Bab
1 :
Bersamanya
******
APABILA
seseorang
meniti karir sebagai fotografer, sebetulnya perjalanannya tidak selalu mulus.
Acap kali, orang mengira bahwa pekerjaan fotografer itu gampang sekali, seperti
orang yang sedang bersenang-senang. Ada juga yang mengira bahwa fotografer itu
bukanlah karir ‘utama’ atau sungguhan. Pertanyaan seperti, “Oh... Kamu tukang
foto, ya? Jadi, kapan mau cari kerja tetap, nih?” sering kali keluar dari mulut
orang-orang yang minta ditabok.
Terkadang pula, klien senang dengan
hasil jepretan kita, tetapi dia ingin memberi sentuhan lainnya seperti filter.
Sangat-sangat tidak menghargai hasil potret orisinalnya. Pokoknya ada saja problem-nya,
apalagi soal bayar membayar. Karya yang bagus tidak selalu dihargai dengan
bayaran yang setimpal. Sekali lagi, fotografer juga memiliki banyak masalah. Masalah
dengan modelnya, masalah dengan teman-teman yang selalu aji mumpung ingin
difoto tiap kali jalan bareng (tanpa bayaran), serta masalah dengan para SDM
rendah yang mengira kalau fotografer tugasnya hanyalah memfoto orang-orang yang
mau pre-wedding.
Josh
Andriano juga memiliki permasalahan yang kurang lebih sama. Dulu, saat
dia tengah menjadi fotografer di sebuah acara pernikahan anak anggota DPRD, dia
mendengar ada seorang anak muda yang mengomentarinya dari belakang. Kira-kira
yang Josh dengar itu begini: “Pantas fotonya bagus, kameranya itu pasti mahal
banget. Kalau aku punya kamera yang mahal, aku juga pasti bisa kayak dia.”
Ngg…nggak
salah dengar, nih?
Benar-benar
menyebalkan. Josh belajar menggunakan kamera itu selama bertahun-tahun, lho.
Bukan satu hari dua hari.
Josh
mulai merintis karirnya pelan-pelan secara part-time saat kuliah dan
baru benar-benar mendedikasikan dirinya sebagai fotografer sepenuhnya setelah
lulus kuliah. Layaknya pekerjaan yang lain, karir Josh juga awalnya naik turun.
Penuh dengan trial dan error. Terkadang bermasalah dengan klien,
terkadang juga bermasalah dengan dirinya sendiri yang kekurangan motivasi
ataupun kekurangan inspirasi. Namun, Josh begitu menyukai dunia fotografi.
Fotografi telah menjadi bagian dari hidupnya. Bagian dari dirinya. Baginya, sebuah
foto bisa mengandung ribuan makna. Ribuan kesan. Sebuah foto yang bagus akan
terasa seolah hidup. Seolah kau mengetahui segala cerita yang ada di
dalamnya dan menonton kejadian di dalam foto itu secara langsung. Inilah
yang Josh anggap sebagai seni yang tiada tandingannya.
Namun,
meski Josh selalu terpukau dengan fotografi, sesungguhnya Josh belum merasakan makna
mendalam dari ‘fotografi’ di dalam kehidupannya sendiri. Dari balik lensa,
Josh selalu melihat berbagai momen, berbagai kejadian, berbagai perasaan, dan
berbagai memori. Akan tetapi, makna terdalam dari fotografi, yaitu ‘melihat’
perspektif baru dari kehidupannya, belum pernah benar-benar ia rasakan
sendiri. Dia masih memiliki perspektif lama yang baginya adalah sebuah keabsahan.
Sebuah jalan terbaik. Jadi, meski Josh adalah seseorang yang perasa, dia masih
belum memahami makna fotografi yang satu itu. Sepertinya, makna tersebut adalah
jalan menuju pemahaman penuh pada fotografi yang tengah ia tekuni. Seperti kata
fotografer profesional Deniek G. Sukarya, fotografi mengajarkan pada kita
cara yang unik dalam melihat dunia dan sekaligus memberikan penyadaran baru
akan segala keindahan yang ada di sekitar kita.
Namun, nanti dulu, deh,
memikirkan soal itu. Sore ini Josh sedang istirahat dan memutuskan untuk
mengiyakan ajakan Alvin, sohibnya, yang kepengin makan mie ayam di warung
lesehan langganan mereka. Warung itu lumayan besar. Desainnya simpel; warna bangunannya
didominasi oleh warna krem dan coklat. Di warung itu, semua meja kayunya
tertata rapi dan kebersihannya terjaga.
“Makasih,
Bu,” ucap Josh dan Alvin—nyaris bersamaan—tatkala ibu-ibu pemilik warung itu tengah
duduk bersimpuh untuk menaruh pesanan mereka di atas meja. Pesanan Josh dan
Alvin adalah dua mangkuk mie ayam bakso dan dua gelas es teh. Ibu itu berusia
sekitar 45 tahunan ke atas dan seperti biasa wanita itu berpakaian kebaya
lawas. Wanita itu kemudian berdiri, lalu membungkuk sejenak dan berkata, “Monggo,
Mas.”
Setelah
wanita paruh baya itu pergi meninggalkan mereka, Alvin dan Josh langsung
menambahkan cabai, kecap, serta saus ke dalam mangkuk mie ayam mereka sesuai dengan
selera mereka masing-masing. Saat Josh tengah mengaduk mie ayamnya, Alvin yang masih
menambahkan saus ke dalam mangkuk mie ayamnya itu tiba-tiba berkata, “Eh, lo
masih, ya, sama si Windy?”
Josh
menatap Alvin sejenak, lalu dia tersenyum manis—seakan sedang memamerkan kebahagiaannya—dan
mengangguk. Setelah itu, seraya mencicipi mie ayamnya, dia pun menjawab, “Iya, masih.”
Tanpa
Josh sadari, Alvin menghela napas samar. Alvin Bastian sudah mengenal Josh dan
Windy sejak lama, tetapi dari segala hal yang ia sukai dari Josh, ada satu hal
yang tidak ia sukai.
Hal
yang tidak Alvin sukai adalah kenyataan bahwa Josh terlalu mencintai Windy
Alisha, teman sekelas mereka saat SMA dahulu. Josh Andriano sudah lama jatuh
cinta sebelah pihak pada Windy Alisha dan cinta yang Josh miliki bertahun-tahun
lamanya itu kian menguat seiring dengan kedewasaan mereka.
Alvin
tidak menyukai Windy sama sekali. Akan tetapi, melihat Josh yang terlalu
mencintai wanita itu, Alvin jadi sedikit kelimpungan. Dia tentu harus berhati-hati
dalam mengeluarkan kata-kata larangan pada orang yang tengah dimabuk cinta.
Josh dan Windy sekarang malah sudah jadian, sudah berpacaran, selama tiga bulan
lamanya.
Namun,
Alvin tetap berusaha, mengingat dia juga sebenarnya tak bisa menahan unek-uneknya
di dalam hati. “Josh. Lo yakin dia nggak manfaatin lo doang?”
Josh,
yang baru saja menyuap sesendok mie ayam ke dalam mulutnya itu pun menatap Alvin
seraya mengerutkan dahi. “Vin, lo udah nanyain itu ke gue lebih dari sepuluh
kali, tau nggak?”
Alvin—yang
baru saja selesai mengaduk mie ayamnya tersebut—hanya mengedikkan bahu, lalu ia
memasukkan sebuah bakso ke mulutnya. Ia tampak masih mengunyah saat ia mulai
berbicara lagi, “Ya abisnya diliat-liat dia cuma baik sama lo pas ada maunya
doang. Dari dulu, kan, dia nggak pernah nunjukin kalo dia suka sama lo. Jadi,
agak aneh aja liat dia tiba-tiba nerima lo.”
Alvin,
Josh, dan Windy berasal dari SMA yang sama dan kelas yang sama. Mereka
bersekolah di salah satu SMA swasta yang ada di Jakarta. Ketika lulus SMA,
Alvin dan Josh bernasib baik dan akhirnya berkuliah di universitas yang sama, yaitu
ITB. Dahulu, Alvin pernah dengar dari Josh—berhubung Josh selalu memperhatikan
Windy—bahwa Windy lanjut kuliah di Yogyakarta dan mengambil jurusan perhotelan.
Lama mereka tidak bertemu satu sama lain—wajar saja, Alvin dan Josh tidak
dekat dengan Windy, mereka hanya satu kelas—hingga Alvin kira Josh akan
melupakan Windy.
Namun,
ternyata tidak semudah itu. Kalau Alvin boleh berkomentar pedas, sesungguhnya
Alvin juga tak mengerti apa yang Josh lihat dari Windy. Wanita itu tidak begitu
cantik. Dia juga tidak menganggap Josh ada selama ini. Dia tidak
memedulikan Josh sama sekali. Akan tetapi, Josh terus saja mencintainya.
Saat
Alvin dan Josh lulus kuliah, mereka berdua memutuskan untuk merantau ke
Surabaya. Meniti karir di Kota Surabaya. Alvin berprofesi sebagai graphic
designer (dia juga berprofesi sebagai fotografer, tetapi hanya part-time)
dan Josh berprofesi sebagai full-time fotografer. Saat ini, Josh
sudah terbilang fotografer profesional. Dia cukup dikenal banyak orang.
Sialnya,
lima bulan yang lalu, mereka tak sengaja bertemu dengan Windy di sebuah
restoran tatkala sedang meeting dengan klien perihal proyek advertisement.
Mau tidak mau, mereka jadi harus saling menyapa. Josh jadi bertemu dengan
cinta lamanya di sana, cinta lama yang belum ia lupakan. Alvin sontak
berspekulasi bahwa mungkin saja Josh langsung berpikir bahwa Windy ini adalah “jodohnya”
karena mereka dipertemukan lagi meski tak berkabar sekian tahun. Namun, Alvin
tak tahu apakah selama beberapa tahun belakangan ini Josh sudah pernah menghubungi
media sosial Windy atau belum. Alvin malas mencari tahu sebab Alvin tidak
menyukai Windy. Sesuatu terasa mengganjal tiap kali Alvin melihat perempuan
itu.
Dari
pertemuan itulah, Josh dan Windy jadi bertukar kontak. Setelah bertukar kontak,
seperti yang Alvin duga, Josh langsung mengejar-ngejar Windy. Setelah
dua bulan ‘dekat’, Josh dan Windy akhirnya resmi menjadi sepasang kekasih. Agak
aneh, pasalnya Alvin tahu persis bahwa Windy itu dari dulu cuek-cuek saja; wanita
itu tidak berkomentar apa-apa soal perasaan Josh. Dia berpura-pura tidak
tahu bahwa Josh menyukainya. Alvin sering memberitahukan hal ini kepada Josh
saat SMA dulu, tetapi jawaban Josh hanyalah:
“Jangan
gitu, Vin. Lo kok berburuk sangka terus, sih? Dia itu memang nggak tau kalo gue
suka sama dia. Gue, kan, nggak pernah kasih tau dia.”
Halah.
Cinta memang bisa membuat orang jadi bodoh setengah mampus. Alvin juga punya
pacar sampai sekarang, tetapi buktinya pacar Alvin—Meira—tidak serumit itu.
Kalau sama-sama suka, ya tinggal gas.
“Vin,
kan udah gue bilang berkali-kali sama lo. Tenang aja. Dia sayang kok sama gue. Jangan
berburuk sangka mulu sama dia, Vin, karena lo itu sahabat gue,” pinta Josh
seraya mendengkus sejenak, lalu ia kembali memakan mie ayamnya.
Alvin
menghela napas. Akhirnya, hari ini pun dia memilih untuk menyerah. Entah kapan
mata Josh akan terbuka, yang jelas hari ini Alvin sudah mencoba meyakinkan Josh
untuk yang kesekian kalinya.
Mereka
berdua sama-sama diam dan fokus untuk memakan mie ayam di mangkuk masing-masing.
Bukan diam karena canggung, tetapi diam karena mau fokus makan sebentar. Tak
lama kemudian, seperti teringat akan sesuatu, Alvin pun menegakkan kepalanya
lagi untuk menatap Josh. Matanya agak melebar; kedua tangannya masih memegang
sendok dan garpu yang ia gunakan untuk makan. “Oh iya, Josh.”
“Hm?”
Josh menatap Alvin dan mengangkat kepalanya singkat untuk mengisyaratkan
‘Apa?’
“Lo
nyari orang yang bisa jadi model buat foto-foto lo, ‘kan? Semacam muse gitu,
untuk pameran lo?” tanya Alvin.
Josh
mengangguk. “Iya, sih, kalau seandainya gue bener-bener bisa bikin
pameran gue sendiri.”
Seolah
mendapat pencerahan, Alvin langsung menjentikkan jarinya, lalu menunjuk Josh
dengan jari telunjuknya. “Nah, bingo! Ya kalau foto-foto lo bagus,
kenapa nggak? Pasti sukses. Makanya, lo butuh seseorang yang bener-bener bisa
jadi muse lo. Seseorang yang cocok untuk foto-foto lo.”
“Hmm.”
Josh mengangguk. “Bener. Emang kenapa?”
Dalam
hati, Alvin bersyukur karena Josh tidak kepikiran untuk menjadikan Windy
sebagai objek di foto-fotonya. Apa jangan-jangan…diam-diam Josh juga mengakui
bahwa Windy kelihatan kurang estetik? Yaa sebenarnya Windy itu tidak jelek,
sih, tetapi dia masih kurang untuk dibilang ‘cantik’. Dia manis, tetapi bukan
yang semanis gula. Sedang-sedang saja. Namun, dia enak dilihat karena selalu berpakaian
rapi dan elegan. Rambutnya sepunggung, agak bergelombang di bagian bawahnya,
dan berwarna hitam pekat. Dia juga merupakan orang yang percaya diri. Cocok
dengan profesinya sekarang, yaitu resepsionis hotel.
“Gini.
Inget waktu kita ngerjain proyek Humanity bareng Kak Aji?” tanya Alvin,
memastikan.
Josh
mengangguk. “Iya, inget. Kenapa?”
Alvin
pun tersenyum. Dia kelihatan bersemangat. “Nah. Itu Kak Aji punya kenalan.
Model. Namanya Keisha; Keisha Nathalie. Lo pernah denger?”
Josh
menyatukan alis, matanya melihat ke arah lain; dia tampak sedang berpikir.
“Hmm…nggak, pernah, sih.” Josh lalu menatap Alvin lagi. “Orangnya gimana?”
“Hah,
seriusan lo? Dia terkenal, lho, Josh,” ucap Alvin, pria itu memutar bola
matanya jengkel. “Lo jarang ngefoto cewek, sih, makanya nggak tau. Lagian, lo
sibuk mikirin Windy terus.”
Sialnya
Josh malah tersenyum malu-malu bak sedang kasmaran. Astaga, padahal tadi itu Alvin
bermaksud untuk mengolok-oloknya. Alvin sedang menyindirnya.
Namun,
setelah mengembuskan napasnya (mencoba untuk bersabar), Alvin pun melanjutkan,
“Kak Aji pernah ngerjain proyek bareng si Keisha itu, makanya kenal. Jadi, pas
gue bilang kalo lo lagi nyari model, Kak Aji langsung rekomendasiin Keisha ke
gue. Gue udah kenalan sama Keisha dan setelah gue perhatiin, dia memang cocok
banget buat jadi model lo. Breath of fresh air banget. Lo nggak bakal
nyesel.”
Mendengar
itu, Josh jadi mengangguk-angguk. Dia pun menatap Alvin dengan bersemangat. Dalam
hatinya, dia betul-betul berterima kasih kepada Alvin yang mau membantunya
dalam segala hal walau tanpa diminta. “Wah, mantap, dong, kalau gitu! Thank
you banget, Vin. Eh, tapi Kak Aji keren juga, ya, punya kenalan model
terkenal gitu.”
“Dia
udah lebih senior dari kita, Bro. Wajar,” ujar Alvin, lalu Josh tertawa.
“Iya,
sih. Okelah kalau gitu,” ujar Josh. “Jadi, gimana? Lo udah dapat nomornya?”
“Nomor
Keisha?” tanya Alvin, sedikit mengangkat alisnya untuk mengonfirmasi. Setelah
itu, Alvin mengangguk. “Aman. Udah gue minta. Kami udah ngobrol-ngobrol dan dia
udah tau soal proyek lo. Dia bilang, tentukan aja kapan mau ketemuannya. Dia
mau ketemu lo dulu buat mutusin dia mau atau nggaknya.”
“Gila,
Man, makasih banget, ya,” ujar Josh, lalu ia bertos ria dengan Alvin.
Mereka sama-sama tertawa, lalu Josh melanjutkan, “Banyak banget utang budi gue
sama lo.”
Mendengar
itu, Alvin langsung tertawa terbahak-bahak. “Aman. Ganti emas batangan aja
nanti.”
“Kampret,”
umpat Josh, lalu mereka berdua kembali tertawa.
“Ya
udah. Deal, nih, ‘kan?” tanya Alvin. “Biar gue ajak Kei ketemuan.”
“Oh,
panggilannya Kei, ya?” tanya Josh, pria itu sedikit memiringkan kepalanya.
Namanya
cantik.
Alvin
mengangguk mengiyakan. “Yoi.”
Josh
pun tersenyum pada Alvin. Matanya yang jernih itu tampak berkilat; dia merasa
bahwa rencananya untuk mengadakan pameran tunggal itu kini bisa terlaksana,
bahkan mungkin bisa sukses. “Oke. Deal. Ajak dia ketemuan, ya.
Gue mau ketemu sama dia.”
Alvin
mengangguk, dia juga sangat antusias. Pria itu lalu mengacungkan jempolnya pada
Josh. “Oke, Bro. Sip!”
Saat
Alvin baru saja selesai berbicara, tiba-tiba ponsel Josh berbunyi, pertanda ada
sebuah chat dari aplikasi WhatsApp yang baru saja masuk. Josh langsung
merogoh saku celana jeans denimnya dan meraih ponselnya yang ada di
dalam sana. Begitu memeriksa siapa pengirim chat tersebut, Josh pun
langsung tersenyum.
Alvin,
yang memperhatikan gerak-gerik Josh sedari tadi, kontan mendengkus. Itu pasti chat
dari Windy. Alvin langsung mengedikkan bahu dan kembali memakan mie
ayamnya.
Terlihat
Josh yang terus tersenyum tatkala membalas chat di ponselnya. Dia
membalas chat itu seraya memakan mie ayam yang belum habis di
mangkuknya. Alvin hanya men-scroll Shorts di YouTube tatkala Josh sibuk
senyum-senyum sendiri seraya membalas chat.
Namun, tiba-tiba saja Josh bersuara. Membuat
Alvin langsung mengalihkan pandangannya dari ponselnya dan menatap Josh dengan
mata yang melebar.
“Eh,
Vin, gue duluan, ya,” ujar Josh. “Windy minta dijemput.”
“Lah,
sekarang?” tanya Alvin. “Serius lo? Makanan kita belum habis, nih.”
“Nggak
apa apa. Lo di sini aja, habisin makanan lo. Gue duluan, ya?” ujar Josh dengan terburu-buru.
Josh langsung membereskan barang-barangnya yang ada di atas meja dan mulai
mengenakan tasnya. Alvin kontan menganga. Mata pria itu melebar.
“Kampret,
gue ditinggalin, nih?!” tanya Alvin dengan kesal dan Josh malah tertawa.
“Sorry,
sorry. Soalnya dia udah pulang. Ntar dia ngambek,” ujar
Josh, kalimatnya terdengar seperti sebuah protes, tetapi nyatanya dia
mengucapkannya dengan penuh kasih sayang. Tatapan matanya juga terlihat lembut
tatkala mengucapkan itu.
Dia
benar-benar sedang dimabuk cinta.
Alvin
hanya bisa menghela napas. Dia pun mengizinkan Josh untuk pergi terlebih dahulu,
meninggalkannya di warung mie ayam itu sendirian demi menjemput Windy. Alhasil,
Alvin hanya duduk sendirian di meja itu, memakan mie ayamnya sampai habis
seraya menonton YouTube.
******
Josh
menghentikan mobilnya di depan pintu putar hotel tempat Windy bekerja. Mobil
Josh tadi masuk ke halaman hotel itu dan melewati sebuah air mancur yang berbentuk
lingkaran. Hotel itu adalah salah satu hotel bintang empat yang ada di Kota
Surabaya.
Tak
lama kemudian, Josh melihat sosok Windy yang tengah berlari menghampiri
mobilnya. Belum sempat Josh keluar dari mobilnya untuk menyambut Windy, Windy
sudah sampai di samping mobilnya dan mengetuk kaca mobil Josh seraya tersenyum
manis.
Josh
lantas membukakan pintu mobil itu dari dalam. Josh tersenyum, ia terlihat
senang tatkala melihat wajah kekasihnya sore ini. Windy masuk ke dalam mobil,
lalu menutup pintu mobil itu kembali.
Tatkala
sudah masuk ke mobil, Windy pun langsung memeluk tubuh Josh singkat dan hal itu
sukses membuat Josh membulatkan mata. Jantung pria itu berdegup kencang. Siapa
sangka rasa cintanya yang ia pendam bertahun-tahun akan menjadi kenyataan
seperti ini?
Dia
bahagia bukan kepalang.
Saat
Windy melepaskan pelukannya, wanita itu pun langsung tersenyum pada Josh dan
berkata, “Hai, Sayang.”
Ah.
Rasanya Josh seperti berada di langit ketujuh. Tubuhnya ringan seperti sedang berada
di awang-awang. Melihat Windy yang tersenyum manis padanya, memeluknya,
lalu mengucapkan panggilan ‘Sayang’ untuknya…ini luar biasa. Josh benar-benar
bahagia.
“Hai,
Sayang,” jawab Josh. “Lama nggak kamu nunggunya tadi?”
Windy
menggeleng. “Nggak kok.”
Setelah
itu, Windy kembali ke posisinya; dia duduk di jok penumpang depan (di samping
jok pengemudi). Setelah memasang seat belt, Windy pun menatap Josh lagi
dan tersenyum manis. “Ayo, jalan, Sayang.”
Josh
membalas senyuman Windy, mengangguk, kemudian berkata, “Oke, Sayang.”
Tak
lama kemudian, Josh pun mulai menjalankan mobilnya untuk keluar dari area hotel
itu. Akhirnya, mobil itu mulai masuk ke jalan besar.
“Gimana
kerjaan tadi, Sayang?” tanya Josh, pria itu menoleh sejenak kepada Windy yang
terlihat sedang memainkan ponselnya. Sesekali Windy tampak tersenyum saat memainkan
ponselnya; Windy agaknya sedang mengetikkan sesuatu di sana.
Ketika
mendengar pertanyaan Josh, Windy yang sedang asyik memainkan ponselnya itu lantas
melihat ke arah Josh. Wajah Windy mulai menampilkan sebuah senyuman yang manis.
Familierkah kau dengan senyuman yang teramat manis hingga tak terlihat
seperti benar-benar ingin tersenyum, melainkan hanya karena ingin menghormati
atau menghargai? Senyuman Windy hampir selalu terlihat seperti itu,
tetapi Josh tidak terlalu memperhatikannya. Atau lebih tepatnya, Josh punya
firasat soal itu, tetapi memilih untuk tak mengacuhkannya. Soalnya,
mungkin itu hanya perasaan Josh saja.
Kedua
mata Windy pun tertutup seolah ikut tersenyum. Josh tidak mengatakan sesuatu
yang sangat luar biasa untuk membuat Windy bisa tersenyum semanis itu.
“Nggak
ada apa-apa kok, Sayang,” jawab Windy, masih tersenyum manis. Wanita itu
sedikit memiringkan kepalanya. “Aku terus-terusan mikirin kamu pas aku lagi
kerja.”
Josh
yang mendengar pengakuan itu kontan terkekeh. Ada sedikit semburat merah
pertanda kebahagiaan yang muncul di pipi pria itu. “Kamu ini ada-ada aja,
Sayang.”
Windy
yang mendengar Josh terkekeh itu pun kontan tertawa pelan. Tertawa ala kadarnya
untuk merespons Josh. Setelah itu, ketika Josh menoleh kepadanya, ia pun lagi-lagi
memberikan Josh sebuah senyuman yang manis, sebelum akhirnya ia menatap ponselnya
kembali.
Josh
tengah fokus membelokkan kemudinya ke kanan tatkala ada sebuah chat yang
masuk ke ponsel Windy. Windy kontan tersenyum saat menerima chat
tersebut; matanya berbinar karena merasa senang. Dia terlihat bersemangat saat
membuka chat itu; sebetulnya, ia sudah chatting-an dengan si pengirim
chat itu sejak tadi.
Windy
langsung membuka chat terbaru itu dengan jemari lentiknya.
Frans
Mahendra❤️
Udah
sampai rumah, Sayang?
Windy tersenyum, lalu membalas chat
dari manager umum hotelnya itu.
Me
Belum,
Sayang. Lagi diantar sama dia, nih.
Frans
Mahendra❤️
Kalo udah sampai ntar kabarin,
ya, Sayang. Kangen. Ntar video call, ok?
Me
Iya,
Sayang. Aku juga kangen kamu 😚
“Oh
ya, Sayang, malam ini mau jalan, nggak?” tanya Josh, suara pria itu tiba-tiba
terdengar lagi.
Mendengar pertanyaan itu, Windy pun kontan
menoleh kepada Josh lagi dan tersenyum dengan canggung. Wanita itu menggaruk
tengkuknya yang tidak gatal; ia merasa tidak enak pada Josh. Ia lantas
menggigit bibirnya sejenak karena merasa bingung.
“Duh… Gimana, ya, Sayang…”
ujar Windy. Bibirnya melengkung ke bawah; ia terlihat sedih. Ia lantas
melanjutkan dengan manja, “Aku…kayaknya hari ini agak capek… Besok-besok aja,
ya? Gapapa, ‘kan, Sayang?”
Josh melebarkan matanya; dia
langsung menatap Windy dan menjawab, “Oh…gitu, ya, Sayang? Oke, Sayang. Nggak
apa-apa. Kamu istirahat dulu, ya. Jangan sampai kecapekan… Ntar malam langsung
istirahat, oke?”
Setelah mendengar jawaban dari Josh,
wajah Windy pun langsung berseri-seri.
Dia
tersenyum sangat manis.
“Oke,
Sayang.” []
******
No comments:
Post a Comment