeluk lengannya (saat duduk), tetapi tampaknya Elias bisa melepaskan sentuhan
para perempuan itu dengan sopan tanpa harus membuat mereka tersinggung.
Zoya
menyaksikan itu semua dan jujur ada sesuatu yang terasa seakan menohok jantungnya.
Rasanya ada sebuah kecemburuan yang menggelitik dadanya, yang membuatnya agak
merasa sakit di dalam sana, tetapi ia mencoba untuk memalingkan wajahnya
dan tidak memperhatikan itu semua.
Hah.
Ikut ke sini memang merupakan ide yang buruk selagi ada Elias di dalamnya.
Jadi,
sore ini mereka mulai berpencar untuk mandi. Para lelaki mulai mandi di danau
bersama-sama, sementara yang perempuan mulai bergerak mencari rumah-rumah warga
untuk menumpang mandi. Mr. Parker berkata bahwa mereka semua bisa menumpang mandi
di rumah-rumah warga atau mendatangi warga apabila membutuhkan sesuatu.
Teman-teman
Zoya tengah mandi di rumah-rumah warga yang lain, sementara Zoya sore ini kebagian
mandi di rumah Mr. Parker. Rumah-rumah warga di sana semuanya terbuat dari kayu
dan merupakan rumah panggung, termasuk rumah Mr. Parker.
Mr.
Parker menyambut Zoya dengan hangat, lalu menunjukkan kepada Zoya di mana letak
kamar mandinya. Tanpa ba bi bu lagi, Zoya langsung mandi. Ia benar-benar
membersihkan dirinya dengan baik. Setelah selesai mandi, dia langsung berganti
pakaian di dalam kamar mandi itu, lalu ke luar.
Seraya
melangkah menjauh dari kamar mandi, Zoya mengeringkan rambutnya dengan cara
mengusap-usapkan rambutnya itu menggunakan handuk berwarna putih yang ia bawa.
Ia melangkah melewati dapur, lalu langkah kakinya itu kini membawanya hingga ke
lorong rumah Mr. Parker: lorong yang menyambungkan dapur dengan ruang tamu. Di
lorong yang lumayan panjang tersebut terdapat dua kamar yang berseberangan—berhadapan
satu sama lain, di sebelah kanan dan kiri—tetapi saat itu kedua pintu kamar
tersebut tengah tertutup.
Pada
dinding lorong yang sebelah kiri—kiri, kalau dari posisi Zoya saat ini—Zoya
melihat ada beberapa pigura yang tergantung. Bingkai dari foto-foto itu semuanya
terbuat dari kayu. Karena sedikit penasaran—dan tak sedang buru-buru
juga—Zoya pun mulai berjalan mendekati pigura-pigura tersebut.
Di
sana, Zoya melihat beberapa foto. Ada foto keluarga Mr. Parker, foto seorang
anak, lalu beberapa di antaranya adalah foto Mr. Parker. Ada foto Mr. Parker
yang sendirian, ada yang berfoto berdua, dan ada juga foto yang beramai-ramai. Tak
tahu siapa saja yang ada di dalam foto yang beramai-ramai itu, tetapi tentunya
ada Mr. Parker di sana.
Akan
tetapi, anehnya…foto-foto Mr. Parker tersebut terlihat seperti sudah lama
sekali. Fotonya hitam putih. Pakaian yang dikenakan oleh Mr. Parker dan
orang-orang yang berdiri bersamanya di dalam foto-foto itu kelihatan
seperti…pakaian orang-orang zaman dahulu. Apakah Mr. Parker dulunya hobi bermain
drama di pentas sehingga dia memakai kostum seperti itu?
Hmm,
bisa
jadi.
“Apakah
kau sudah selesai mandi?”
Zoya
kontan tersentak, jantungnya seakan berhenti berdetak sejenak karena kaget.
Gadis itu pun lantas menoleh ke samping kanannya, lalu mendapati Mr. Parker
yang ternyata sudah berdiri di ujung lorong, di dekat ruang tamu. Zoya pun
langsung menjawab, “A—ah…ya, Mr. Parker. Aku sudah selesai. Terima kasih
atas kamar mandinya, Mr. Parker.”
Mr.
Parker pun mengangguk dan tersenyum lembut kepada Zoya. Zoya balas tersenyum
padanya, lalu gadis itu mulai berjalan ke depan. Ke ruang tamu.
Tatkala
sampai di ruang tamu, Zoya pun merunduk hormat pada Mr. Parker dan kembali
berterima kasih. “Terima kasih, Mr. Parker. Aku akan kembali sekarang.”
Mr.
Parker mengangguk dan berdeham. “Sure. You’re welcome. Kalau ada yang
kau atau teman-temanmu butuhkan, beritahu aku, ya. Hati-hati.”
Mendengar
ucapan Mr. Parker yang sangat baik itu, Zoya pun tersenyum dengan tulus. “Baik,
Mr. Parker. Terima kasih.”
Setelah
melihat Mr. Parker balas tersenyum dengan ramah padanya, Zoya pun berpamitan
pada Mr. Parker dan berjalan keluar dari ruang tamu rumah milik pria paruh baya
itu, menuju ke pintu depan. Zoya lantas melangkah keluar dari pintu tersebut,
melewati teras depan rumah Mr. Parker, lalu turun ke bawah melalui tangga rumah
panggung itu.
Namun,
nahasnya, tatkala Zoya baru saja menuruni anak tangga terakhir rumah panggung tersebut,
mata Zoya menoleh ke samping kanannya.
Gara-gara
itu, dia jadi melihat apa yang ada jauh di depan sana. Di pinggir danau.
Namun,
meskipun jauh, Zoya masih mampu melihatnya dengan jelas.
Di
danau tersebut, Zoya memang bisa melihat para lelaki yang sedang mandi bersama
dengan bertelanjang dada. Ada Eddie, Hayes, Miller, dan Jack. Namun, bukan
itu fokus Zoya saat ini. Bukan itu yang membuat langkah Zoya terhenti. Bukan
itu yang membuat Zoya menyipitkan matanya karena heran. Bukan itu yang membuat
tubuh Zoya mematung.
Zoya
berhenti melangkah karena di pinggir danau itu ia melihat ada Elias.
Tidak, Elias tidak sedang mandi. Pemuda itu sedang berdiri berhadapan dengan
July dalam jarak yang sangat dekat. Selain itu, Zoya juga bisa melihat
bahwa saat ini July tengah menatap Elias dengan penuh kasih sayang
seraya memegang pipi sebelah kanan pemuda itu dengan lembut. []
******
Elias
No comments:
Post a Comment